Chapter 1 - Ikhlas

66 1 0
                                    

Sebulan telah berlalu, namun kabut kelam ini masih memenuhi seisi rumah kami. Setiap harinya, aku hanya melihat istriku termenung dibalik jendela kamar dengan derai air matanya yang tak pernah mengering.

Seperti sekarang ini, aku kembali menyaksikan pemandangan yang memilukan itu. Di dalam sana, dia terus saja terdiam menatap buliran hujan yang semakin lama semakin deras seperti halnya dengan derai air mata yang mengaliri pipinya.

Tak ada isakan yang ku dengar, karna istriku itu paling pandai menyembunyikan tangisannya. Tapi aku sudah sangat mengetahui seperti apa dirinya. Dan selama ini, selama kami membangun rumah tangga kecil kami, tak pernah sekalipun aku melihat istriku serapuh ini. Kejadian yang kembali merenggut nyawa anak ke Empat kami yang masih berusia empat bulan dalam kandungannya, rupanya menjadi pukulan terberat dalam hidupnya.

Dan aku, sebagai suaminya, aku masih tak bisa membantunya keluar dari kepedihan ini. Aku tak sanggup lagi membangun ketegaran itu dihatinya dan hal itu membuatku semakin terluka.

Setetes air mataku pun jatuh membasahi pipiku. Kembali ketegaranku hancur melihat rapuhnya hati Bidadari surgaku itu. Tak ada yang lebih menyakitkan dari ini. Dan kalau saja bisa, aku ingin sekali menghilangkan segala rasa sakit itu. Tapi sayangnya, untuk sekarang aku masih belum bisa melakukannya. Yang bisa ku lakukan hanya terus terlihat kuat dihadapannya agar ia tak terus menerus menyalahkan dirinya atas kepergiannya anak kami.

Kembali ku tegarkan hati ini, ku hela berat nafas ini lalu perlahan ku langkahkan kakiku menghampirinya. Ku peluknya tubuh ramping Bidadariku itu dengan begitu eratnya. Aku hanya ingin memberikan sedikit kekuatanku untuknya. Aku tak sanggup lagi melihatnya serapuh ini dan aku tak sanggup lagi merasakan luka tersayat dihati ini setiap kali melihat air matanya itu.

"Sayang, Apa yang kamu lakukan disini?" Bisikku padanya.

Setelah mendengar suaraku. Aku merasakan tubuhnya bergetar hebat. Kedua tangannya menggenggam erat lenganku yang mengitari perutnya. Ku rasakan kedua tangan mungilnya juga bergetar. Rasanya begitu memilukan. Tapi tidak, aku tak boleh sedikit pun menangis dihadapannya.

Kembali ku eratkan pelukanku. Ku jatuhkan kepala ini dibahunya dan sesekali ku kecupnya bahu yang masih tampak rapuh itu. Perlahan wajahku ku tempelkan dilipatan lehernya. Ku kecupnya perlahan leher jenjang itu lalu ku tenggelamkanlah sudah wajahku kedalamnya.

"Kita harus ikhlas, Sayang. Apa yang terjadi pada kita itu adalah kehendak Allah. Kita harus bisa bersabar dan kembali melanjutkan hidup ini." Bisikku lagi padanya.

Dan ku dengar, tangisannya semakin membuncah. Dia membalikkan tubuhnya, memelukku dengan begitu eratnya. Tubuhnya semakin bergetar dalam pelukanku. Dan semakin ku eratkan pula pelukanku ini.

"Maafkan Aku, Mas."Ucapnya dengan suara yang tertahan.

Tangisnya semakin menjadi. Sungguh, ini sangat menyakitkan. Rasanya aku tak sanggup lagi mendengarnya.

"Maaf, Mas. Maafkan aku. Ini semua salahku. Kalau saja waktu itu aku menuruti perkataanmu, Mas. Mungkin saja anak kita masih ada dalam kandunganku ini."

"Tidak, Sayang. Ini bukan salahmu. Dan aku tak pernah menyalahkanmu Sayangku. Jadi sudah yah. Jangan pernah menyalahkan dirimu lagi atas hal ini."

Ku lepas pelukanku lalu ku rangkum wajahnya. Ku lihat wajahnya sangat sendu, perih rasanya hati ini melihatnya.

"Jangan pernah salahkan dirimu lagi, Sayang. Aku sudah ikhlas melepas kepergian anak kita. Dan kamu juga seharusnya melakukan hal itu." Ku belai lembut wajahnya. Dia hanya terdiam menatapku dengan air mata yang masih mengaliri pipinya.

"Berjanjilah padaku, Sayangku. Tolong berjanjilah kalau kamu tak akan pernah lagi menyalahkan dirimu atas kejadian ini."

"Tapi, Mas."

Jodoh Ke DuaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang