Menuju Rumah Baru di Kota Bandung

30 1 0
                                    

Hai, aku Tamara! Aku anak tunggal dari kedua orangtuaku. Ayahku bekerja di sebuah perusahaan yang memproduksi alat berat. Hari ini keluargaku memutuskan untuk pindah ke rumah baru karena Ayahku diminta untuk pindah tugas. Sebenarnya Ayahku bekerja di Kota Jakarta, namun ia diberi kepercayaan oleh atasannya untuk mengelola perusahaan cabang yang ada di Kota Bandung.

Ini pertama kalinya bagi keluargaku untuk pindah rumah setelah bertahun-tahun tinggal di Kota Jakarta. Sejujurnya aku sedikit keberatan untuk pindah ke kota yang sama sekali belum pernah ku kunjungi. Banyak hal yang sulit untukku tinggalkan di Kota Jakarta. Namun, aku dan Ibuku harus selalu setia menemani Ayahku bahkan ketika ia harus pindah tugas seperti saat sekarang.

Sejak kemarin kami sudah mengemas semua barang yang sekiranya harus dibawa. Sementara barang-barang mebel lainnya seperti lemari dan tempat tidur sudah dikirim ke rumah baru kami sejak dua hari yang lalu. Jadi, kami hanya membawa beberapa koper dan kardus yang akan kami bawa menggunakan mobil pribadi. Selain itu, kami memutuskan untuk meninggalkan barang yang sudah rusak atau tak layak pakai lagi.

"Sayang, gak ada yang ketinggalan kan?" tanya Ibu padaku sambil merangkul bahuku.

Aku hanya menggeleng menjawab pertanyaan Ibuku. Ibu pasti tahu bahwa aku sedikit murung sejak Ayah mengatakan kami harus pindah. Rasanya entah mengapa ada perasaan mengganjal yang ku rasakan tentang tempat yang akan kami tuju. Namun, aku tak mengatakannya pada orangtuaku karena aku tak ingin dikatakan sedikit drama tentang perasaanku ini.

Tepat jam sembilan pagi kami berangkat meninggalkan rumah lama. Mobil kami melaju dengan cepat karena takut terjebak macet. Benar dugaan kami, mobil kami terjebak macet setelah baru melaju selama lima belas menit. Beruntungnya macet kali ini tak terlalu parah, sehingga mobil kami bisa keluar dari kemacetan Ibu Kota. Kemudian, Ayah kembali mengemudikan mobil kami sambil berbincang sesekali dengan Ibu. Sementara aku hanya duduk bersandar sambil memandang jalanan dari arah kaca. Tak lama, aku pun tertidur pulas ditemani lantunan musik dari headphoneku. Aku tak peduli perbincangan apa yang sedang dibicarakan oleh kedua orangtuaku. Jangankan melirik ke arah mereka, berbicara sedikitpun saja di atas mobil tak ku lakukan.

*****

Aku terbangun ketika Ayah tiba-tiba rem mendadak. Rasanya mobil kami seperti menabrak sesuatu. Aku berharap yang mobil kami tabrak ini bukanlah orang.

"Ada apa, Yah? Kok rem mendadak?" aku bertanya pada Ayah sambil mengusap mataku yang masih sedikit buram karena baru bangun tidur.

Ayah terdiam. Ia tak menjawab pertanyaanku. Begitupun Ibu yang hanya diam sambil melihat ke arah Ayah. Mereka terlihat pucat dan ketakutan. Aku berpikir bahwa mereka hanya cemas karena menabrak sesuatu. Namun, aku melihat dari raut wajah mereka bukan sekedar cemas. Aku bingung dan terus melihat mereka satu per satu. Dan tetap saja ketika aku mencoba bertanya lagi pada Ayah, ia hanya diam.

Sontak, aku ingin turun dari mobil karena berniat untuk memastikannya sendiri. Saat pintu mobil sudah terbuka sedikit, Ibu memegang tanganku yang sudah meraih pintu. Aku kembali menutup pintu mobil dan melihat aneh ke arah Ibu.

"Jangan, Nak!"

Kalimat singkat yang diberikan Ibu membuatku menjadi bingung. Aku tak paham apa maksudnya. Mengapa ibu terlihat sangat ketakutan sekarang. Ibu juga terlihat seakan membuang muka dari arah depan mobil.

Tanpa mengikuti perkataan Ibu, aku langsung membuka pintu mobil dan keluar. Ibu memanggilku beberapa kali dan memperingatkanku untuk tak turun. Namun, aku sekeras batu. Aku mengacuhkan Ibu tanpa sedikitpun meliriknya. Aku berjalan perlahan ke arah depan bibir mobil kami. Tak ada yang ku lihat, tak ada yang tertabrak, aneh sekali. Akhirnya, aku kembali masuk ke dalam mobil.

"Gak ada apa-apa kok. Kenapa Ayah sama Ibu keliatan ketakutan?" tanyaku pada mereka.

"Nanti Ayah bakal cerita kalo kita udah nyampe" jawab Ayah singkat.

Aku hanya memberikan senyum tipis pada Ayah sebagai jawaban. Tak ada yang berbicara lagi sepanjang perjalanan. Melihat semua diam aku juga ikut terdiam. Aku memutuskan untuk tidur kembali.

*****

Aku terbangun kembali. Kali ini bukan karena ada hal buruk lagi. Aku tiba-tiba terbangun tanpa sebab khusus. Dan ketika aku melihat ke arah jendela mobil, aku heran mengapa jalanan yang sedang kami lalui ini penuh dengan kabut. Kabutnya tak tebal dan tak juga tipis. Aku sedikit kesulitan melihat apa yang ada dibalik kabut tersebut. Bahkan, aku juga melihat Ayah menghidupkan lampu mobil agar tetap bisa melihat ke arah jalan yang akan dilalui.

"Kita udah dimana ini, Yah?" tanyaku pada Ayah karena penasaran.

"Ini udah jalanan masuk perumahan kita, Nak"

"Kenapa jalannya berkabut seperti ini, Yah?"

'Ayah juga gak tau. Mungkin disini abis hujan"

Aku tak menjawab lagi. Aku kembali melihat jalanan yang penuh dengan kabut itu. Namun, aku merasa kabut ini perlahan menghilang ketika mobil kami sudah melewati sebuah tugu yang sepertinya penanda pintu masuk perumahan ini. Ada tulisan kecil di tugu tersebut yang sulit untukku baca karena terhalang kabut.

Sedikit gambaran, sebenarnya perumahan baru kami ini tak seramai perumahan yang biasa ada di Kota Jakarta. Aku juga tak melihat orang lalu lalang atau kendaran yang lewat satupun. Perumahan ini seperti tempat mati saat kami melewatinya.

Ayah perlahan menghentikan laju mobil. Ia membuka sabuk pengaman dan aku mendengar ia menghela napas tipis sambil menatap ke depan kaca mobil. Tak lama, ia melirik ke arah ibu sambil tersenyum dan kemudian melirikku juga lewat kaca spion dalam. Dan tak lama Ayah tiba-tiba mengatakan sesuatu pada kami.

"Kita udah sampai"

Aku bingung. Kami berhenti tepat di depan sebuah rumah yang sedikit aneh. Rumah ini terlihat sudah lama kosong. Bahkan, pagarnya sudah berkarat dan ada bagian yang terlihat sedikit bengkok. Rumah ini sepertinya besar dengan ukuran halaman depan yang menurutku bisa menampung tiga mobil sekaligus tanpa berdempetan. Selain itu, aku melihat rerumputan di halaman depan yang tinggi menengah.

Ayah dan Ibu turun dari mobil ketika aku masih tercengang melihat penampakan rumah ini lewat kaca mobil. Aku sedikit takut dengan suasananya. Rasanya aku ingin meminta Ayah untuk memutar balik mobil agar keluar dari perumahan ini. Namun, rasanya tak mungkin aku melakukan itu. Akhirnya, aku memutuskan untuk ikut turun dari mobil kami.

Aku membantu mengangkut sebagian barang untuk dibawa masuk ke dalam. Jarak antara pagar dengan pintu rumah yang jauh membuatku sedikit kesulitan untuk membawa barang yang lumayan berat. Aku berjalan perlahan di belakang Ayah dan Ibu. Sesekali aku melirik ke kanan dan kiri karena aku merasa seperti ada yang memperhatikan kami. Namun, aku tak melihat siapapun disana.

Beberapa langkah ke depan akhirnya kami sampai tepat di teras depan rumah. Aku dan orangtuaku sibuk memandangi rumah ini. Aku tahu mereka juga merasa aneh seperti yang ku rasakan. Namun, aku lebih memilih diam dan tak mau banyak tanya karena mereka terlihat sangat lelah. Lalu, Ayah mengambil kunci yang ada di sakunya dan perlahan memasukkannya ke dalam lubang pintu dan pintu terbuka. Aku sedikit terkejut saat melihat kondisi dalam rumah.

*****

Hai sahabathorror! Hari ini saya nyatakan kembali untuk menulis cerita di wattpad lagi. Saya mohon maaf karena sudah vakum dalam waktu yang cukup lama. Sebagai permohonan maaf saya, cerita ini saya berikan khusus untuk kalian pembaca setia Rahasia Dibalik Merah Membisu. Selamat membaca :) Don't forget to give your vote and good comment guys. Thankyou!

Misteri Kampung KabutTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang