Maybe I'm just a speck inside your head.

2.4K 325 52
                                    

"Dhan, kayaknya gue harus balik duluan deh."

Dhana menuntaskan satu baris rumus di atas buku tulis, baru beralih ke sosok jangkung berkacamata di sampingnya. Sekarang cowok itu sedang mengemasi barang-barang ke dalam tas dengan tenang.

"Adek gue minta dijemput di rumah temennya nih. Gapapa ya?"

Kepala Dhana mengangguk-angguk kecil. "He'eh, santaaaai."

"Itu buku gue lo bawa dulu aja gapapa. Gue pinjemin."

"Lah, emangnya Kak Wafi ga butuh buat belajar?"

"Belum butuh-butuh amat kok, paling ntar semester dua baru gue belajar pelajaran kelas 11 lagi."

"Hoo, yaudah deh."

"Nih, permen." Ia meletakkan sebatang Milkita coklat ke permukaan buku Dhana dan tersenyum tipis. "Hadiah karena lo ada progress hari ini."

"Dih, permen doang nih?"

"Permen duluuuu. Kalo ulangan lo dapet di atas 75 gue kasih lebih deh."

Dhana diam sejenak. "Permen doang gapapa deh kak."

"Hahaha!" Dia tertawa dengan begitu renyahnya, selagi berjalan menenteng tasnya ke arah pintu ruang OSIS yang cuma berisi mereka berdua. "Udah, buruan pulang Dhan. Gue duluan ya."

"Iyaa!"

Mungkin habis sepuluh detik Dhana cuma untuk memandangi punggung itu berjalan pergi sampai hilang sama sekali di ujung koridor. Buru-buru dia menggeleng—salah satu metode mengusir pikiran paling ampuh versi Dhana, membuka plastik Milkita dan mengemutnya, lalu ikut membereskan barang-barang di atas meja.

Oh, sekaligus membereskan hatinya juga, ia rasa.

Ruang OSIS dan kelas Dhana nggak terpisah terlalu jauh; satu tangga turun, satu belokan koridor, lalu jalan terus menyusuri tiga kelas lain, baru sebuah pintu cokelat berstiker pensi tahun lalu (juga tahun sebelumnya, dan tahun tahun tahun sebelumnya) yang dicoreti tanda tangan entah siapa sebesar telapak tangan dengan spidol permanen hitam. Seperti sudah jadi rutinitasnya, tangan Dhana cepat-cepat mengayun tuas pintu itu dengan semangat.

Tapi kosong.

Dilihatnya kursi terbelakang, maupun permukaan lantai.

Betulan kosong.

Dhana kemudian melirik jam tangannya, juga ke warna merah keemasan di kaki langit yang sebagian tertutupi genting bangunan lantai dua. Jam pulangnya kali ini memang kelewat petang. Mungkin dia sudah pulang. Mungkin memang hari ini ada keperluan. Entah kenapa Dhana jadi sibuk mengumpulkan mungkin-mungkin yang lainnya, sampai akhirnya dia dengar sebuah suara dari belakang telinganya.

"Nyari siapa lo?"

Bahu Dhana terlonjak, persis seperti maling yang tertangkap basah. Kepalanya lalu berputar beberapa derajat ke belakang, dan melihat kehadiran sosok itu bikin dia sadar kalau kelegaan semacam merambat di dalam hatinya. Karena apa Dhana juga nggak tahu. Dia nggak mau tahu. Maunya tersenyum.

"Nyari lo. Biasanya ada di atas meja. Geletakan kaya ikan asin." Tuturnya jujur. Cengirannya melebar lucu. "Abis futsal?"

"Engga. Taekwondo."

"Kok pake baju futsal?"

"Ya futsal lah!" Alis cowok tinggi itu bertautan seperti orang marah. "Pake nanya."

Dhana justru tertawa melihat reaksinya, sekaligus menertawai dirinya sendiri yang memang sehabis melontarkan pertanyaan bodoh. Lagipula dengan wajah dan intonasi seserius itu, bagaimana Dhana bisa tahu kalau June tadi sedang bercanda? June juga nggak tertawa, nggak menunjukkan sedikitpun tanda kalau dia sedang menghibur mauapun terhibur.

Time of TrialsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang