16. G

563 41 2
                                    

Seperti sebelumnya, hari ini pun Fabian kembali jadi perantara antara aku dan Christian. Aku yang diminta Fabian menjemputnya karena mobil miliknya sedang masuk bengkel, kini sudah berada di lobby kantornya lima menit sebelum jam menunjukan pukul tujuh. Tapi bukannya Fabian yang aku temui, justru Christian yang melenggang menghampiriku dengan menenteng tas punggung di tangannya.

"Gharin? Ngapain?" Ucapnya begitu dia berada hanya satu langkah di depanku.

"Oh iya jemput Bian pasti ya. Gue juga mau dong dijemput gitu." Sambung Christian dengan lirikan yang entah maksudnya apa. Tapi dia berhasil membuatku kesal. Kalau saja ini bukan kantornya sudah aku tendang betisnya sekarang juga.

"Kenapa?" Tanya lelaki itu pasti karena muka masam yang aku pasang untuknya.

"Nggak suka gue liatin kaya gini? Sama. Gue juga nggak suka lo cuekin terus-terusan." Christian mendekatkan wajahnya ke telingaku seolah berbisik.

"Nggak usah macem-macem, Christian. Lo nggak sadar apa lagi diliatin banyak orang?"

"Who cares?! Mereka semua karyawan gue. Mana berani mereka ngomongin gue." Ucapnya angkuh membuat perutku seketika mual.

"Yakin lo?"

"Jam sebelas gue tunggu di tempat pertama kali kita ketemu." Christian bersiap melangkah pergi saat Fabian berteriak memanggil namaku dari kejauhan.

"Jangan sampai nggak dateng, Gharina." Tegasnya sekali lagi penuh penekanan yang berhasil membuatku bergidik ngeri.

Fabian berlari kecil menghampiriku yang masih berdiri mematung karena ucapan Christian tadi.

"Rin? Hello? Lo kenapa?"

"Ah enggak. Ayo buruan!" Aku melempar kunci mobilku pada Fabian. Secara tidak langsung memintanya untuk menyetir.

"Tadi ngobrolin apaan sama Big Boss?"

"Nggak ada. Tadi gue cuma nanya lo di mana doang." Mulut Fabian membulat.

"Mau makan di mana? Makan yang mahal yuk. Sekali-kali." Tawarnya dengan senyum sumringah. Aku baru ingat kalau hari ini memang tanggal gajian Fabian. Pantas saja dia lebih riang dari biasanya.

"Makan Steak gimana?"

"Boleh!"

"Wagyu A5 ya?"

"Wah ngelunjak lo, Rin."

"Hahahahahahaha"

Mobil kami berhenti di depan sebuah Steak House yang terkenal paling enak di kota ini. Aku dan Fabian langsung masuk begitu kami turun dari mobil. Kami berdua sudah tidak sabar ingin menikmati lezatnya daging mahal.

"Sering-sering aja lo traktir gue makan makanan mahal gini, Bi." Ucapku yang masih sibuk mengunyah.

"Lo yang enak gue yang bangkrut. Lagian heran deh gue sama lo. Jadi pacar artis terkenal kok kaya gembel gini sih?"

"Bi, gue lagi pegang pisau nih kalo lo nggak liat."

"Gue juga."

"Ya udah ayo tusuk-tusukan. Siapa kira-kira yang mati duluan."

"Udah anjir, Rin. Becanda lo horor banget."

Kami kembali menyantap makanan masing-masing setelah puas tertawa. Hingga suapan terakhir lalu aku merasakan sebuah tendangan ringan pada kakiku. Aku menatap lurus ke arah Fabian yang ternyata sedang menunjuk-nunjuk ke satu titik menggunakan matanya.

"Apaan?" Tanyaku karena bingung.

"Liat itu."

Aku menaruh garpu dan pisau dengan sedikit lebih kasar sehingga menciptakan suara yang cukup nyaring.

"Balik, Bi." Ajakku pada Fabian dengan nada yang sedikit memerintah.

"Dia ngeliat ke sini. Dia tau lo di sini."

"Ya udah biarin, Bi. Kalo dia tau gue di sini emang kenapa? mau gue di sini sampe pantat gue nyatu sama ini kursi juga dia nggak akan berani nyamperin ke sini."

Menangkap perubahan mood-ku Fabian pun menurut untuk segera meninggalkan tempat ini. Meski piringnya belum benar-benar kosong. Daging mahal yang malang. Lebih tepatnya, dompet Fabian yang malang.

Untuk sampai ke pintu keluar aku dan Fabian harus melewati meja di mana Brian duduk dengan rekan band-nya juga wanita yang entah siapa namanya. Namun akhir-akhir ini selalu menempel lengket dengan DAY6, seperti perangko.

Dari sudut mataku aku bisa melihat Brian melirik ke arahku. Jeff yang duduk di depan Brian juga menatap ke arahku, hanya perempuan itu yang acuh dengan keberadaanku dan masih terus mengoceh padahal Brian dan Jeff tidak meladeni.

"Lo kenapa sih kok tumben emosi gitu liat Brian hangout sama orang lain?" Tanya Fabian penuh rasa penasaran pantat kami bersentuhan dengan empuknya jok mobil.

"Siapa yang emosi sih. Biasa aja."

"Keliatan, Rin. Lo cemburu?"

"Enggak ya! Gue lagi males aja sama Brian."

"Iya deh. Sekarang lo mau balik apa gimana?"

"Gue balik aja."

"Ya udah anter gue balik dulu kalo gitu."

Fabian masih menyetir dan dia membawa mobil menuju apartemennya. Waktu berlalu dan kami sudah sampai, segera Fabian keluar dan aku pindah duduk ke kursi kemudi.

Berulang kali aku melihat layar ponselku seperti sedang menunggu sesuatu dari sana tapi nyatanya tidak ada satupun yang tertera. Brian tidak mencoba menghubungiku sama sekali. Baiklah.. baginya mungkin tidak ada yang salah dari pertemuan barusan. Mungkin hanya aku saja yang terlalu berlebihan.

Aku sendiri pun tidak mengerti dengan diriku belakangan ini. Aku jadi gampang terganggu dan lebih sensitif. Melihat Brian hangout bersama perempuan bukanlah hal baru untukku. Profesi Brian memang banyak dikelilingi perempuan, entah itu kru band atau staff  lain yang mengurusi penampilan mereka. Tapi melihatnya barusan entah bagaimana sudah berhasil membuat suasana hatiku hancur berantakan.

Ah mungkin ini efek dari Premenstual Syndrome yang sedang aku alami. Pasti ini juga alasan kenapa aku begitu sinis pada Christian saat di kantornya tadi.

Malam sudah semakin gelap. Suasana rumahku hari ini lebih sepi dari biasanya. Tidak ada Adera yang berisik nyanyi-nyanyi sambil gitaran di kamarnya. Tidak juga suara televisi yang dinyalakan oleh ayahku. Malam ini semua orang menjadi lebih pasif. Mungkin terlalu lelah setelah beraktivitas seharian.

Karena sepi, aku memilih keluar ke balkon kamarku. Di sana aku duduk termenung hanya ditemani angin dan linting tembakau yang satu per-satu mulai berubah menjadi kepulan asap putih yang kontras dengan gelapnya langit malam hari.
Rasa kecewa terus mengusikku dan tanpa aku sadari aku jadi uring-uringan sendiri.

Jam nyaris menunjukan setengah dua belas malam, lama juga aku berada di sini. Tiba-tiba aku ingat seseorang. Christian. Lelaki itu minta ditemui di Night Club tempat pertama kali kami bertemu.

Haruskah aku menemui dia?

Sejak terakhir kali aku bertemu dengannya bisa dikatakan aku jadi menjauh. Bukan hari di mana aku menginap di apartemen-nya hari itu. Setelah hari itu aku masih sempat bertemu lagi dengan Christian meski secara tidak sengaja, di sebuah kedai kopi dekat kantorku.

Yang membuatku memutuskan untuk menjauh adalah karena hari itu aku melihat Christian bersama seorang perempuan. Christian menggandeng perempuan itu tepat di atas pinggulnya dan setelah aku tanyakan pada Fabian ternyata perempuan itu adalah kekasihnya. Dan tentu juga karena perasaan bersalahku terhadap Brian yang terus mengganggu hatiku.

Aku tidak sedang mencoba jadi sok suci. Aku hanya tidak tega jika harus menyakiti banyak pihak. Sebelum aku terjun dan masuk semakin dalam, akan jauh lebih baik jika aku mengakhirinya saat itu juga. Meski tidak aku pungkiri Christian memang membuatku tertarik. Ada sesuatu dari dirinya yang menghidupkan bagian tubuhku yang lama mati.

Meski secara terang-terangan aku mengabaikannya, alih-alih mengambil jarak, lelaki itu justru semakin memaksa mendekat. Dia menghujaniku dengan puluhan pesan dan panggilan telepon setiap harinya, tidak peduli meski aku tidak pernah memberi respon. Lalu sekarang aku tidak tahu harus bagaimana.

Hide And Seek Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang