1. Kantin

115 9 23
                                    

Seonggok batu karang, ups bukan. Seorang cowok terlihat asik bermesraan, sebentar bukan bermesraan dengan cewek. Bukan itu yang akan Revan lakukan di kantin yang cukup sepi ini, dia hanya sedang bermesraan dengan buku catatan kecilnya dilengkapi pulpen pilot hitam, berharap suatu saat puisi-puisinya akan terbang. Halah terbang apa? Bukan kok, cuma ingin nanti ada seseorang yang mengapresiasi karyanya dan meminta dibuatkan puisi setiap hari, ugh manisnya.

Tapi harapan hanyalah sebuah harapan, mana ada cewek yang mau dengan cowok kolot, suka membuat puisi, oh ini bukan di Tahun 1990, jarang sekali ditemui atau bahkan tidak ada cewek yang suka seorang cowok kolot pembuat puisi, pendiam, penyendiri, hanya berteman dengan satu atau dua orang saja. Pikirkan! Mana ada cewek seperti Milea di zaman seperti ini, begitu isi kepala Revan.

Pemilik nama lengkap Revan Nugroho itu mendongak, menatap seorang gadis mungil, berkulit kuning langsat, dengan rambut sedang tidak terlalu panjang memesan segelas mie di depan stan kantin. Iya, segelas mie. Sama seperti mie yang tersaji di hadapan Revan. Tanpa sadar senyumnya mengembang, baru ditatap dari belakang saja sudah manis, walaupun tidak ada lekukan sama sekali di tubuhnya yang terbilang over ramping itu, tapi entahlah apa yang membuat Revan sampai melamun begitu.

"Helo, boleh duduk di sini, Mas?" Revan menoleh ke samping kanannya, Bidadari batinnya.

"Eh, iya Mbak, silakan."

Cewek itu tersenyum simpul, "makasih."

"Eh btw suka miegelas juga, kamu pesan rasa apa?" tanya cewek itu, memang terdengar sok akrab bagi Revan. Tapi entahlah dia menyahut saja, "Kari ayam." Tidak seperti biasa yang langsung menjauh dan enggan meladeni orang-orang sok akrab seperti itu, malah kali ini diiringi senyuman manis khas-nya.

"Oh, ya, kamu ... anak kelas mana?" tanya Cewek itu. "Kenalin, Nana. XI IPA 2," sambung cewek itu kemudian.

Berisik ni cewek, tapi kok gue nggak ngerasa keganggu, ya? Heran.

"Revan, XI IPA 1."

"Oh, ya? Kelas kita sebelahan kok gue nggak pernah tau sama lo, sih?" sorak Nana kemudian. "Btw, maaf gue ngomongnya lo gue, nggak papa kan, ya? Soalnya kita seumuran juga. Tadi gue pikir lo kakak kelas, soalnya muka lo keliatan dewasa gitu."

"Santai aja, Na sama gue. Iya lah lo nggak tau soalnya gue jarang ke kantin di kelas mulu udah kayak ayam ngeramin telur."

Nana tersenyum lagi. "Nggak dimakan Van mie-nya?"

Revan segera mengambil gelas mie-nya yang masih hangat, menyeruput kuahnya dulu baru kemudian mengambil isinya dengan garpu lalu ia masukkan ke mulutnya dengan cepat.

"Pelan-pelan atuh makannya, nggak usah buru-buru. Pesanan gue kan belum diantar."

Maksud Nana sederhana, temani ia makan.

Tapi berhasil membuat Revan tersedak, Nana langsung panik, ia menyodorkan botol air mineral miliknya yang baru ia ambil dari lemari pendingin di kantin. Dan segera Revan menyambutnya, yang tanpa pikir panjang langsung meminumnya.

"Nggak papa, Van?"

"Mau mati gue, lo sih ah."

"Lah kok gue?" tanya Nana, lebih terdengar tidak terima.

"Gue lemah digituin sama cewek cantik, lain kali kalo mau gombal bilang-bilang dulu."

Tawa menggelegar menyambar pendengaran Revan, disusul guntur menghantam bahu, lengan hingga punggungnya.

"Uh, sakit, Na."

Nana menipiskan bunyi tawanya. "Lo kok lucu banget sih, kayak pelawak aja. Ya, mana ada orang ngegombal bilang-bilang. Sama kayak baper mana ada bilang-bilang dulu." Nana memukul lagi, tertawa lagi, dan mengumpat lagi. Berkali-kali.

FieryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang