"Vanoooo!"
Suara cempreng itu membuat langkah Devano yang hendak memasuki gedung fakultasnya berhenti, dengan wajah malas ia menoleh, melihat cewek super ngerepotin yang sukses bikin mood nya buruk kemarin. Devano mendengus, melotot pada Alta yang membungkuk di depannya, mengatur nafas setelah berlari dari taman.
"Guten Morgen, Vano." Semangat Alta, menunjukkan deretan giginya yang rapih. Cewek itu membenarkan jaket denimnya lalu menepuk bahu Devano. "Aku sengaja loh mampir ke fakultas kamu cuma buat ngucapin selamat pagi. Masa muka kamunya ditekuk gitu sih? Jelek tau."
Devano mengernyit. "Nicht wichtig," katanya jengkel.
"Hei! Ayo bilang makasih, temen kamu gak ada kan yang seniat ini buat ngucapin selamat pagi? Cuma aku, Vano. Cuma Alta."
"Dan cuma kamu yang kurang kerjaan, Ta. Lagian sejak kapan kamu jadi teman aku?"
Alta cemberut, menatap sebal pada Devano yang menunjukkan raut menyebalkan. "Sejak kamu lahir, sejak tangisan pertama kamu keluar, malaikat juga udah catet kalau Devano itu temannya Alta," katanya sebal.
Devano mengernyit. "Kamu gila ya? Mana ada yang kaya gitu."
"Ada!" Alta melipat kedua tangannya di depan dada, menatap serius Devano. "Buktinya kita iya. Suara tangisan kita itu sama, makanya aku yakin kita itu udah ditakdirkan jadi teman. Sama kaya Tinker Bell dan Fairywinkle yang lahir dari suara tawa yang sama. Dan ternyata mereka kembar. Karna kita gak mungkin kembar. Jadi, kita itu teman. Atau..." Alta memainkan alisnya menggoda dengan jari telunjuk di dagu, ia jinjit mendekat pada Devano. "Jangan-jangan kita ini jodoh?" Bisiknya.
"Ngaco!" Kesal Devano, refleks menoyor kepala Alta ke belakang yang langsung membuat cewek itu tertawa kencang. "Please, Ta. Rumor tentang otak kamu yang udah geser itu ternyata benar. Gila kamu."
"Wah, jadi selama ini diem-diem kamu suka dengerin orang-orang gosip tentang aku ya?" Goda Alta.
"Siapa yang gak kenal kamu? Mahasiswi Indo yang hobby nya bikin ribut, penuh omong kosong dan paling suka bikin orang kesel karna ke begoannya yang dibawah limit."
"No!" Kesal Alta. "Itu semua hoax! Kamu itu harus cari faktanya sebelum percaya sama rumor kaya gitu. Ada loh UUD atas pencemaran nama baik, bisa dipenjara kamu."
"Terserah kamu. Aku sebentar lagi ada kelas, gak guna ngeladenin orang kaya kamu." Devano melangkah cepat dengan kaki nya yang panjang, mengabaikan Alta yang mendumel sendiri sambil mengumpatinya.
" Awas ya kamu, Vano!! " Alta berteriak lantang yang membuat semua Mahasiswa yang ada di sekitar gedung fakultas melihat Alta dengan pandangan " dia ngapain coba teriak-teriak? Aneh " Dan tentu saja semua itu di abaikan oleh Alta.
Devano yang sempat mendengar teriakan Alta pun akhirnya berhenti lalu berbalik badan menghadap Alta, Alta kaget karena Devano yang tiba-tiba berbalik arah.
" Awas ya kamu, Vano " kata Devano mengikuti Alta dengan nada mengejek setelah itu tertawa dan kembali berjalan menuju ke kelasnya.
Alta sebenarnya hendak mengejar dan menjambak rambut Vano sekuat tenaga, tapi Vano sudah terlebih dahulu lari menuju ke dalam gedung karena Dosen pembimbing nya sudah masuk ke kelas.
Alta menghentakkan kakinya kesal lalu kembali ke kantin karena jam pelajarannya sudah habis.
"Apaan coba, jadi manusia nyebelinnya sedalam palung mariana gitu. Besok lagi gausah balikin buku dia deh, biar tau rasa. Ngomel, ngomel deh sekalian."
Gadis itu masih sibuk berjalan dengan mulut yang masih sibuk mengomel tentang Devano, Coba saja Devano kini masih ada didepannya, Alta jamin Devano akan berakhir dengan jambakan maut dari Alta.
Di Kantin pun Alta masih sibuk cemberut tiada henti, tersenyum sebentar saat memesan makanan lalu kembali cemberut ketika menuju meja yang sedaritadi diincarnya. Meja paling pojok, tujuan utama Alta disana. Alta duduk disana ditemani angin Berlin yang mulai menusuk kulitnya yang hanya dilapisi oleh kaus oversize miliknya. Keadaan di kantin lumayan ramai dengan mahasiswa yang baru saja menyelesaikan matkul hari ini atau yang masih menunggu jam mulai.
"Hier ist ihre Bestellung, Miss." Penjual itu tersenyum ramah sembari menaruh pesanan Alta di atas meja, merapihkan meja yang lumayan kotor.
"Vielen Dank, Ma'am." Ucap Alta dengan balas tersenyum. Setelah pesanan selesai di antarkan, penjual itu kembali ke standnya dan membiarkan Alta menikmati makanan dan minumannya.
Baru satu langkah menyentuh gelas kaca dihadapannya, handphonenya berdering lama disusul lagu take a hike. Ah, telefon rupanya.
"Halo?"
"Alta, ini gua Dimas."
"Iya kenapa, Dim? Mau jemput ya, Alta di kantin nih."
"Duh,Ta. Maaf banget gua gabisa jemput, Papah gua minta gua buat nemenin dia meeting. Lo pulang sendirian ya?" Kata Dimas dari seberang sana.
"Yah, Dim. Temen gua udah pada pulang nih, gua males naik Taxi. Gua pulang sama siapa?"
"Nebeng temen lo yang di fakultas lain deh, udah ya. Auf Wiedersehen, Alta."Alta mendengus kesal. Apa ini karmanya sehabis mengganggu Devano 1 jam yang lalu? Tapi kan Alta ga ganggu, Alta hanya menyapa baik-baik. Jadi harusnya ini bukan bagian dari karmanya.
Mencoba sedikit berpositif thinking, Alta tetap terduduk di kantin sembari menatap sekitar. Ya siapa tahu akan ada temannya yang mau pulang juga, jadi dia bisa ikut. Naik Taxi itu sama dengan menghabiskan uang untuk berjalan-jalan di akhir pekan. Alta tidak mau.
Coba saja tadi dia tidak menyia-nyiakan waktunya untuk menyapa Devano yang berujung ditolak mentah-mentah seperti tadi, pasti masih banyak teman-temannya yang masih ada di sekitar kampus. Alta kesal bukan main, lelaki itu seperti tidak tahu terimakasih. Masih untung ada gadis baik sepertinya yang mau menyapa dengan senyuman manis secerah mentari di pagi hari. Dasar manusia tidak tahu bersyukur.
Tapi ngomong-ngomong soal Devano, kenapa ia tak meminta Devano untuk mengantarnya pulang saja ya? Lagipula Alta bisa menunggu lebih lama kok daripada harus naik taxi. Seriusan.
Tekad Alta hari ini, di jam ini, di menit ini, Ia harus menunggu Devano. Perihal Devano mau atau tidak untuk mengantarnya pulang, itu bisa dibicarakan nanti. Kalau memang tidak mau ya nanti Alta paksa, memang kenapa.
YOU ARE READING
Ich Liebe Dich
Teen Fiction"Hidup yang bahagia ya, Ta" "Aku benci diri aku sendiri, Van."