Bagian 4 (Fatimah)

195 24 12
                                    

"Dia mantan Papa beneran?" tanya Syafira sambil menahan tawa.

"Sembarangan! Dia itu tetangga kita. Dulu, rumahnya di sebelah. Ya, kan, Nin?" Restu melirik enin.

Yang dilirik malah bengong.

"Jadi, memang sering main ke sini. Ya, sekalian aja papa manfaatin, suruh nyatet pelajaran sekolah atau ngerjain PR, haha .... Lagian, yang naksir papa itu banyak dan cantik-cantik," ucap Restu sambil sedikit membusungkan dada.

"Salah satunya dia." Syafira terkikik. "Kenapa Papa gak mau sekarang?"

"Kamu, ya?" Restu mengacak puncak kepala Syafira, hingga kerudungnya berantakan.

"Iih, berantakan lagi, kan?" Syafira menghindar meski terlambat.

"Dari dulu juga papa emang gak mau, kali." 

"Enin! Akang! Saya pulang dulu, ya ... mau ke pasar. Nanti ke sini lagi. Dadah Akang ...!" Tiba-tiba terdengar suara Cicih dari luar.

"Iya ...!" jawab enin.

Restu terlihat menarik napas lega. "Gak usah ke sini lagi ...!" serunya.

Entah Cicih mendengarnya atau tidak. Karena, tidak terdengar lagi suaranya.

"Hayu, ah. Berangkat!" ajak Syafira.

"Sarapan dulu atuh, Neng." Enin menarik tangan Syafira ke meja makan.

Syafira menurutinya, meski sebenarnya dia tidak selera untuk sarapan. Restu pun mengikuti mereka.

"Aha!" seru abah tiba-tiba. "Abah inget caranya," sambungnya.

"Apa tuh, Bah?" tanya Restu sambil meraih gelas berisi air putih, lalu meminumnya.

"Kamu harus nikah lagi," jawab Abah pasti.

"Uhuk!" Restu yabg sedang minum tersedak, kemudian batuk beberapa kali.

Syafira yang baru mengangkat sendok, urung menyuapkannya, dia malah menyimpannya kembali di atas piring. Kemudian bangkit. "Sya pergi sekarang aja," ucapnya sambil meraih tas. "Assalamu'alaikum," ucapnya kemudian, tanpa menyalami satu orang pun yang berada di situ, Syafira bergegas keluar.

"Res, antar si Eneng." Enin mencolek lengan Restu yang sedang mengelap mulut.

"Eh, iya .... Saya pamit. Assalamu'alaikum ...." Restu bergegas menyusul Syafira.

Sedangkan enin, langsung menatap abah tajam. "Abah, apa-apan atuh? Lihat Si Eneng, jadi ngambek lagi, kan?"

"Abah lupa. Beneran," jawab abah sambil menutup mulut. Kemudian terdiam karena baru menyadari yang diucapkannya tadi sesuatu yang tidak disukai Syafira.

"Tapi, kalau diingat-ingat mah, memang harusnya begitu," ucap enin.

"Iya, emang. Dulu juga, cara itu manjur."

"Dulu kapan maksudnya?" Enin kembali menatap abah tajam.

"Ya ... dulu. Ada gadis ngejar-ngejar abah. Abahnya gak mau. Terus, abah nikah. Tuh gadis, akhirnya mundur sendiri ...."

"Maksud abaaah?" Kedua mata enin sedikit membulat.

"Iya, begi ... tu." Abah terdiam, menyadari tatapan enin yang seolah dipenuhi bara api.

"Jadi, abah nikahin enin karena buat menghindari perempuan yang ngejar-ngejar abah, gitu? Bukan karena cinta seperti kata Abah waktu itu? Enin cuma dijadiin tameng. Iya?"

"Bu-bukan begitu."

"Halah! Sudahlah .... Enin mah emang cocok hanya jadi tameng saja. Karena gak ada gadis lain yang mau, sama buaya darat buntung kaya Abah!" Enin beranjak masuk kamar.

Gara-gara Papaku GantengTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang