Kumpulan cerita pendek di antara cerita saya yang panjang-panjang
[Winner for Science Fiction Day dari event Mosaik Wattpad Indonesia untuk cerita "Huriah"]
:Tema: Seorang pria tua membuat kesepatakan pada burung kehidupan untuk mengembalikan sebuah nyawa orang yang paling dia sayangi, tapi itu semua tidak gratis.
---***---
| E-Jazzy | 371 words |
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Usia Arash sudah tiga perempat abad, hidup miskin dan terpencil dalam gubuknya nan jauh di kaki gunung. Saat si pria tua menemui sang Burung Kehidupan, orang-orang mengira dia ingin memperpanjang hidupnya. Tak tahu mereka, si pria tua malang memiliki dua cucu, yang salah satunya telah dibawa pergi oleh sang Maut dua malam yang lalu.
"Grisha," rintih Arash dengan tungkai gemetar dan napas bengek di hadapan sang Burung Kehidupan. "12 tahun. Kumohon kembalikan dia, ambil nyawaku sebagai gantinya."
"Engkau tahu, membawa kembali nyawa seseorang yang telah bersama Maut datang dengan harga yang mahal." Gema suara Burung Kehidupan menggetarkan tanah dan menggugurkan dedaunan. "Pertama, ada syarat yang harus dipenuhi usai aku mengembalikan orang yang engkau kasihi ke kehidupan. Kedua, ada nyawa yang harus ditukar agar sang Maut senang."
"Ambil nyawaku!" Arash berkeras. "Syarat apa pun ... akan kulakukan!"
Maka malam berikutnya, di tengah hujan badai berpetir, seseorang mengetuk pintu gubuk si pria tua. Arash dan cucu bungsunya membuka pintu dan dengan suka cita menyambut kepulangan Grisha yang menggigil dalam dekapan jubah putih. Di tangannya, tergenggam sekeranjang buah-buahan segar.
Bagikan pada tetanggamu, titah sang Burung Kehidupan melalui bibir Grisha yang bergetar kedinginan. Saat buah dalam keranjang ini habis engkau bagikan, Maut akan datang untukmu. Maut akan datang padamu yang membagikan buah-buahannya.
Arash menatap kedua cucunya dengan bimbang. Jika dirinya mati, bagaimana nasib kedua cucunya, Grisha ada Graha? Terpikir olehnya untuk mencurangi kematian.
Tidurlah Arash berselimut di lantai, sebelah tangan menepuk-nepuk dipan di mana kedua cucunya terlelap. Selama buah di keranjang tak dibagikan, tidak ada yang perlu mati.
Namun, hidup dan mati tidak tercipta untuk dicurangi. Kala seorang bocah tetangga dan ibunya yang renta mengetuk pintu, meminta belas kasih untuk perut mereka yang kosong, Graha yang mungil merangkak turun dari dipan dan memberikan sekerajang buah itu untuk dimakan oleh keduanya.
Petir menyambar, Grisha pun terbangun. Tepat sebelum adiknya memberikan apel terakhir kepada si ibu renta, Grisha mengambil alih buah itu dari tangan Graha.
"Ini, Ibu," tawar Grisha dengan senyum getir, menyadari betapa mencurangi hidup dan mati adalah kesalahan sedari awal.
Lantas fajar turun, Arash terbangun. Si ibu dan bocah telah pergi, meninggalkan Graha yang menangisi jasad Grisha sekali lagi.