Saat untuk pertama kalinya angin menghentak keras hingga dahan pohon sebelah rumah membentur jendela, Daiki sedang menuruni tangga sambil menyeka air dari rambutnya. Rin mendongak sejenak dari kertas gambarnya, menatap suaminya itu berjalan santai menghampirinya, lalu kembali menunduk untuk menyelesaikan sketsa kasar bagi gambarnya. Perempuan itu merasakan lantai berderit pelan ketika Daiki duduk di sebelah sambil masih sibuk mengeringkan rambut.
"Pesanan baru lagi?" Aomine Daiki bertanya, mengintip dari atas kepala Rin.
Si perempuan menggeleng. Merasa sedikit geli ketika Daiki menumpukan dagu ke pucuk kepalanya. "Mumpung senggang dan kertasnya masih ada banyak, mending aku nggambar gitu lho," balas Rin masih dengan nada datar yang tenang.
Daiki menggumam paham, bergerak-gerak mengangguk-anggukkan kepalanya menambah geli di kepala Rin. "Ngomong-ngomong, kamu mau nggambar apa?" Ia bertanya.
"Nggak tahu," jawab Rin pelan. Ia menjauhkan kertas A4 dari wajahnya, memandang pada coretan pensil yang lembut di kertas itu sambil memiringkan kepala untuk mendapatkan sudut yang tepat. Proporsinya kurang pas, perempuan itu kembali menunduk—sejumput rambut jatuh dari pelipis, menghalangi pandangan.
Si lelaki yang menemukan keimutan dalam tingkah istrinya itu terkekeh. Ia dengan lembut menyelipkan anak rambut yang tampak mengganggu itu ke telinga sang istri lalu mendaratkan kecupan di belakang telinga wanita itu. "Jangan sibuk sendiri, dong, aku gabut, nih."
"Ngomong-ngomong, Daiki, bahuku jadi basah," ujar Rin pelan, masih sibuk menyempurnakan sket tangan pada gambarannya.
Daiki mencibir. Ia dengan berat hati menjauhkan diri dari tubuh mungil istrinya. "Ah, padahal kalau nggak ada himbauan #dirumahaja, kita bisa kencan sambil hanami di luar," gerutu Daiki. "Aku juga nggak akan bosan begini," tambahnya manyun.
"Kamu 'kan bisa, tuh, main basket," balas Rin acuh tak acuh. "Ah, penghapusku tadi ke mana?" gumamnya pelan, mengangkat salah satu kakinya yang bersila untuk meraba-raba daerah sekitar demi mencari penghapusnya.
Kebetulan sekali penghapus itu ada di dekat kaki meja pendek di depan keduanya. Daiki mengambilnya, dengan lembut memberikan penghapus kecil itu pada sang empu.
"Makasih."
"Iya. Tapi, duh, Sayang, masa aku main basket di dalam rumah," balas Aomine sedikit malas. Ia dengan sengaja merebahkan punggungnya ke punggung mungil Rin, membuat istrinya yang berkali lipat lebih kecil darinya itu terhuyung ke depan karena tekanan berat badannya.
"Ya, baca majalah lah apa lah, jangan gini," kata Rin dengan napas pendek-pendek. Tubuhnya tidak kuat menahan bobot Daiki. Berat, OM?!
Mendengar itu, Daiki menegakkan punggungnya dengan semangat. "Apakah istriku ini sudah merestui hubunganku dengan Mai-chan?" tanyanya, mendadak formal.
"Enggak lah!" balas Rin cepat, ngegas. "Bukan majalah yang kayak itu," tambahnya kesal, menggembungkan pipi.
Aomine Daiki cengengesan. Ia mencubit pipi istrinya yang seperti bakpao itu main-main. "Bercanda, Sayang," katanya genit. Ia kemudian menarik bahu sang istri, mendekapnya erat-erat, "Cintaku mah buat kamu aja," bisiknya manyun-manyun.
"Iya, cintanya buat aku," balas Rin sarkastik, "tapi matanya ke Mai-chan terus."
"Ehehehe, khilaf, Sayang."
Putri bungsu keluarga Yoshio itu hanya menghela napas pelan, memutuskan mengabaikan suaminya itu dan bergegas menyelesaikan pekerjaannya. Hal tersebut membuat hening memenuhi washitsu 6 tatami itu.
"Sayang," panggil Daiki tiba-tiba.
"Hm?"
"Ghibah yuk."
Aomine Rinnosuke menoleh cepat ke sang suami dengan wajah shock. "Astaghfirullah, Dai, sadar diri dosa menggunung. Masih aja mau nge-ghibah?" katanya sedikit melebih-lebihkan. "Istighfar 33 kali!" hardiknya.
"Eiya, Sayang, maap, khilaf," balas Daiki sedikit kaget juga. Ia menuruti perintah, istigfar 33 kali.
"Khilaf gimana, duh, dari kemarin-kemarin juga ngajakin ghibah mulu. Kamu udah kayak ibu-ibu kompleks tahu, Dai!"
"Kamu 'kan yang suruh aku belanja kalau Mang Sayur lewat, ketularan, deh," cicit Daiki. "Lagian, Sayang," ia mepet-mepet lagi ke Rin yang sudah selesai dengan kegiatannya menggambar dan sedang memberesi alat tulisnya, tangannya dengan santai menarik Rin kembali ke pelukannya, "ghibah tuh seru."
"Iya, seru!" Perempuan itu tersenyum tajam. "Besok kamu makanin mayat saudaramu sendiri di neraka," tambahnya Rin sarkastik.
"Ih! Ya udah, aku mau cerita aja, deh," rajuk Daiki, memanyunkan bibir, "si Akashi kemarin katanya liburan ke Eropa, lho, Sayang."
"Aih? Masa?"
"Beneran! Kayaknya, sih, sekarang belum balik. Kira-kira oleh-olehnya apa, ya?"
"Korona kaliiii," jawab Rin asal, lalu cengengesan.
"Iya, ya." Aomine Daiki tertawa atas guyonan tidak lucu itu. "Eh, tapi, ya, Sayang, di Eropa 'kan bersih, ya, tapi kenapa gitu korona masih ada, ya?"
"Nggak tahu, tuh."
"Tetangga kita kemarin, tuh, ya, kamar mandinya bau banget! Tapinya mereka nggak kena korona, 'kan?"
"Ya mana kutahu."
"Terus, terus, ya, Sayang, katanya Kise...."
Obrolan itu pun berlanjut sampai adzan maghrib berkumandang.
------
Udah-lah, #dirumahaja-nya keluarga Aomine itu isinya cuma Aomine Daiki yang hobi ngusilin istrinya dan berujung nge-ghibah-in tetangga atau teman-temannya sementara Rin hanya mendengarkan semua yang diucapkan suaminya itu. Asli, gabut parah.
YOU ARE READING
[Corona Project] Stay At Home
FanfictionKapan ya pandemi Covid-19 berarkhir? EIT.... Dari pada musingin itu seharusnya kalian nikmati waktu sekarang. Waktu di rumah aja. Nggak disuruh emak belanja ke warung. Nggak disuruh ikut eskul atau upacara. Tapi... Bosen juga rebahan mulu kan? Jadi...