Chapter 12

2.6K 318 103
                                    

Happy Reading ❤

-💃-

Pandangan Seren kabur, semua yang ada di depannya tidak lagi jelas. Dalam hitungan detik, Seren sudah tidak sadarkan diri. Beruntung Delvin cepat menangkap tubuh Seren agar tidak jatuh ke lantai. Ara dan Misty yang sebelumnya memperhatikan mereka dari jauh, kini berlari menghampiri Delvin.

Tubuh Seren yang sebelumnya ditopang menggunakan kedua tangan Delvin, kini telah berpindah ke dalam dekapannya. Delvin menggendong Seren, berniat membawanya ke rumah sakit tempat di mana Seren dirawat kemarin. UKS bukan pilihan yang tepat walaupun di sana ada perawat khusus, ini bukan hanya penyakit biasa melainkan penyakit serius yang kita sendiri tidak tahu akan seperti apa ke depannya.

"Delvin! Tunggu!" pekik Ara dan Misty bersamaan. Keduanya semakin mempercepat larinya ketika melihat Delvin berhenti.

"Kalian ngapain? Gue mau bawa Seren ke rumah sakit. Gue kayaknya nggak bakalan balik lagi, jadi mending kalian balik ke kelas."

"Gak mau. Kami mau ikut."

"Terus? Kalian bolos?" tanya Delvin seraya melangkahkan kakinya menuruni satu per satu anak tangga. Ara dan Misty masih mengikutinya bahkan langkah kaki mereka juga tidak kalah cepat.

"Bukan bolos, tapi nggak masuk kelas."

"Sama aja!" teriak Delvin kesal.

-💃-

Tiga orang yang memakai baju yang sama dengan Seren memandanginya intens. Mereka berharap Seren cepat sadar karena jika terbaring lemah seperti sekarang membuat mereka tidak mengenalinya.

Perlahan mata Seren mulai terbuka. Ia menatap ke sekelilingnya. Ada Ara, Delvin, dan Misty yang menatapnya sambil tersenyum tipis. Seren mengedarkan pandangannya ke sekitar, tempat yang sama. Tempat yang selamanya akan ia benci sekaligus tempat ia menjalani hari-hari berikutnya.

"Kenapa, Ren? Lo mau apa?" tanya Ara lemah lembut. Tangannya juga bergerak mengusap tangan Seren lembut. Senyuman tipis yang begitu manis pun ikut hadir menghiasi wajahnya yang cantik.

"Gue mau jadi orang sehat. Gue nggak mau penyakitan dan bergantung sama obat. Kalian bisa kabulin permintaan gue? Nggak, 'kan? Jadi, nggak usah banyak nanya. Gue mau sendiri."

Tangan Ara berhenti mengusap tangan milik Seren. Ara dan Misty dibuat tidak percaya dengan ucapan Seren. Mereka saling bertatapan selama lima detik. Sebelumnya Delvin sudah menceritakan tentang penyakit Seren, bagi mereka berdua itu semua tidak masalah. Selagi mereka bisa membantu Seren, pasti akan mereka usahakan apa pun caranya. Tapi, permintaan Seren barusan tentu saja tidak bisa mereka kabulkan karena mereka bukan Tuhan.

"Tinggalin gue sendiri!" teriak Seren kesal.

Tiga orang yang berada di dalam ruangan itu mengangguk. Mereka melangkahkan kakinya keluar dari ruangan, mereka tidak benar-benar meninggalkan Seren sendiri. Mereka tetap mengawasi Seren dari balik kaca.

Seren turun dari bankar, ia berdecak kesal. Tangannya bergerak melepaskan infus dengan kasar. Ia menarik selimut yang ada di atas bankar dan membuangnya ke sembarang arah. Vas bunga yang ada di atas nakas juga menjadi korban kemarahannya. Ia melemparkannya ke dinding berwarna putih itu. Suara vas bunga yang terdengar nyaring sama sekali tidak menjadi masalah bagi Seren. Ia kembali melemparkan gelas yang berisi air putih, pecahan beling bersama tumpahan air di pojok ruangan belum cukup memberi rasa tenang bagi Seren. Ia menarik rambutnya kasar, ingin sekali rasanya pergi jauh dari sini.

Seren berjalan mendekati pecahan beling, tangannya bergerak mengambil salah satu pecahan beling yang berukuran cukup besar. Tangan kanannya sudah bersiap, dalam hitungan detik ia akan menggoreskannya pada tangan bagian kiri. Ia mulai menggoreskannya ke tangan kiri, namun baru satu sayatan di tangan kirinya tiba-tiba pintu berwarna putih itu terbuka lebar.

Seren menatapnya sekilas kemudian kembali mengedarkan pandangannya. Ia tidak ingin terlihat begitu hancur di depan laki-laki yang mencuri perhatiannya, tapi untuk kali ini biarkan saja. Seren tidak ingin berpura-pura lebih lama lagi. Lagipula lama-kelamaan dia akan tahu siapa Seren yang sebenarnya. Laki-laki yang Seren temui kemarin bersama kursi rodanya saat ini sedang berdiri tegak di hadapannya tanpa kursi roda. Setelah menutup pintu, Ado tidak langsung bertanya panjang lebar kepada Seren.

Ado menarik pelan tangan Seren agar berdiri. Ado membawanya kembali duduk di atas bankar. Ado meraih tangan kiri Seren yang sudah mengeluarkan banyak sekali cairan merah kental. Tangan kiri Ado bergerak menarik baju yang sedang dia gunakan. Ado menempelkan tangan Seren di bajunya agar cairan merah kental itu tidak keluar semakin banyak. Seren masih memandanginya, laki-laki itu tidak marah bahkan saat ini dia sedang tersenyum tipis ke arah Seren.

"Kamu kenapa? Marah sama keadaan? Marah sama semesta? Emang bisa ngubah segalanya?"

Seren menggeleng. Ado ikut duduk di atas bankar. Dia memutar badan Seren agar duduk berhadapan. Seren memutar bola matanya ke kanan dan kiri. Keadaan ruangan ini sama berantakannya dengan kondisi hati Seren saat ini.

"Marah nggak bakal nyelesaikan semuanya. Kamu terlalu mandang satu sisi makanya kamu marah, tapi kalau kamu mandang dari segala sisi pasti kamu nggak akan semarah sekarang."

Ado melepaskan tangan kiri Seren. Tampaknya sayatan yang Seren ciptakan cukup dalam. Dengan cepat Ado merobek bagian bawah bajunya. Dia tidak peduli dokter akan bertanya banyak hal. Ado mengikat potongan baju yang baru saja dia robek menggunakan tangannya. Ado juga pernah berada di posisi Seren, namun Ado tidak sampai melukai diri sendiri. Ado memilih merobek bajunya karena jika memanggil dokter pun tidak ada gunanya. Seren tidak ingin bertemu dengan dokter karena akan mengingatkannya dengan penyakitnya.

Ado turun dari bankar. Dia mengambil selimut yang ada di lantai dan meletakkan kembali di tempat semula. Tidak banyak yang dapat dilakukan, membersihkan beling juga tidak ada sapu di sini. Dia mengambil bunga yang sudah tidak memiliki vas itu, meletakkannya kembali di atas nakas lalu kembali duduk memandangi Seren yang masih diam.

"Kamu mau sendiri? Kalau begitu aku keluar, ya."

Ado beranjak dari tempat duduknya. Dia merasakan tangan kirinya yang ditahan oleh Seren. Dia kembali duduk seperti semula.

"Jangan pergi. Temanin aku."

Seren menghapus buliran bening yang membasahi kedua pipinya. Ado mengangguk, dia meminta Seren untuk berbaring di atas bankar agar dapat beristirahat. Tangan Ado bergerak menarik selimut hingga ke leher Seren.

"Kursi roda kamu mana? Udah sembuh, ya?"

"Lagi nggak mau sama kursi roda. Sembuh? Bahkan dokter aja belum yakin sama kata itu, Ren."

Seren menatap Ado tidak suka. Apa maksudnya tadi? Dia akan meninggalkan Seren begitu? Lalu, untuk apa dia hadir sekarang? Seren membelakangi Ado, laki-laki itu mengembuskan napasnya melihat Seren yang kesal.

Nggak ada yang mau ninggalin kamu, Ren.

-💃-

Hallo hallo hai. Balik lagi nih aku wkwk. Masih dengan kisah yang sama:v

Kalau ada typo atau kesalahan lainnya, kasih tau, yo. 😉

Vote & komen ditunggu ❤
Saran & kritik juga ditunggu ❤

Serendipity [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang