Chapter 6

25 5 0
                                    

Perasaan Asyela bercampur aduk antara bingung dan tidak enak. Sampai detik ini ia masih berpikir bahwa Viona adalah pacar Revan, dan Asyela tidak ingin jadi orang ketiga diantara mereka.

"Ketemu di kampus kok," jawab Asyela agak gugup.

"Terus?"

"Ya gitu aja."

"Ah, really? My brother is an idiot."

"Sorry?" tanya Asyela sambil membelalak.

"Memangnya kamu pikir aku siapanya? Pacarnya?" tanya Viona sambil menahan geli.

Asyela langsung menjadi salah tingkah sendiri. IYA! Pikirnya. Ya ampun, bisa-bisanya ia tidak mengetahui bahwa wanita di depannya adalah adik Revan.

Viona tersenyum-senyum sambil menggelengkan kepala melihat keluguan Asyela. Tidak heran kalau Revan, kakaknya yang dingin itu bisa meleleh karena Asyela.

"Syel, makan siang bareng, yuk?"

"Eh anu."

"Udah, ikut aja. Sekali-sekali kan."

"Ah iya," jawab Asyela yang sudah tidak bisa menolak permintaan Viona.

***

Mereka menempuh perjalanan ke Le Diplomate. Revan yang mengemudi, sementara Asyela duduk di kursi belakang dengan Viona. Viona dan Asyela cukup banyak berbicara tentang sakit maag ibunya dan Asyela tampak sangat ahli dalam membahas obat-obatan.

"Aku bukan sopir pribadi kalian, lho," ujar Revan dengan agak kesal.

Revan inginnya duduk di depan berdua dengan Asyela dan membiarkan adiknya duduk sendirian di kursi belakang. Tetapi Asyela menolak mentah-mentah untuk duduk di depan dengan Revan.

"Hitung-hitung latihan, kan," kata Viona sambil tertawa.

"Latihan apa?"

"Latihan jadi sopir lah, nggak laku kamu jadi dosen," ejek Viona.

"Enak aja!"

"Aku setuju kok," ucap Asyela sambil menahan geli.

"Udah, udah, kita udah sampai. Jangan gosip yang nggak-nggak," kata Revan sambil memarkir mobilnya. Ia segera turun dan membukakan Asyela pintu mobil.

"Giliran Asyela aja dibukain pintu," cibir Viona yang langsung mendapat jitakan di dahinya.

Mereka masuk ke dalam restoran dan sekali lagi, Viona dan Asyela duduk di hadapan Revan seperti dua remaja yang bersiap menerima konseling. Seorang pelayan datang dan memberikan menu, mereka memesan makanan dan minuman lalu kembali berbicara.

Restoran ini yang merupakan restoran favorit kakak adik yang sangat kontras itu. Restoran bergaya Perancis memang sangat menarik hati, apalagi bagi Revan yang cinta dengan arsitektur klasik. Makanan datang dan mereka pun makan.

"I still cant imagine, kok kalian berdua bisa ketemu karena salah ruangan?" tanya Viona yang masih dilanda penasaran.

"Viona!" kata Revan yang melihat Asyela tersedak karena pertanyaan Viona.

"So, sebelumnya kalian nggak pernah ketemu? Revan kan dosen di sana."

"Walaupun sama-sama di bidang science, tapi spesifikasi kami beda Vio," jelas Asyela.

"Oh, I see," jawab Viona yang sebenarnya tidak begitu paham maksud Asyela tetapi lebih memilih mengiyakannya.

Tiba-tiba ponsel Viona berdering. Setelah mengangkat dan mengiya-iyakan suara dari seberang telepon, Viona menutupnya.

"Ah sial! Aku ada rapat mendadak sekarang, aku tinggal dulu ya, kata Viona dengan tergesa-gesa. Bye Rev! Bye Asyel!" kata Viona cepat dan langsung keluar dari pintu restoran.

Sekarang mereka hanya tinggal berdua saja. Ya, berdua.

***

Asyela masih terbelalak, berbeda dengan Revan yang sudah paham tentang kesibukan adiknya itu. Revan hanya menghela napas dan berharap Asyela tidak begitu kecewa ditinggal berdua dengan dirinya. Asyela masih canggung. Sekarang hanya tinggal dirinya dan Revan, berdua.

"Viona itu Bahasa Indonesianya nggak terlalu lancar, soalnya Viona besar di Amerika," kata Revan berusaha membuka pembicaraan.

"Oh ya?"

"Kami tiga bersaudara. Kakakku yang paling tua, Alex, terus aku anak kedua dan yang terakhir Viona. Alex tinggal di Jakarta sama istrinya, mereka udah punya anak, baru umur tiga tahun kayaknya. Alex ngurus perusahaan yang lain di Jakarta. Aku kesini buat kuliah di University of California, dan setelah lulus akhirnya di Amerika juga walaupun pindah ke Washington DC. Aku nggak begitu berminat ngurusin perusahaan, ribet, mending pegang sahamnya aja. Viona lahir di Indonesia, tapi besarnya di sini. Sekarang orang tuaku menetap di Malang sama nenek aku."

"Kenapa Viona yang ngurus perusahaan di sini? Kok bukan Alex?"

"Mungkin karena memang dasar sekolah di Amerika, otak bisnis Viona itu yang paling kinclong di antara kami bertiga," kata Revan sambil sedikit tertawa.

Asyel hanya tersenyum medengar cerita Revan tentang keluarganya. Setidaknya Revan harus bersyukur karena memiliki keluarga yang bahagia dan utuh.

Mereka pun menyelesaikan acara makan siang mereka dan berjalan keluar dari Le Diplomate setelah membayar semua makanan tadi. Asyela langsung menundukkan kepalanya, ia tidak berani menatap jalanan di depannya mengingat Washington memang penuh dengan Gedung pencakar langit.

"Mobil kamu diantar sebentar sore. Aku udah kasih alamatnya."

"Ah iya, maaf jadi ngerepotin."

"Sekarang naik mobil aku aja."

Asyela hanya mengikutinya dalam diam. Revan membukakan pintu mobil dan membiarkan Asyela masuk terlebih dahulu dan disusulnya dirinya sendiri. Mesin mobil mulai menyala dan mereka melaju membelah jalanan kota Washington bersama-sama.

"Jadi kita mau ke mana? Thurston Hall?"

"Jangan pulang. Kita ke rumah sakit."

.

.

.

Hmm, author yakin kalian udah bias nebak kenapa Asyel minta ke rumah sakit. Kenapa hayo?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 18, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ScarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang