Jinnam/Namjin
.
Angst
.
Summary: mengabaikan pernyataan cintanya yang ditolak, Namjoon kini bersikukuh memberikan surat cinta yang tak terhitung banyaknya pada orang yang ia cintai.
.
.
.
.
.
"Seokjin, aku mencintaimu."
"Maaf Joon, aku tak bisa pacaran denganmu."
Karena aku sudah tidak percaya dengan cinta lagi.
.
.
.
Ah, dia datang lagi.
Lelaki yang merupakan teman sepermainanku ini selalu mengunjungiku sejak pernyataan cintanya sebulan yang lalu. Sejak aku menolak cintanya.
Aku memantau dari jendela kamarku di lantai dua. Seperti biasa, dia datang membawa surat, meletakkannya di depan pintu rumahku, setelah itu membunyikan bel. Kemudian ia akan berlalu begitu saja.
Aku menuruni tangga dan membuka pintu teras. Sepucuk surat kecil yang diikat dengan pita merah diletakkan di atas keset kaki.
Untuk yang kesekian kalinya aku mengambil surat tersebut, membuka jalinan pitanya dan mengambil kertas yang ditaruh di dalam amplop.
Tanpa melihat isinya, sebenarnya aku sudah tau apa yang tertulis di dalam surat tersebut. Surat yang diisi dengan lima kata yang sudah bosan kubaca berulang-ulang.
Dear Seokjin,
aku mencintaimu.
Namjoon.
Aku terdiam membaca surat pendek itu. Tanpa sadar aku meremas surat tersebut dan melemparkannya sembarang arah.
Selalu saja begini.
Namjoon, teman sepermainanku di SMA yang belum lama kukenal itu tiba-tiba menyatakan perasaannya padaku.
Sebulan yang lalu ia memanggilku ke belakang sekolah saat aku masih mengantri untuk memesan sepiring rapokki di kantin pada jam istirahat.
Aku cukup terkejut dengan hal itu karena jujur, aku hanya menganggapnya sebagai teman biasa. Tak lebih dari itu. Akhirnya aku menolak perasaannya. Aku merasa bersalah, tapi aku sudah bertekad untuk tidak pernah pacaran lagi.
Semua itu dikarenakan perselingkuhan yang dilakukan pacarku, Baekhyun. Di hari kencan kami, aku yang sudah menunggu berjam-jam di tempat janjian memergokinya menggandeng orang lain dan mematikan ponselnya pada saat yang bersamaan saat aku meneleponnya.
Kepercayaanku benar-benar hancur dibuatnya. Aku yang mencintainya dengan sungguh-sungguh terluka karena kelakuannya yang menduakanku.
Setelah putus dari Baekhyun aku menjadi tidak percaya lagi dengan yang namanya cinta, atau hal-hal yang berkaitan dengannya. Aku bahkan menyerah dengan ambisiku untuk menikah suatu hari nanti.
Tapi disaat bersamaan Namjoon kembali mengguncang hidupku dengan cintanya yang tak kuharapkan.
Setelah aku menepis perasaannya kini Namjoon menerorku dengan surat-surat yang dikirimkannya setiap hari. Surat dengan pita merah yang sudah bertumpuk-tumpuk tergeletak di kamarku.