Asyela menoleh ke sumber suara itu dan mendapati sesosok pria yang masih tersenyum jahil ke arahnya. Lengkap sudah kesialanku hari ini, aku yakin ini yang terburuk, batinnya. Bahkan ia masih terbayang ekspresi bodoh yang ditunjukkannya tadi. Selamat Revan siapalah namamu, aku tidak ingat, tetapi berkat kehadiranmu kini sialku lengkap. Asyela menatap sinis mata coklat yang indah itu, lalu berkata, "Memangnya masalah buat kamu?"
"Oh kamu? Bukan, bukan kamu masalahnya. Tapi ban mobilmu yang kempes itu baru masalah."
"Jadi?" tanya Asyela masih tetap sinis.
"Mau bareng sama aku? Nanti aku kasih tahu teman yang kerja di bengkel buat urus mobil kamu."
"Dan kenapa aku harus percaya sama kamu?"
"Mungkin karena kita sama-sama orang Indonesia?" kata Revan sambil melenggang pergi menuju pintu mobilnya yang diparkir tepat di sebelah mobil Asyela.
Asyela masih menatapi mobil yang bergerak mundur untuk keluar dari parkiran, kemudian menghadap ke arahnya. Muncul kepala dari salah satu sisi jendela mobil itu. Masih dengan tatapan yang sama, hangat dan santai, tetapi mendiskriminasi. "Biasanya aku nggak nawarin dua kali lho, masih mau naik, Miss Asyela?" kata Revan tanpa rasa bersalah. Dan memang sebenarnya tidak salah. Asyela masih dengan gengsinya yang tinggi, tetapi mengingat nasib mobilnya yang malang, menumpang ke mobil Revan bukanlah hal yang terlalu buruk.
"Terima kasih banyak," ujar Asyela sambil menutup pintu mobil dengan tatapan agak sebal.
"Sama-sama. Boleh singgah ke Corner Bakery bentaran?"
"It's your car."
"Oke," ucap Revan sambil menjalankan mobilnya keluar dari Georgetown University.
Dalam perjalanan melewati pinggiran Sungai Potomec, mereka hampir tidak bersuara. Asyela gugup, sedangkan Revan tidak enak bertanya karena sikap Asyela yang galak. Asyela hanya menundukkan kepala sambil memainkan ponselnya selama perjalanan. Tempat tujuan mereka adalah Corner Bakery Café. Tempat itu menjual berbagai macam kue, roti, bahkan sampai makanan cepat saji seperti burger dan kentang goreng. Kue dan varian rotinya cukup enak untuk membuat kita kembali ke café itu dan harganya juga tidak begitu mahal. Café ini cukup terkenal karena letaknya yang berada di perempatan jalan sehingga dapat terlihat dari sisi jalan manapun dan juga karena tempatnya yang cukup besar dan tergolonh mewah karena tersambung dengan gym dan klinik kesehatan.
Tidak butuh waktu lama untuk sampai ke sana, hanya sekitar 15 menit. Revan keluar terlebih dahulu, lalu mebukakan pintu untuk Asyela dengan senyumannya yang menawan hati. Namun, Asyela tidak terkesan sama sekali, ia hanya tersenyum singkat mengisyaratkan terima kasih. Mereka berdua memasuki Corner Bakery. Revan yang sudah menjadi langganan di sana sudah menelepon salah satu pelayan bakery untuk menyiapkan pesanannya dan sisa diambil. Sementara Asyela masih asyik melihat-lihat berbagai macam cake di sana. Setelah beberapa saat, pilihan Asyela jatuh pada strawberry cheesecake dan chocolate eclair. Setelah membayar di kasir mereka berdua menuju pintu keluar, tepatnya Asyela duluan dan disusul Revan. Judesnya tidak berkurang, pikir Revan sambil menggelengkan kepalanya.
Asyela tidak merasa memiliki kewajiban untuk jalan berdampingan dengan Revan. Walaupun Revan baik, tetapi Asyela bukan tipe perempuan segampang itu. Asyela menarik pengangan pintu toko dan keluar. Hanya sepersekian detik setelah pintu toko tertutup, ada anjing yang berlari kencang ke arah Asyela yang membuatnya otomatis panik. Anjing itu berlari melewati Asyela dan mata Asyela mengikuti ke mana anjing itu berlari yang membawanya melihat rentetan gedung 10 lantai sepanjang L St. NW. Matanya mulai berkunang-kunang dan ingatan akan hari paling buruk sepanjang hidupnya itu muncul kembali. Ia mulai kehilangan keseimbangan dan yang ada dipikirannya hanyalah sepotong memori saat api bersama reruntuhan gedung pencakar lagit yang ingi menjatuhinya. "Asyel, jalannya pelan-pelan saja," terdengar suara Revan di belakangnya. Belum sempat ia menoleh, kesadarannya sudah hilang dan tubuhnya ambruk ke tanah.
Revan yang melihat Asyela ambruk langsung melepas semua benda yang dipegangnya dan berlari menuju Asyela. "Asyel! Bangun Syel," ucap Revan sambil menepuk-nepuk pipi Asyela. Tidak ada respon. Revan menjadi tambah panik. Ia menaruh jari telunjuknya di depan hidung Asyela untuk memastikan bahwa gadis terkapar di depannya ini masih hidup dan hanya pingsan saja. Hembusan napas Asyela masih lembut dan teratur membuat Revan jauh lebih tenang. Ia menggendong tubuh kecil Asyela untuk masuk ke dalam mobil tanpa mengingat roti yang dibelinya dan cake Asyela yang sudah terjatuh tadi.
Setelah menyalakan mesin mobil, Revan menyadari satu hal. Alamat! Ya, Asyela bahkan belum menyebutkan alamat tempat tinggalnya. Revan menoleh ke arah Asyela yamg masih seperti tertidur pulas, wajahnya tidak tampak galak lagi. Wajahnya benar-benar polos dan manis. Seketika Revan tersadar dari kekagumannya pada wajah Asyela dan wajahnya jadi bersemu merah sendiri. Revan menarik keluar ujung ponsel Aysela dari saku rok gadis itu. Ah, bodohnya aku, tentu saja ada password-nya, batin Revan sambil menatap layar ponsel Asyela yang menampilkan keypad angka untuk memasukkan 4-digit angka sebagai password. Sekali lagi diliriknya gadis disampingnya dengan agak cemas namun gemas. Mau bagaimana lagi, hanya ada satu tempat yang terpikirkan olehnya untuk membawa Asyela. Ia harap gadis ini tidak berteriak histeris saat bangun nantinya.
.
.
.
Gimana? Dah mulai seru?
KAMU SEDANG MEMBACA
Scars
RomanceHanya sebuah kisah cinta klasik rumit yang tidak romantis di antara dua orang dengan masa lalu penuh tragedi. Luka yang mereka bawa adalah hal yang memperkuat perasaan mereka.