10. B

803 40 1
                                    

Rangkaian gigs bulan ini akhirnya selesai. Gue dan bandmates gue sekarang sudah ada di airport, menunggu penerbangan yang akan membawa kami kembali ke ibukota.

Lega, akhirnya gue mendapat libur. Memang tidak lama, tapi setidaknya cukup untuk melepas rindu gue pada Gharin.

Jujur saja gue merasa sangat bersalah karena terlalu sibuk, kesibukan gue membuat gue susah sekali mendapat waktu kosong untuk menemui Gharin.

Tapi gue harus bersyukur karena meski gue sibuk, Gharin tidak pernah protes dengan itu. Dia selalu mengerti dan tidak pernah marah apalagi cemburu dengan jadwal-jadwal gue yang sangat padat tersebut.

Gue memang beruntung memiliki pacar seperti Gharin. Cantik, pengertian dan juga sangat baik dalam banyak hal.

"Bri, gue balik ke apart lo dulu ya?" Jeff menepuk pundak gue.

"Lah emang lo nggak balik ke rumah?" Tanya gue di sela kesibukan mengetik pesan untuk Gharin.

"Ya balik. Tapi malem aja deh nunggu istri gue tidur dulu." Jawab lelaki berkacamata di sebelah gue yang sedang menyenderkan punggungnya pada kursi.

"Orang mah balik tuh seneng Jeff. pengen cepet-cepet ketemu orang yang disayang. Lah lo malah ngulur-ngulur waktu." Jeff tidak menjawab gue, dia hanya menatap kosong ke depan entah apa yang sedang dia perhatikan.

"Nggak kangen bini lo apa."

Dua dari personil Band gue memang sudah menikah dan Jeff adalah salah satunya. Dia menikah dengan seorang model sejak dua tahun lalu. Tapi mereka memang belum memiliki anak karena kontrak istri Jeff dengan sebuah merk pakaian dalam yang melarangnya untuk hamil selama kontrak di antara mereka masih berlangsung.

"Jadi boleh apa nggak? Nggak usah berisik, lo tinggal jawab aja."

"Ya gue sih nggak masalah. Tapi di sana ada Gharin. Lo nggak apa-apa?"

"Ganggu orang pacaran dong gue kalo gitu?"

"Pikir aja sendiri."

"Gue ke rumah Wahyu aja deh kalo gitu."

"Lo kenapa sih nggak mau langsung balik ke rumah?"

"Mau kasih surprise ke bini gue. Ini gue balik aja nggak ngasih tau dia."

Mendengar jawaban Jeff membuat gue merasa lega, jujur saja tadi gue sempat berpikir negatif, gue kira rumah tangga teman gue sedang berada di tepi jurang.

Mendengar jawaban Jeff membuat gue merasa lega, jujur saja tadi gue sempat berpikir negatif, gue kira rumah tangga teman gue sedang berada di tepi jurang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Sayang, aku udah di apart."

Begitu pesawat gue landing di Soekarno-Hatta, gue langsung mengecek ponsel milik gue.

Gue tersenyum sumringah begitu membaca satu buah pesan dari Gharin, gue tidak sabar untuk segera bertemu dengannya, memeluknya dengan kedua tangan gue dan nggak akan gue lepasin sampai besok pagi.

Setelah berpisah dengan yang lain gue langsung keluar mencari Taxi. Tidak perlu waktu lama gue pun mendapatkan Taxi dan langsung meminta pak supir untuk bergegas pergi menuju tempat tinggal gue.

.

.

.

"Briannnnnn!!" Gharin langsung memanggil nama gue sambil berlari menghampur ke arah gue begitu gue masuk ke dalam apartment.

Gharin masih mengenakan baju kantornya. Dia pasti langsung ke sini begitu jam kerjanya selesai.

"Kangeeeenn." Gharin memeluk gue dengan erat yang gue balas dengan pelukan yang juga sama eratnya.

"Me too, Sayang." Gue mengecup lembut kening Gharin.

"Lancar semua kan acaranya?" Ujung jemari lembut milik Gharin mengusap pipi gue.

Sudah hampir sebulan kami berdua tidak sedekat ini. Jadwal manggung gue yang berpindah dari kota satu ke kota lainnya mengharuskan gue untuk tidak bertemu Gharin dulu. Tentu saja karena jarak yang menghalangi.

"Lancar. Anyway i have a good news for you."

"Apaan? Kok aku deg-degan sih." Wajah Gharin terlihat antusias.

"Aku dikasih istirahat seminggu!!"

Gharin menutup mulutnya menggunakan kedua telapak tangan. Apakah sebahagia dan semengagetkan itu.

"Pokoknya aku mau nempel terus sama kamu." Gharin kembali melingkarkan lenganya pada perut gue.

"Ke mana aja?"

"Heum." Gharin mengangguk dengan mantap.

"Kalo aku boker kamu ikut juga?"

"Gak mau!"

"Lho katanya ke mana aja?"

"Ya nggak ngintilin kamu boker juga lah. Bau tauk!" Mata Gharin memicing ke arah gue, gue hanya tersenyum karena gemas.

Karena gerah dan bau keringat gue pergi mandi duluan, Gharin akan ngoceh kalau gue tidak segera mandi setelah selesai beraktivitas, bau katanya.

Sementara gue mandi, Gharin sibuk di dapur menyiapkan makan untuk kami berdua. Gue tidak tahu dia masak apa, lagipula gue suka masakan Gharin apapun itu jenisnya.

Aroma wangi langsung menusuk indera penciuman gue begitu gue keluar dari kamar.

"Udah mandinya?" Masih dengan apron yang melilit tubuh, Gharin sibuk menyiapkan makan malam kami di atas meja.

Gue membuka simpul apron yang melilit tubuh Gharin, gue lepaskan apron tersebut dari tubuhnya.

"Udah. Ayo makan nanti dulu keburu dingin."

"Aku mandi dulu ya? Bau asep."

"Makan dulu aja, Beb. Laper kan?"

Kami berdua makan dengan lahap. Ternyata Gharin membuat Spaghetti Carbonara dan Roasted Chicken, enak sekali. Gharin memang mahir dalam urusan dapur dan juga urusan lainnya. Semoga Gharin tidak membaca pikiran mesuk gue.

Kelar dengan urusan perut dan piring kotor, gue di ruang tamu, lesehan di atas karpet sembari menonton film lama yang sedang diputar disalah satu stasiun Tv. Sementara itu Gharin pergi mandi.

Sudah hampir tiga puluh menit Gharin di kamar mandi, tapi belum ada tanda-tanda dia akan keluar. Gue bangkit meninggalkan tv yang sedang gue tonton. Gue masuk ke kamar, dari kamar gue tidak mendengar gemericik air dari dalam sana.

Gue menghampiri handle pintu kamar mandi, ternyata tidak dikunci, gue pun memutuskan untuk masuk.

Dengan bulir-bulir air sisa mandi di tubuhnya yang belum kering, Gharin sedang mencoba meraih bathrobe miliknya. Tapi dia menghentikan aktivitasnya begitu sadar akan keberadaan gue.

"Bri."

Langkah gue mendekati Gharin. Melihat Gharin tanpa sehelai benang yang menutupi kulit mulusnya membuat gue kehilangan kendali.

"What took you so long, Babe?" Tangan gue merengkuh pinggul Gharin. Gue hujani Gharin dengan ciuman, tidak peduli dengan tubuhnya yang masih basah.

Bibir, dagu, rahang, leher, tidak ada yang lolos dari ciuman gue. Gue menciumi Gharin dengan rakus. Rasanya sudah sangat lama gue tidak mencumbu tubuh indah ini. Setiap inci tubuh Gharin adalah candu dan memambukan. Tapi gue suka dibuat mabuk olehnya.

Gue melihat Gharin kewalahan, napasnya terdengar mulai memburu.

Lengan Gharin masih bergelayut di leher gue. Perempuan ini tidak mau kalah, dia membalas ciuman gue tidak kalah panasnya.

Gue yang merasa tertantang mulai meraba paha mulus Gharin. Dengan penuh kehati-hatian gue tuntun kakinya agar naik pada pinggul milik gue, tidak hanya satu tapi dua.
Dengan posisi tersebut gue mambawa Gharin ke kasur, menggotong tubuh polosnya yang kini sudah berada di atas perut gue tanpa melepas ciuman kami.

Hide And Seek Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang