PANCAKARA

18 0 0
                                    

Ada yang datang. Angin.

Ada yang pergi. Air.

Ada yang hilang. Malam.

Ada yang terbit. Tanya.

Ada yang tertawa. Sepi.

Ada yang menyapa. Amarah.


Kemarin, tepat di sini, di jantung Ibukota kelalaian pola pemikiranku, aku belajar merangkak. Saat itu siang bolong, tanganku melepuh-lepuh, dengkulku pula, sampai berlubang celana butut itu. Aku menengok sekeliling, berharap bantuan akan datang (jika langit memang baik). Tapi seperti biasa, tangan-tangan terlalu sibuk meraih pegangan kereta di atas. Tengok saja, tidakkah pernah? Jawabannya sudah pasti. Aku dijadikan bangku, tempat bersandar, tempat apa saja di punggung ini, seluruh kelelahan yang ditumpahkan macam tiada hari esok, mengguyurku hingga sisa tetes paling akhir. Layu sudah aku, macam tidak makan berhari-hari demi menopang keluh kesahmu. Hingga tiada kita berdua tahu, sudah sampai mana kamu membual, yang ku lihat hanya jalan yang lurus, bagian dari mimpi panjang yang tidak berujung.

Malam kemarin, baru saja aku berdiri. Matamu menyala-nyala dipojokkan lampu taman tapi aku tidak bisa melihatmu. Gelap saja, hanya firasat. Aku tahu kamu di sana. Aku berjalan saja. Di bawah kakiku, aku lihat sungai yang airnya memerah. Mungkin karena tidak sabar. Aku memelukmu, bayanganmu. Oh, bukan. Hanya angin? Aku kebingungan, lalu tidak sadarkan diri. Ketika aku membuka mata, aku di depanmu, kamu di depan pintu melambai-lambai sambil membawa bubur. Aku makan dan aku tertidur.


Sudah berapa lama?

Dua menit?


Dua menit selama dua tahun. Aku berkelahi dengan caraku sendiri.

RebasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang