i. Kepikiran Bukan Kepalang

26 6 0
                                    


Jangan tanya bagaimana pusingnya pikiran gadis itu setelah tadi mendengar pertanyaan yang sebenarnya biasa saja dari mas-mas yang tinggal di seberang rumahnya. Dari sebelum masuk kelas, waktu ke toilet, bahkan sampai jam pulang seperti sekarang pun, tebak apa yang ada dalam pikiran Bunga?

"Pulangnya mau dijemput juga?"

Oh, sial.

"Woi, ngapa lo?"

Meski mejanya digebrak pun, tetap tak berbuah kembalinya kesadaran Bunga. Ia tetap memangku wajah dengan tangan sambil menatap kosong papan tulis. Tanpa sadar Bunga menarik garis bibirnya membentuk guratan senyum.

"Bunga, lo agak waras dikit kayaknya nggak bisa, ya? Lo nggak mau pulang apa gimana?"

Suara Dina yang sedaritadi menggema tak juga dihiraukan gadis itu. Membuat sang empunya suara menjadi tak sabaran dan akhirnya menarik pelan kunciran rambut Bunga. Dan tentu saja disambut dengan tonjokan maut oleh gadis berinisial B alias Bunga.

Tapi, untungnya kesadaran gadis itu telah kembali.

"MALAH GUE YANG DITONJOK!"

Dina meraung keras, pura-pura marah (tapi presentase marah benerannya jauh lebih besar). Ia lalu bersikap hiperbola dengan mengelus-elus lengannya sendiri. Padahal kalau yang Bunga asumsikan sih, tonjokan itu nggak ada apa-apanya.

Nggak ada apa-apanya dibanding rasa nyes-nyes waktu lihat Mas Ayodya jalan sama pacarnya yang sekarang sudah mantan puluhan tahun lalu. Iya, waktu itu dia sempat melihat dari jendela, Mas Ayodya sedang na--

Laaah? Kok orang itu lagi sih yang muncul?!

"Din, sini deh, gue mau nanya."

"Apaan? Awas kalo nggak penting ya, elo balik gue tonjok ntar."

"Dih, galak banget."

"Alah, udah apaan buru?"

Bunga menggigit bibir. Dalam hatinya timbul keraguan, tapi dia butuh kejelasan yang sayangnya tak dapat ditemukan oleh dirinya sendiri.

Pada akhirnya, gadis itu meminta saran dari Dina walaupun ia yakin pasti solusi yang dihasilkan tidak ada. "Menurut lo, gue mending minta jemput Mas Ayodya apa enggak?"

"Mas Ayodya? Hmm... oh! Yang sering nganter lo sekolah? Yang di depan rumah lo?" Dina memiringkan kepalanya, mencoba mengingat-ingat dan berakhir dia yang kesenangan. "Emang biasanya lo dijemput dia juga? Perasaan gue enggak, deh?"

Bunga merengut sambil berucap, "Ya, emaang... Tapi tadi dia nawarin... katanya kalau dianya juga nggak sibuk... boleh nelpon..." Gadis itu menggigit bibir bawahnya, lagi.

"Terus lo punya nomernya? Ehh bentar, emang lo udah punya hape baru?" Dina terus menghujaninya dengan pertanyaan.

Mendengarnya, Bunga pun menjawab sendiri pertanyaan itu dalam hati. Ia pun baru sadar kalau ia bahkan tidak punya nomor lelaki itu. Sosial media? Ayodya sih ada, Bunga yang tidak punya. Tidak punya sosial media maksudnya, orang ponselnya saja masih yang lipat dan tidak bergambar apel kroak tentunya.

Sedang bertanya mengapa? Oh, jawabannya simpel, karena ekonomi keluarga Bunga belum yang sebagus itu. Sampai tidak bisa membelikan Bunga ponsel layar sat-set-sat-set? Yaa, tidak sampai segitunya sih, Bunga hanya merasa dia belum terlalu butuh dan takut terdistraksi terlalu lama juga.

Walaupun sekarang, suka muncul rasa iri waktu lihat teman-temannya memakai ponsel apel kroak dengan harga bisa membeli motor itu dan dengan mudah berkomunikasi melalui aplikasi begituan.

Setiap Hari / Seperti BiasaWhere stories live. Discover now