Wah, kapan ya terakhir kali dia berpakaian seberadab ini? Pikir June ketika melirik sedikit ke bayangan dirinya di permukaan pilar yang memantul sambil tetap berjalan menuju gedung bioskop.
Kalau nggak salah, kemeja bergaris-garis yang dikenakannya sekarang hanya pernah dipakainya untuk menghadiri reuni sekolah menengah pertama-itu juga karena ibu June mengomel mendapati anaknya hendak pergi ke acara besar hanya dengan kaus oblong berwarna hitam yang bahkan sudah nggak hitam. Kali ini, dipadu dengan celana jeans kebanggaan dan satu-satunya Converse yang dia punya, June akhirnya menggunakan kemeja itu lagi. June juga nggak tahu kenapa dia nggak berkaus dan berjaket seperti biasa saja. Mungkin dia nggak tega melihat benda itu terlalu lama teronggok di bagian terdasar lemarinya, atau mungkin June juga ingin terlihat sedikit lebih 'benar' dari biasanya.
"Jun, aku ngantri tiket dulu yah?"
Pembahasan mengenai kemeja di kepala June langsung terhenti.
Ini bukanlah dialog pertama yang terjadi di antara mereka berdua, tapi June masih tetap saja nggak kebiasa mendengar suara lembut itu. Tangannya lalu akan merespons dengan usapan nggak perlu di tengkuk, juga dehaman kaku yang seakan-akan sudah jadi trademark Juvenal Pratista.
"Oh, oke." Balasnya nggak kalah kaku.
Ocha tersenyum tipis, meninggalkan June berdiri canggung di tengah orang-orang yang berlalu lalang ke arah antrian panjang loket pembelian tiket.
Hari ini, secara resmi, June mememuhi janjinya kepada Dhana untuk mengiyakan ajakan Ocha pergi bersama. Pembicaraan-pembicaraan yang selama ini pernah terjadi lewat chat membuat June beranggapan kalau Ocha tak ubahnya dengan Dhana dan perempuan-perempuan lain yang ada di sekitarnya: gemar berceloteh, punya segudang bahan untuk ditertawakan, dan akan terus meminta sebuah respons dengan tingkat excitement yang setara.
Tapi enggak. Ocha sama sekali nggak seperti apa yang dia pikirkan.
Sejak saling menyapa di sebuah coffee shop di lantai satu, Ocha rupanya nggak terlalu banyak bicara. Gadis itu justru lebih banyak tersenyum, juga terus tertawa kecil pada setiap candaan June yang akan dibalas dengan desisan ketus andai saja yang di hadapannya adalah Dhana. Dan kalau June boleh jujur, dia masih harus beradaptasi dengan tanggapan-tanggapan manis seperti itu-berusaha untuk nggak membalasnya dengan bibir yang menjungkit kagok.
Ketika dia berjalan ke arah sofa untuk menunggu, ponsel di saku jeansnya berbunyi; datang panggilan dari pelaku yang membuat June menyemprotkan parfum lebih banyak dari biasanya.
"Apaan?"
"Hey! Gimana?"
Suaranya terdengar persis seperti seseorang yang sedang berbaring menengkurap di atas kasur dengan tungkai tertekuk berayun-ayun sembari sebungkus makanan ringan menemani di sampingnya. June yakin betul Dhana juga pasti sedang tersenyum lebar-lebar di sana.
"Apanya gimana?"
"Jadi kan?"
"Iya ini juga lagi sama dia."
"Oiya?! Jadinya ngapain?"
"Tadi ngobrol bentar di Starbucks."
"Trus trus?"
"Ini mau nonton."
"Trus Ocha-nya mana? Kok lo bisa ngangkat telepon sih?"
"Lagi beli tiket."
"JUNE!"
Teriakan Dhana membuat kepala June terentak menjauh secara otomatis dari ponsel. Nggak ketinggalan wajah nggak terimanya karena untuk sepersekian detik June betulan merasakan gendang telinganya cidera.