"Dokutah!""Dokutah! Pasien yang lainnya akan terus berdatangan! Kita harus bersiap-siap"
suara-suara keributan tak mau berhenti, begitupula dengan siren ambulan yang masih terdengar begitu bising, bolak-balik menghantar pasien.
Tak cukup berada di dunia dengan Originium yang menginfeksi kami, sekali lagi kami di hadapkan pada situasi dimana kami tak bisa menghadapinya tanpa cara yang efektif.
"Covid-19" begitulah pemerintahan memanggilnya.
Virus yang di bawa oleh negeri yang jauh di timur sana, tidak di ketahui darimana, apa penyebabnya, apa obatnya. Tau-tau dunia yang telah kacau ini semakin tak karuan. Dalam sebulan penyebarannya mencapai satu Negri. Tak dapat di obati, menjadi kendala para medis yang tengah berjuang saat ini.
"Aamiya, analisis kondisinya, kita perlu mengambil darah setiap pasien dan menyerahkannya pada Warfarin, mari kita prioritaskan pasien dengan presentase hidup kecil, mereka juga berhak hidup" putusku, merekatkan sarung tangan lateks lalu buru-buru berlalu pergi.
Kami kelelahan, layaknya di isolasi dari masyarakat, baik secara mental dan fisik kami sangat lelah. Kenyataan bahwa virusnya menyebar dengan sangat mudah melalui kontak fisik, cairan tubuh, atau bahkan udara.
Jika masyarakat yang tak melakukan kontak fisik dengan para pasien positif saja ketakutan, bagaimana dengan kami? Kami yang kini tengah bertarung secara gamblang di garis depan saat ini.
Kami ketakutan, melihat rekan-rekan kami yang terus tumbang, siapa yang akan menyelamatkan kami? Jika yang harusnya mendukung kami pun tak mendengarkan. Mereka yang merasa sombong dengan daya imunitas mereka.
Adalah mereka yang kelak terbaring di ranjang-ranjang ini. Yang akan memelas, memohon untuk hidup pada kami. Lalu sekali lagi kami akan mengorbankan hidup kami untuk mereka yang tak mau mendengarkan tangisan kami.
Apa salahnya mendengarkan? Mereka yang terlalu arogan...
Aku tak memiliki sesuatu yang mereka sebut rumah, sejak Amnesia dan mengemban tugas di benteng perawatan terbesar, Rhodes Island ini. jati diriku terombang-ambing. Siapa aku? berharga kah aku? Apakah aku memiliki seseorang diluar sana?
Aku tak bisa pulang, berbeda dengan mereka.
Meskipun orang-orang ini adalah kawan-kawanku, yang menjalin ikatan bersamaku sejak ingatan itu tak lagi milik ku. Membiarkan mereka menjadi tameng untuk orang-orang egois ini, adalah hal yang tak mungkin kulakukan.
"(Name)!"
Sekali lagi lamunan ku buyar, kami berada di ruang lab, satu-persatu mengecek hasil rongent paru-paru pasien, dengan teliti. Memilah yang mana yang perlu penanganan intensif.
"Kalt'sit? Apa ada sesuatu yang kau perlukan?" tanyaku.
"Apa kau merindukan rumah?" tanyanya payau.
Tersentak, aku berhenti berkutat dengan puluhan hasil rontgen itu. Itu benar, hanya dia, hanya wanita itu yang tau masa-lalu ku, apa profesiku sebelumnya, apa yang kulakukan sebelum datang ke Rhodes Island atau bahkan siapa keluarga ku yang sebenarnya.
Namun seluruh informasi itu, adalah top secret. Desas-desus mengatakan bahwa mengatakannya adalah hari terakhir bagi Klat'sit melihat dunia, singkatnya seseorang akan membunuhnya.
"Apa kita akan membahasnya? Setelah perjalanan panjang yang telah lewati itu? Baru sekarang kau ingin membahasnya?" tanyaku bertubi-tubi.
Kerja rodi tiada henti seperti ini pasti telah merusak kewarasannya.
YOU ARE READING
[Corona Project] Stay At Home
FanfictionKapan ya pandemi Covid-19 berarkhir? EIT.... Dari pada musingin itu seharusnya kalian nikmati waktu sekarang. Waktu di rumah aja. Nggak disuruh emak belanja ke warung. Nggak disuruh ikut eskul atau upacara. Tapi... Bosen juga rebahan mulu kan? Jadi...