.pasutri kondang.-akaayuki-
⬇️
“can i hope more good days
without you?”───────
“Kau pucat. Oh ya, kau sempat masuk angin kemarin, apa sudah membeli obat?”
Ucapan dari sang suami belum juga ia gubris. Alih-alih menimpali, netra ruby asyik tenggelam dalam layar gawai. Membuat Keiji harus berusaha mati-matian untuk meraih atensi.
“Taruh ponselnya ketika seseorang mengajakmu berbicara,” sambung Keiji. Nadanya, jelas menyiratkan sindiran. Tidak tanggung-tanggung, pergelangan tangan milik sang istri ia jawil.
Ponsel begitu saja Akira sentak. Sebagai gantinya, netra delima memandangnya jengah.
“Baiklah baiklah.” Diulasnya senyum dengan terpaksa, ingin menandakan bahwa wanita itu baik-baik saja. Memangku dagu dengan tangan kanan, ia pun berucap. “Ada apa, Yang Mulia Berwajah Datar Akaashi Keiji?”
“Berhenti bercanda. Aku ingin mengatakan sesuatu.”
Begitu saja. Tetapi, lima menit berselang, Keiji belum juga mengucapkan sepatah kata. Membuat Akira berang.
Sangat membuang waktu, menurutnya.
“Mas Akaaji',” panggil Pak Somad selaku pemilik warung. Mereka memang sudah kenal sejak lima tahun yang lalu. Dan sudah menjadi kebiasaan baginya untuk memanggil dengan sebutan seperti itu.
“Silakan dinikmati hotplate seafood dan cumi sambal ijonya, Mas dan Mbak.”
Konversasi terpaksa berhenti. Keiji menyunggingkan senyum tipis, lantas memberikan apresiasi. “Akaashi, Pak.”
“Ndak papa, sudah menjadi kebiasaan. Monggo, Mas.”
Akira tertawa singkat. “Aku suka panggilan Akaaji'.” Ia baru pertama kali diajak ke sini. Dulu memang, Keiji bersama dengan tim fukurodani selalu merayakan kemenangan di warung seafood ini.
“Berhenti tertawa karena itu tidak lucu sama sekali.”
Akira mengangkat bahu. Meniru tindakan sang suami, pun ia mendekatkan hotplate seafood padanya. Dan seolah sudah menjadi rutinitas, bawang goreng ia sisihkan, lantas diletakan di atas piring kepunyaan Keiji.
“Terimakasih sekali. Tapi cobalah menyukai bawang goreng.”
“Tidak, rasanya aneh.”
“Hm. Tidak terlalu buruk, kok. Itu berarti selera lidahmu yang bermasalah.”
Wanita itu tersenyum singkat. Ia menginjak kuat-kuat sepatu Keiji yang menjadi pelampiasan kekesalannya untuk saat ini.
Demi Tuhan, setidaknya pria itu harus tahu waktu dan tempat yang benar untuk mendebatnya. Lihat saja, nanti.
Mereka berdua makan dalam diam. Sebab, sudah menjadi kebiasaan bagi mereka untuk tidak sibuk bercakap ketika makan. Terlalu membuang-buang waktu dan menghilangkan selera, menurutnya.
Berbeda dengan meja lain yang sibuk melempar tawa dengan suara keras, pasangan suami istri bermarga Akaashi tenang melahap santapan makan malam.
Maka, ketika satu porsi cumi sambal ijo tandas, dan sendok garpu telah diletakkan bersilang, pria itu baru membuka konversasi.
“Aku ... akan pergi selama satu minggu.”
“Kemana?”
“Labuan Bajo.”
Mereka sama. Sama-sama berusaha membuat nada bicaranya setenang mungkin.
Aktivitasnya terhenti. Memang, sudah menjadi resiko mempunyai suami berprofesi sebagai jurnalis. Tugasnya untuk meliput kesana kemari mengharuskan ia siap ditinggal kapan saja, entah seberapa lamanya. Demi kepentingan sebuah redaksi.
“Kapan kau akan pergi?”
“Lusa.”
Akira mengerang. Baiklah. Ia menyesalkan rencana dadakan seperti ini. Perutnya sering mengalami mual dan ia berencana pergi ke dokter bersama Keiji dalam minggu ini. Tapi, sepertinya rencana itu harus pupus bahkan sebelum mereka sempat berdiskusi.
“Kau bisa menghubungi Mbak Aiza jika kesepian. Atau siapapun yang kau kenal.”
Gelengan singkat ia berikan. “Aku baik-baik saja. Khawatirkan saja dirimu, Nusa Tenggara sedang marak terjadi demam berdarah 'kan?”
Garpu dan sendok ia letakkan. Tersisa seperempat bagian hingga makanan itu tandas. Namun, sudahlah, nafsu makannya tersapu angin malam begitu saja.
[]
tersisa empat bab, dan sepuluh hari
menuju ramadhan.semangat, gaes!
YOU ARE READING
pasutri kondang.
Fanfictionjika kamu penasaran; bagaimana kehidupan akaashi dan akira setelah mengucap janji sehidup semati. hanyunari! project.