Bangkit

3 0 0
                                    


Aku segera mengambil ranselku dan bergegas keluar dari kamar. Hari ini aku pustuskan untuk mendatangi rumah Flemming. Berharap bisa melihat wajah Flemming aku merasa semuanya baik-baik saja. Aku juga bosan sedih seorang diri, sejak SMA, aku merasa kesulitan untuk menjalin hubungan dengan seorang cowok. Selain Ludi, aku belum bisa berpijak di satu hati yang lainnya. Aku terlalu egois. Perasaanku dengan Ludi saat ini nggak lebih dari seorang teman, tetapi aku jelas-jelas ingin Ludi selalu ada di sampingku. Hati ini ini belum jelas pijakkannya.

"Flem, ada acara nggak," tanyaku menghubunginya. "Aku ada di depan pintu rumahmu,"

"Oke," kata Flemming sambil membukakan pintu rumahnya. Flemming terdiam sejenak, inilah alasannya dia mengkawatirkanku, dimana aku memperlihatkan ekspresi datar di depannya. "Kamu kenapa She?" tanyanya langsung menyeretku masuk ke dalam rumah. "Ayo, masuk dulu, deh."

"Maaf, aku datang tiba-tiba ke rumah kamu." ujarku sambil berjalan masuk ke dalam rumah, sementara Flemming menyisahkan pertanyaan di wajahnya.

Aku nggak punya tempat untuk bernaung sekarang. Aku selalu merepotkan Flemming. Tapi aku datang tidak untuk bersedih. Aku ingin menghabiskan waktu bersamanya. Tertawa bersama sahabat yang aku miliki sekarang.

"Kamu, ada masalah apa?"

"Nggak ada kok."

"She?"

"Flem?"

Kami terdiam sejenak lalu tertawa renyah. Syukurlah aku bisa tertawa sejenak melupakan kesedihanku. Udah saatnya aku bangkit melupakan luka lama antara aku dan Sean. Lalu mulai mencari pegganti Ludi untuk mengisi satu tempat dalam hatiku. Ludi sedang apa sekarang, aku jadi teringat pertanyaan Mama. Nanti sepulang dari rumah Flemming, aku akan mencoba menghubunginya.

"Maaf, ya, tiba-tiba aku teriak memarahimu waktu itu. Menyebalkan ya?"

"Nggak, lucu. Mirip sapi liar yang sedang mengamuk. Tiba-tiba marah-marah." Tawa Flemming keras.

"Hei, ngetawain aja kamu!"

"Kamu itu lucu sekali, tau! Beneran aku paling suka liat kamu kalau sedang seperti sapi mengamuk begini."

Aku menatap Flemming penuh derai tawa. Hari ini aku menghabiskan tertawa bersama dengan Flemming. Begitulah hari ini. Saat indah tanpa memperdulikan masalah lain. Tertawa, bercanda. Terkadang terlintas ragu dipikiran, apa saat-saat ini bisa kunikmati seterusnya. Saat bersama sahabat yang disayang. Yang akan menjadi momen terindah seumur hidupku.

Hujan mulai turun rintik-rintik. Lagi-lagi hujan. Sepertinya sudah waktunya memasuki musim hujan. Aku dan Flemming masih tertawa riang menimati hujan turun. Timbul perasaan senang. Aku masih memiliki seorang sahabat yang selalu ada untuk menghiburku.

Aku pulang dari rumah Flemming selepas hujan. Penuh rasa bahagia. Terima kasih banyak Flem, tanpa kamu mungkin aku nggak bisa berdiri sendirian. Aku memang beruntung banget memiliki Flemming sebagai sahabatku. Terbesit dalam pikiranku, untuk mendekatkan Bia dengan Flemming. Suatu hari nanti aku harap ada seseorang yang mengendalikan hati Flemming. Sudah saatnya anak itu memiliki seseorang tempat dia berpijak.

l

"Hujan itu romantis"

Sean. Apa yang dilakukannya disini. Mengapa aku harus berpapasan dengannya. Ya Tuhan dia memberikan senyum manisnya untukku. Matanya berbinar. Sore ini di jalanan sehabis hujan turun.

"Sekarang kita udah nggak bisa kembali ke saat itu lagi. Semuanya sudah nggak seperti dulu. Aku berbeda, kamu pun berbeda. Yang artinya itu sudah jadi masa lalu, ya." ujarnya kemudian. Aku nggak ingin menatap wajahnya. Mungkin dia menyuruhku untuk melupakannya. Aku memang sudah melupakannya sejak kejadian malam itu. Kenapa juga aku bertemu dengannya di jalan kayak gini, badmood lagi yang ada.

SHETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang