[June]
Gue rasa ibu-ibu satu ini memang benci aja deh sama gue.
Selama pelajaran kimia berlangsung, seriusan, gue sama sekali nggak melakukan apapun yang mengganggu proses belajar mengajar dia. Menginterupsi penjelasannya dengan izin ke toilet pun enggak. Tanya aja ke Dimas. Dua jam lebih gue cuma duduk diem di bangku gue. Ya kadang memang tidur, kadang buka HP baca manga. Tapi nggak gue doang gitu? Ini lima menit menuju istirahat, dan lagi-lagi, persis kayak minggu kemarin, Bu Erha tiba-tiba nyeletuk manggil nama gue dan nyuruh gue mengerjakan soal yang dia tunjuk asal dari buku paket.
"Selama Juven belum selesai, satu kelas nggak boleh istirahat."
Dih, salah gue apa, nyet?
Kalau ini masih soal gue yang pernah dituduh menghilangkan tugas kimia satu kelas sewaktu gue masih jadi ketua kelas dulu (nggak tau juga kenapa orang-orang pernah setuju), dan belum juga minta maaf, rasanya pengen gue ingetin lagi ke beliau kalau banyak orang di ruang guru yang jelas-jelas menyaksikan gue meletakkan tugas itu ke atas meja kerjanya.
Males amat. Bukan gue yang salah, gue yang repot sampai sekarang.
Jujur gue nggak suka banget sama pelajaran kimia (apalagi gurunya), tapi untungnya gue nggak bego-bego amat juga. Sekitar 2-3 menit setelah bel istirahat berbunyi soal itu sudah selesai gue kerjakan, walaupun sesuai tebakan gue, nggak diperiksa bener atau enggaknya juga sama si ibu-ibu ini. Beliau cuma bilang, udah, silakan istirahat, terus nyelonong aja keluar kelas.
Yee si anjir, tau gitu gue tulis pancasila aja tadi di papan? Sia-sia gue lumayan mikir.
"Gila dah, tu orang dendam kayaknya sama lu Jun." Kata Dimas memperkuat asumsi gue.
"Ga ngerti gua tae," gue mendengus sebelum mengambil dompet dari dalam tas, "udah lah yuk makan."
Dimas menepuk bahu siapa saja yang kita lewati selama menuju pintu kelas untuk ikut ke kantin beramai-ramai, beda banget sama gue yang langsung jalan ke luar tanpa peduli apapun selain bahwa perut gue harus diisi dengan semangkok soto betawi saat ini juga.
Belum pada denger kan, soal Dimas Dimas ini?
Kalau bukan karena ketemu dia di masa orientasi siswa sebagai yang sama-sama kena damprat karena atribut nggak lengkap, mungkin gue bakal meneruskan identitas lone wolf yang udah tersemat di diri gue sejak gue sekolah dasar. Awalnya gue kira, ya udah, teman sebangku. Bisa menjalin relasi yang kayak gimana sih selain berbagi contekan atau video bokep? Eh nggak tahunya, teman sebangku yang satu ini adalah teman sebangku yang ngebukain gerbang gue menuju banyak orang-orang yang lain.
Bentar, jadi gini.
Gue percaya tipe-tipe anak SMA yang suka digeneralisir masyarakat itu memang benar adanya. Ada tipe yang rebel, yang datengnya telat mulu, yang nggak ada sehari tanpa bolos ke kantin atau tidur-tiduran di mushola. Ada tipe yang memang sekolah untuk beneran belajar dan mengerjakan PR selagi orang tuanya membantu menyiapkan masa depan cemerlang buat dia. Ada tipe yang hidupnya cuma di organisasi, kegiatan ekstrakurikuler, atau nongkrong-nongkrong memperluas sayap pergaulan 24/7. Ada juga tipe yang medioker parah. Dibilang ini enggak, dibilang itu enggak. Tanggung, tengah-tengah.
Gue dan Dimas, dengan perbedaan yang begitu mencolok, adalah duo yang bisa merangkap jadi keempat-empatnya. Kadang rebel. Kadang rajin. Kadang sosialita. Kadang medioker.
Satu frekuensinya kami diperkuat lagi dengan kondisi gue dan dia yang sama-sama anggota tim futsal dengan circle yang juga itu-itu aja. Gue nggak begitu ngerti sih konsep pertemanan itu kayak gimana, tapi kayaknya kalau hidup gue adalah film ber-genre friendship, ya seenggaknya harus ada nama Dimas-nya di sinopsis. Mungkin ditambah Manggala (anak futsal dari kelas seberang) dan Johan (juga anak futsal dari kelas sebelah kelas Manggala).