I hope you will be the flower that blooms in between.

1.7K 257 28
                                    

Ini. Aneh. Banget.

June nggak menyangka akan datang waktu di mana dia akhirnya memasuki sebuah ruangan yang buatnya sangat nggak menarik untuk didatangi sepanjang masa SMA-nya. Ruangan yang penuh dengan aroma orang-orang sok penting, sok sibuk, juga sebuah meja tempat berlangsungnya perdebatan tanpa akhir tentang kepengurusan yang ngaco: ruang OSIS.

Bagian teraneh dari semuanya adalah bahwa dia ada di ruangan ini bersama Dhana.

Dan Wafi.

Bertiga.

Sebentar, biarkan June mengingat kembali asal mula kejadian ini.

"Jun, ntar sore ngapain?" Tanya Dhana menghampirinya pagi tadi ketika June baru menduduki bangkunya. Dimas, teman sebangku June, sempat melirik tertegun sampai June terpaksa berdeham kikuk. Sekiranya sampai detik itu belum ada yang tahu kalau June sudah jadi salah satu teman terdekat Dhana.

"Ga ngapa-ngapain. Kenapa?"

"Mau belajar sama gue ga?"

"Hah. Kenapa sama lo?"

"Ih, sama Kak Wafi juga maksud gueee. Nanti, pulang sekolah, di ruang OSIS."

"Emang ga dipake?"

"Hari ini enggak." Dhana tiba-tiba memiringkan kepalanya tepat ke depan wajah June. "Gimana mau ga? Mau ya?"

June bisa merasakan lirikan Dimas semakin intens. Dia berdeham lagi, membuang pandangannya ke arah yang jauh, "Iya."

"Bener?"

"Iya."

"Lo bawa buku kan?"

"Ada di loker."

"Siiip!"

Lalu Dhana berlalu. June menengok ke kiri. Berbagai macam dalih sedang ribut menyusun diri di dalam kepalanya, tapi ternyata Dimas nggak bertanya apapun dan kembali membaca komik. Untuk ketiga kalinya, tenggorokan June terasa gatal.

Yup, it's Dhana, anyway.

Dhana yang memang berteman dengan semua orang. Cewek seperti dia nggak akan mungkin menimbulkan spekulasi macam-macam, iya kan?

Kira-kira begitulah penyebab mengapa June berakhir di ruangan asing ini, tepat pukul 15.30 setelah melewati dua jam pelajaran Bahasa Indonesia yang bikin June tidur pulas di kelas, duduk di hadapan buku-bukunya yang membentang. Turut serta jadi murid dadakan seorang Wafi Wirawan.

Perkenalan pertamanya dengan Wafi nggak begitu buruk. Dia tahu June karena June sering terlihat bersama gerombolan anak-anak futsal di lapangan, di kantin, maupun di warung Teh Sukma. June juga tahu Wafi, tentu, karena dia mantan ketua OSIS yang berprestasi. Mereka lalu bertukar senyum (meski June nggak tahu dia berhasil senyum atau enggak) dan duduk berhadapan sementara Dhana memilih kursi di samping Wafi.

"Hari ini ngebahas apa Dhan?" Tanya Wafi dengan suara beratnya, memulai bimbingan belajar hari itu.

Sekitar tiga puluh koma sekian persen fokus June memang terarah ke soal-soal fisika yang sebetulnya udah pernah dibahas di kelas sebelumnya (dia nggak akan heran kenapa Dhana menanyakan masalah-masalah itu lagi. Sesungguhnya kelas cuma tempat bengong, mengeluh nggak ngerti, tidur, atau ngobrolin drama korea buat Dhana), sedangkan sisa persentase fokus June justru ke dua orang yang satu ruangan dengannya.

Dua jam menurut June cukup, cukup banget, untuk menyadari kalau Dhana dan Wafi rupanya jauh lebih dekat daripada yang dia pikirkan. Dilihat dari cara Wafi menjitak kening Dhana yang nggak kunjung mengerti dengan konsep-konsep gerak harmonis, cara Dhana membalasnya dengan tinjuan, cara dia menertawakan cerita Wafi lebar-lebar nggak peduli ada remahan kacang pilus melompat keluar dari mulutnya, cara Dhana memutar tubuhnya sedikit, menyandarkan punggung ke sisi kanan tubuh Wafi, dan (lagi-lagi) mengerang nggak mengerti, sampai cara Wafi kembali ke ruang OSIS sambil menyeruput sebotol teh sosro yang langsung dirampas oleh Dhana, lantas diminumnya lewat sedotan yang sama.

Time of TrialsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang