"Sialan, pake bocor segala ini ban motor. Mana hujan begini, mikir deh siapa yang mau nolong, bidadara dari kayangan? Ngayal kali gue." Nana menepi, berteduh di sebuah toko yang sedang tutup, setelah turun dari motornya yang mulai kehilangan kendali ketika dikendarai.
Berulang kali mengumpat, merutuki nasibnya yang malang, sungguh kalau ada orang yang mau menolongnya ia akan amat berterima kasih.
Ekor matanya melirik, menatapi sebuah motor mendekat dengan cowok yang mengendarainya.
Nana terus menatap hingga cowok itu tiba dan memarkirkan motornya di samping motor Nana. Gadis itu mengerjap, tersadar dari kelakuan bodohnya. Apa-apaan menatapi cowok seperti tadi? Tidak ada harga dirinya, apalagi sampai ....
"Lo ngeliatin gue, ya?"
"Nggak anjir, geer amat."
"Udah kepergok juga pake ngelak," sindir cowok itu dengan bola mata memutar mengejek.
"Ih enggak kok, apaan sih, Van?"
Jadi Revan tu tengil begini, kok di luar ekspek gue banget. Perasaan kemarin anteng-anteng aja, deh. Bisik Nana dalam hati.
"Awan sepertinya menangis, menangisi kepergian bulan yang telah hilang, dan sepertinya bulan itu ada di sampingku."
"Apaan sih, Van? Lo lagi sakit, ya?" Nana menyeringai manis, diiringi tanya tidak paham. Walaupun ada bagian hatinya yang berdesis dan meronta-ronta ingin mendapat lebih dari itu.
"Penyakitku hanya dua; sepi dan merindu, merindu pada seseorang yg telah lama kutunggu. Mungkin itu kamu," tambah Revan lagi.
Kali ini Nana tidak bisa menyahut, ia hanya menutupi sebagian wajahnya yang mengeluarkan semburat merah, tidak tahan digodai seperti barusan. Nana terkekeh, sebelum akhirnya berdeham pelan pura-pura tidak terjadi apa-apa dengan dirinya beberapa detik lalu.
Revan menatap Nana, mulai dari atas hingga bawah. Matanya berhenti di bagian ban belakang Nana yang terlihat kempes. Pemuda itu memberanikan diri bertanya, walaupun gombalannya barusan sudah cukup memalukan. "Ban motor lo kenapa, Nan?" tanyanya dengan wajah sedikit khawatir.
Dengan nada meminta belas kasih dan pertolongan, Nana menjawab, "bannya bocor, padahal tadi di sekolah baik-baik aja. Waktu di depan Indomaret tempat gue mampir juga masih baik-baik aja, kok."
"Bocornya di sekitar mana?" tanya Revan lagi.
"Di sana, pertigaan deket mang Udin jualan martabak telor." Tunjuk Nana dengan jari telunjuknya.
"Oh, di sana emang rawan ban bocor, nggak tau kenapa."
Nana kembali memainkan handphonenya, kepalanya kembali mendongak saat suara Revan kembali menginterupsi, "Terus lo pulang gimana?"
"Belum tau," sahut Nana pelan.
"Mau gue anterin?" tawar pemuda itu menepuk-nepuk jok belakang motor Scoopy hitam stylish miliknya.
"Terus motor gue gimana?"
"Ya, nanti lah kita pikirin ulang," kata Revan memberi saran. "Sebisanya gue ambilin motor lo nanti, oke?"
Nana hanya mengangguk mengiyakan.
Butiran hujan semakin deras, bukannya cepat reda seperti keinginan Revan. Ia ingin lekas pulang, menindih kasurnya, memeluk gulingnya, mengelus lembut bantalnya. Indahnya, bermesraan dengan kasur dan bantal guling.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fiery
Teen Fiction"Kenapa nggak hujan-hujanan aja, biar kayak Dilan-Milea," ucap Nana asal. Revan terbahak, "lo bego, ya? Mana mau gue hujan-hujanan sama lo." Pemuda itu terbahak sekali lagi. "Lagian lo siapanya gue? Pacar bukan, tunangan bukan, temen juga bukan. Kit...