— Heidelberg University, Jerman.
Siang itu cerah dengan awan biru berkilau di langit Jerman. Awal dari pertemuan dua manusia yang memiliki banyak perbedaan dan membuat mereka saling tarik menarik bagai dua kutub magnet dikala pertemuan itu tiba.
Alta Genio Bonanza, dialah mahasiswi cantik asal Indonesia yang gemar membuat argumen tentang perkembangan politik di Negara asalnya, begitu antusias dan banyak bicara dengan gaya santai disertai lelucon. Berbanding dengan Devano Jean Lihertzly, cowok introvert dan kutu buku. Devano lebih memilih mencari tempat duduk di bawah pohon oak sambil membaca buku The Canon of Medicine dari Ibnu Sina, mengabaikan teman-teman setanah airnya saat perkumpulan pelajar Indonesia se Heidelberg University.
Alta dan Devano berbeda. Alta dari fakultas hukum yang senang berargumen, sedangkan Devano dari fakultas kedokteran yang senang kalau disuruh membelah otak Alta.
Es ist immer etwas Wahnsinn in der Liebe. Es ist aber auch immer etwas Vernunft im Wahnsinn.
— Friedrich Nietzsche
"Astaga, kok politik Indonesia makin memprihatinkan banget sekarang," kata Randy sambil mengunyah keripik kentang yang dia ambil dari tangan Keiyn.
"Iya, semenjak aku pindah ke Jerman gini nih akibatnya," celetuk Alta. "Jadi makin ancur aja sistem politik di Negara kita."
"Apa hubungannya emang, ta?" tanya Keiyn.
"Ya kan kalo aku di sana keadaan pasti makmur, secara Presiden Alta itu selalu mengayomi semua rakyatnya." Alta nyengir menunjukan deretan giginya yang rapih, membuat semuanya tertawa. Kecuali, Devano yang hanya menggelengkan kepalanya dan kembali fokus membaca. Alta itu sinting, itu yang Devano pikirkan ketika pertemuan pertama pelajar se Jerman yang rutin dilakukan sebulan sekali di Berlin.
"Percuma kalau kamu jadi Presiden tapi rakyatnya masih punya pola pikir gak bener. Belum lagi para pejabat negara yang sukanya cari muka demi jabatan," kata Dimas teman sefakultas Alta yang seorang putra dari bangsawan keraton di Jogja.
"Nah," Alta menjentikkan jarinya seperti pemikir ahli. "Itulah politik negara kita, dim. He was good at manipulating his friends so that he was chosen chairman."
Anya mengangguk setuju. "Itulah tugas seorang politisi, mempolitiki," kata perempuan asli Jakarta dengan rambut lurus sebahu dan mata besarnya.
"Aku kemarin liat disosmed, banyak masyarakat kita yang berani komen kebencian di akun Presiden kita."
"Itu lain kasus, ngel." Alta mendengus pada Angel, si cewek asal Manado dari Fakultas Ekonomi. "Ini sih bukan lagi tentang politik, tapi pola pikir masyarakat kita yang terlalu sinting. Ya kali sama Presiden aja berani gitu. Dimana moral bangsa kita? Inget, kita itu NKRI! Bersatu kita teguh bercerai kita runtuh. Kalau rakyatnya aja banyak kurang puas kaya gitu, aku sih amit-amit jadi Presiden, apa-apa salah mulu. Kecuali rakyatnya ganti otak sama otak Patrick, baru aku maju jadi Presiden."
"Hush, ngawur." Dimas ngakak, begitupula yang lain. "Yang ada kamu yang lama-lama jadi sinting ngadepin triliunan masyarakat kaya Patrick."
Alta cemberut ketika semuanya ketawa karena dia dan Dimas. Alta itu memang dikenal sebagai Mahasiswi yang bisa membuat teman disekitarnya tertawa hanya karena leluconnya yang menurut mereka sangat lucu atau perkataan spontan yang tidak pernah dia pikir dulu sebelum difrontalin. Cewek keturunan Sunda Pranciss itu juga terkenal tidak bisa diam dan pandai bergaul, semua pelajar Indonesia se Jerman tidak ada yang tidak kenal Alta. Cewek yang selalu komen apapun disaat tidak sesuai dengan pola pikirnya.
YOU ARE READING
Ich Liebe Dich
Teen Fiction"Hidup yang bahagia ya, Ta" "Aku benci diri aku sendiri, Van."