Chapter 21

2K 255 39
                                    

Happy Reading ❤

-💃-

Gadis yang sedang menyisir rambutnya itu sesekali mengalihkan pandangannya ke ambang pintu, berharap laki-laki itu datang dengan senyuman jahilnya. Sudah dua hari sejak kejadian hari itu, Delvin tidak lagi mengunjungi Seren ke rumah sakit. Tidak ada pesan singkat yang sekadar menanyakan kabar, tidak ada Delvin yang sering mengejutkan Seren saat di rumah sakit dan tidak ada Delvin yang sering membuatnya berteriak kesal. Ia merindukan sosok itu, tapi di sisi lain ia juga tidak ingin Delvin berubah menjadi kasar hanya karena perasaannya.

Apa yang dikatakan Delvin tidak salah, tapi selagi peluang-peluang itu masih ada maka Seren akan tetap percaya pada kemungkinan-kemungkinan yang entah seperti apa akhirnya. Apakah berakhir seperti yang diinginkan atau berakhir tragis karena bertolak belakang dengan ekspektasi, hanya waktu yang dapat menjawab segalanya.

Ia meletakkan kembali sisir yang sebelumnya ia gunakan. Ia berniat mengambil ponsel yang berada di pangkuannya. Matanya melotot melihat rambutnya yang rontok, ia mengumpulkan satu per satu rambutnya lalu berjalan ke arah tempat sampah. Ia sudah tahu hal ini akan terjadi. Dalam hitungan detik, ia terkekeh mengingat dirinya akan sama dengan Ado. Mereka akan terlihat seperti pasangan yang serasi, menggunakan kursi roda dan rambut yang ditutupi dengan topi khusus.

Seren mengambil buku yang berada di nakas. Jemarinya bergerak menuliskan dua kalimat yang mengatakan bahwa ia akan menemui Ado dan meminta mamanya agar tidak cemas. Seren meletakkan ponselnya di samping buku itu bersamaan dengan pulpen.

Kakinya kian melangkah, menyusuri lorong rumah sakit yang sebagian besar sudah ia hafal. Ternyata menemukan ruangan Ado tidak sesulit saat pertama kali mencarinya sendiri. Ado benar, Seren tidak perlu malu untuk bertanya apalagi sampai letih mencari ruangannya.

Seren berhenti tepat di depan pintu yang berwarna senada dengan dinding rumah sakit. Suara orang yang sedang berbincang membuat Seren penasaran, ia melihat dari celah jendela. Ternyata Ado sedang berbincang dengan Mamanya. Ia memutar badannya, terdiam beberapa menit lalu menjentikkan jarinya dan berlari kecil melancarkan aksinya.

Ia menemui salah satu perawat, meminta satu buah masker untuk menutupi wajahnya. Setelah mendapatkannya, Seren langsung menggunakannya dan melangkahkan kaki kembali ke ruangan Ado. Ia duduk di bangku ruangan yang tidak berada jauh dari ruangan  Ado, agar jika Mama Ado sudah keluar, ia dapat langsung masuk ke dalam.

Lima menit menunggu, akhirnya Seren melihat wanita yang Seren ingat bahwa itu adalah Mama Ado keluar dan berjalan santai menuju koridor utama. Seren tidak peduli Mama Ado akan pergi ke mana, selagi dia tidak mengganggu maka tidak masalah. Ia langkahkan kakinya kembali, meneliti seisi ruangan Ado berniat memastikan apakah ada orang lain di sana. Seren terkekeh, yang ia lihat hanya Ado lengkap dengan kursi rodanya tanpa ada orang lain di sana.

Ia membuka pintu dengan sangat hati-hati, sebisa mungkin agar tidak menimbulkan suara. Ado yang sedang memandangi jendela membuat Seren mempunyai ide lain. Ia langkahkan kakinya pelan lalu menutup kedua mata Ado dengan tangannya. Laki-laki itu memegang tangan Seren dengan lembut. Seren berdecak kesal, tidak seperti harapannya.

"Nggak perlu nutup mata aku, Ren. Dari ukuran tangan kamu yang mungil juga udah ketahuan, apalagi cincin di jari tengah kamu. Itu udah jadi ciri khas kamu yang mudah aku ingat."

Seren melepaskan kedua tangannya lalu berdiri tepat di hadapan Ado. Ado tersenyum tipis memandangi wajah Seren. Ada hal aneh yang baru Ado sadari.

"Kenapa pakai masker?" tanya Ado pelan, masih dengan raut wajah tenang dan penuh keteduhan.

Ia tidak langsung membalas ucapan Ado. Ia mengambil bangku dan air putih yang hanya tersisa setengah. Bangku itu ia letakkan tepat di hadapan Ado, ia kemudian duduk sambil melepas sendal yang membuatnya tidak nyaman.

"Biar nggak ketahuan sama mama kamu," kata Seren kemudian meneguk air putih hingga habis.

Ado meraih gelas yang Seren pegang, meletakkan ke tempat semula walaupun tangannya sempat ditahan oleh Seren. Apa salahnya membantu hal kecil untuk Seren? Selagi Ado mampu melakukan sesuatu untuk Seren, maka akan dia lakukan.

"Lain kali nggak usah kayak gitu, ya, Ren. Aku nggak suka ngelihat kamu susah napas kayak gini."

Ado mengusap pelan rambut Seren. Bukannya membalas ucapan Ado, Seren malah meletakkan kepalanya di pangkuan Seren. Jarak keduanya semakin dekat, Ado tidak menolak. Tangan kanannya terus mengusap kepala Seren hingga gadis itu terlelap. Ado tidak keberatan, justru dia senang karena dalam pertemuan mereka kali ini tidak ada raut kekesalan di wajah Seren apalagi melihat gadis itu menangis memikirkan penyakitnya membuat Ado semakin merasa takut dipanggil Tuhan terlebih dahulu.

Mulai besok Ado akan kembali berlatih berjalan. Ado sudah memiliki jadwal khusus, tapi hasilnya selalu sama bahkan baginya itu tidak dapat membantu banyak. Dalam proses pemulihan kakinya agar dapat kembali berjalan, tentu dia akan sering sekali jatuh dan membuat badannya semakin sakit. Tumor otak yang dia alami tentu berdampak banyak bagi saraf lainnya. Ado mengembuskan napas kasar, dia harus dapat membagi waktu antara pengobatan dan menjaga Seren, gadis yang mampu mencuri hatinya.

Kamu itu lucu banget, Ren. Suka teriak kesal, pergi pas marah, dan suka putar balik karena takut aku kenapa-kenapa.

-💃-

Seren menghentakkan kakinya kesal menuju ruangannya. Bagaimana bisa ia tidur di pangkuan Ado selama dua jam? Harusnya mereka mengobrol tentang banyak hal, tapi ia malah tertidur. Seren mengumpat, mengingat kebodohannya. Bukan hanya itu, bagaimana dengan kondisi kaki Ado yang menopang kepala Seren selama dua jam? Mengingat hal itu malah membuatnya semakin malu.

Ia menurunkan kenop pintu yang lama-kelamaan sudah ia anggap seperti kamar sendiri. Sudah ada gadis dengan rambut yang dikuncir duduk di dekat jendela dengan sorot mata yang memandangi keadaan luar. Tidak, gadis itu tidak benar-benar menatap pemandangan di depannya. Jika diperhatikan dengan intens, tatapannya kosong.

"Kenapa nggak bilang kalau mau datang, Ra?" tanya Seren menghampiri gadis itu. Tiga detik sudah berlalu, tidak ada tanda-tanda gadis itu akan membalas ucapannya. Seren putuskan untuk menepuk bahu Ara, mengembalikan kesadaran Ara sepenuhnya.

"Eh? Sejak kapan masuk, Ren?"

Seren menyipitkan kedua matanya. Ara sepertinya baru saja menangis. Matanya memerah, sama halnya dengan hidung mancungnya yang ikut berubah warna.

"Barusan. Lo nangis? Kenapa?"

Ara meremas dress yang ia gunakan. Dia memutar bola matanya ke kanan dan kiri, memikirkan jawaban apa yang tepat.

"Nangisin Delvin? Kalau lo ada masalah, cerita ke gue. Gue cuma sakit liver bukan buta. Gue udah lama tau kalau lo suka Delvin."

-💃-

Ehehe maapkeun baru sempat update lagi. Sebenarnya kemarin udah nulis, tapi belum cukup buat di-update.

Vote & komen ditunggu ❤
Saran & kritik ditunggu ❤

Serendipity [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang