Juara 1 Cerpen: Di Balik Asa

187 13 1
                                    

Pengarang: Rindi Meliyantika

Wattpad: Amatirauthor_

Nah, ini dia karya dari pemenang lomba cerpen kita. Penasaran kayak gimana ceritanya? Cekidot!

🍀🍀🍀

Tentang adorasi pertama, dan pilu anak pertama. Melalui ceritaku ini, aku hanya ingin mencoba mewakili beberapa perasaan orang. Walaupun di dalamnya ada perasaanku juga di sana. Aku hanya mencoba untuk mengerti, dalam situasi kondisi ini yang semakin tidak terkendali. Dalam kiprah pertamaku, aku sudah dihadapkan dengan pandemi yang menggoyahkan dunia. Bukan hanya saja kalian dan mereka, tapi batinku juga ikut tergetar dengan rasa takut yang terus menyarat dengan hebat.

"Gimana kalo aku mati di sini? Gimana kalo aku gak bisa ketemu Raihan lagi? Aku lelah," pikirku tiap hari. 

Di luar sana, banyak menganggap bahwa ini hanyalah drama. Tapi tahukah? Nyatanya ini yang kurasa. Berbekal doa dari suami dan orangtua, aku memutuskan untuk terjun menghadapi situasi yang ada. Ya benar, ini memang sudah menjadi tugasku sebagai garda terdepan di musim wabah corona.

Aparat berhazmat sudah lalu lalang. Tak terkecuali aku. Merawat satu demi satu pasien, demi menyelamatkan raga. Agar bisa bertemu kembali, dengan keluarga dan orang-orang terdekat mereka. Begitupun aku. Ingin segera kutuntaskan pengabdianku. Agar, sang tangan mungilku yang menunggu di rumah, bisa kugenggam dengan hangat.

Tapi kiranya, ini takkan pulih dalam waktu yang singkat. Tiap malam, aku harus menahan kiatku untuk bertatap wajah lewat gawai dengannya. Karena kutahu, aku tak akan bisa menahan kesedihanku. 

"Kamu gak mau nelepon suami sama anak kamu gitu? Atau video call?" tanya rekan seperjuanganku.

"Enggak ah, aku bisanya cuma nangis doang pasti," keluhku padanya.

"Sulit pasti ya? Di minggu pertama kamu nugas, udah langsung terjun aja ke kondisi kaya gini."

Dalam hati, aku hanya tersenyum kecil. Dari dulu, aku selalu ingin hidup mengikuti takdir seperti arus air mengalir. Ya mau bagaimanapun, ini memang sudah ketetapan-Nya. Aku hanya bisa pasrah dan melakukan tugasku sebagai perawat di rumah sakit.

"Ini 'kan pengalaman langka. Nanti bakal aku ceritain ke anakku," pungkasku.

Di balik masker yang pengap, tersimpan raut cemas yang hebat. Di samping orang yang berjuang melawan penyakitnya, para tenaga berpakaian tebal putih itu hanya tergeletak berserakan di lorong-lorong rumah sakit. Tak sedikit banyak orang yang mengabadikan momen itu lewat gawainya. Melihatnya sungguh miris memang. Tapi dengan dunia tahu tentang kondisi kami, kuharap dunia akan mengerti.

Bagi kami, sungguh bukan ingin berbangga hati. Namun, hanya ingin membuat masyarakat bisa berempati, agar penyebaran virus dapat tertangani. Bersimpati untuk tetap berdiam diri, menghindari kepentingan yang tak berarti, dan selalu menjaga kebersihan diri. Agar kami di sini,bisa tenang, memastikan semua orang yang terpapar bisa terobati.

Di penghujung malam, aku melakukan rutinitasku sebagai hamba-Nya. Masih dengan hazmat yang kupakai, aku melirihkan tiap bait tasbih, diiringi dengan derai air mata yang amat terasa perih. Entahlah, sangat terasa sedih.

Setelah aku bangun dari sembahyangku, seorang pria menghampiri. Aku tak bisa mengira namanya, karena masker dan pakaian yang dipakainya.

"Ini saya, Pak Kadim," ucapnya. Aku sedikit terkejut, lalu mulai menyapa dan bersalaman dengannya. "Iya, Pak, kenapa?" tanyaku padanya.

Dalam hati, aku berlirih, berdoa agar permintaanku untuk pulang bisa disetujui olehnya. "Kamu pengen pulang? Pulang aja. Gak papa. Kalo kamu cuma pengen ngeliat anak bayi kamu, saya izinin. Gantian sama rekan kamu yang lainnya. Tapi, mohon dimaklum. Kamu gak bakal bisa ngegendong anak kamu," ujarnya.

Mendengarnya aku merasa bingung. Entah aku harus girang ataupun berdiri diam denganair mata yang berlinang. Bukan saja ingin bertemu, tapi aku hanya ingin memeluk tubuhnya untuk meluruhkan rasa rindu.

Tapi kupikir, ini adalah kesempatanku. Tak ingin kulewatkan begitu saja. Aku menghabiskan waktu untuk menunggu jadwal kepulanganku. Hingga akhirnya, butuh waktu dua hari untuk aku menegapkan niatku. Mencoba tak menunjukkan masygul dan peluh, untuk bertemu suami dan bayi kecilku.

Bermodal masker dan tas kecil, aku sudah tak bisa membawakan oleh-oleh apapun untuknya. Berjalan melewati tikungan gang dan berusaha menjaga jarak dengan orang-orang. Hingga, pada akhirnya, aku sampai di depan pagar kayu. Menghela napas, mencoba membangunsemangatku yang kian melayu.

"Kamu udah datang," ucap suamiku sambil menggendong sosok bayi mungil buah hatiku
keluar.

"Raihan. Ibu pulang, Nak," ucapku sambil tersenyum bahagia padanya. Beberapa pekan aku bertugas, ternyata anakku sudah tumbuh lebih cerdas. Dia tertawa kecil melihatku. Giginya kini kian menumbuh. Lengannya sudah terlihat lebih gemuk dari sebelumnya. Dan tak lupa,rambutnya yang dulu lebat, kini telah pelontos seperti ayahnya.

"Gimana? Kamu sehat-sehat aja, 'kan?" tanya suamiku sambil menahan rindunya. Sorot matanya sudah tak bisa bersembunyi. Dalam hatiku, aku berusaha untuk tak lagi merundung diri.

"Sehat kok. Alhamdulillah. Ini Raihan kapan kamu botakinnya?" tanyaku berusaha tegar.

"Kamu gak mau deketan aja gitu. 'Kan bisa jaraknya satu meter," pinta suamiku.

Aku tak ingin mengambil resiko. Lebih baik, aku menahan rasa rinduku daripada terjadi hal-hal yang tidak pada suami dan buah hatiku.

"Maaf. Aku belum bisa ngegendong Raihan," ucapku sambil menahan air mata.

"Gak papa. Raihan juga ngerti kok, Bunda," jawab suamiku sambil memegang tangan mungil Raihan untuk melambai padaku.

Sesaat hening. Aku menatap wajah kecil anak pertamaku. Tak kuasa. Dalam hati, ingin kulari. Ingin kurengkuh tubuh mungil itu. Ingin kucium pipi tembemnya, tapi tak bisa. Aku sungguh tak bisa. Sedihku sudah tak bisa kutahan. Aku meraung meluruhkan semua peluh sedihku. Kaki sudah tak bisa menopang tubuhku, aku berjongkok, menyembunyikan wajahku dari Raihan dan suamiku.

"Kamu gak papa?" Suamiku terlihat ingin mendekat. Namun, aku harap dia tak akan pernah nekat. Mendengar tangisku membuat para tetangga terkejut. Mereka bahkan sudah tak berani untuk mendekat, tapi aku mengerti. Tak menghiraukan dengan begitu pasti.

"Gak papa. Raihan juga 'kan ada Papa, ya 'kan, Nak?" ucap suamiku dengan suara menahan
sedih.

"Raihan bakal bangga punya ibu kaya kamu. Kelak nanti, Raihan bakal cerita, kalo ibunya pernah jadi pahlawan dunia. Doa aku sama Raihan selalu ada buat kamu. Udah ah, jangan sedih lagi," lirih suamiku yang kini tak bisa menahan tangis.

Walau panas bastala sudah menyengat, tak kuhirau. Beberapa menit, aku menghabiskan tangisku sendiri. Lalu, setelah merasa lebih baik, aku terbangun. Berusaha tersenyum sambil melambai pada anak pertamaku.

"Nak, doain Ibu ya. Ibu janji pasti bakal pulang. Kamu sama Ayah dulu ya!" ucapku masih dengan suara payau.

"Kamu mau pamit lagi? Kok sebentar amat," rengek suamiku.

"Aku harus balik lagi. Kamu tahu 'kan, banyak pasien yang harus dirawat," ucapku sambil menyeka air mata.

"Aku pamit ya. Doain Ibu. Doain juga, supaya orang-orang sakit cepet sembuh. Assalamu'alaikum," pamitku sambil mengukir senyum. Setelah itu aku pamit pada keduanya. Dengan berat hati, aku mencoba mengumpulkan semangatku lagi.

"Harus aku. Jika bukan, siapa lagi?" pikirku mencoba untuk bangkit dari kesedihan.

Aku menghela napas, membulatkan tekad demi para pasien yang menunggu. Berjalandengan niat kuat dan pengabdian untuk masyarakat. Dan untuk kisah dalam adorasi pertamaku, akan kuceritakan pada anak pertamaku. Semoga kelak, ia bisa mengerti, bagaimana perjuanganpara aparat berhazmat yang tertuang dalam berbagai rasa pilu dan asa. Karena semua itu bukan demi berbangga, tapi untuk keluarga, demi bangsa, dan untuk raga yang lain.

Dari penulis untuk para pahlawan medis....

Ribuan diksi yang indah tak bisa menggambarkan dirimu yang kini bersusah. Kiatmu yang terkadang bersumarah, aku yakin kau tak akan pernah menyerah.

Untuk kita yang masih di rumah, mari bertahan tanpa bantah. Membantu mereka, walau hanya merebah tanpa bersudah.

FLC 1st Anniversary EventTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang