3a. Edge

80 4 1
                                    

Gadis itu tidak peduli akan apapun yang ada disekitarnya. Ia Melewati beberapa trotoar yang-entah kenapa terlihat sepi dari biasanya. Begitu sedikit kendaraan berseliweran. Mobil-mobil para pekerja kantor seperti saling bekerjasama untuk tidak meramaikan jalan raya besar di samping kirinya. Juga para penjual bunga dan pedagang permen kapas di depan cafe Blue n Blue tidak tampak meski jam-jam ini adalah waktu operasional mereka. Mereka seharusnya sudah menggelar lapak nya disekitar trotoar sepanjang ruko-ruko di seberangnya.

Suasana ini, kondisini ini bukanlah kondisi yang biasa dia rasakan layaknya hari-hari ia menjalankan aktivitas rutinnya pulang pergi sekolah. Jalanan dan trotoar kota metropolitan ini tidak akan merasakan yang namanya lengang. Akan selalu ada aktivitas yang menjadi cerminan para pemilik kebutuhan. Lagi pula trotoar mana yang tidak disinggahi oleh para pejalan kaki dan ruko-ruko yang tidak dibuka oleh para pencari nafkah?

Tapi daripada dirinya memperhatikan hal-hal seremeh itu- yang jelas tidak memiliki kepentingan dengannya, gadis dengan rambut sebahu tersebut lebih memilih tak mengacuhkannya. Ia masih menjejakkan kesadarannya pada dunianya sendiri. Berlari hingga mencapai ujung - yang ia sendiri juga tidak tahu titik akhirnya.

Meskipun peluh tak ada yang keluar dari pori-pori tubuhnya, bukan berarti ia tidak merasa kelelahan. Nyatanya nafasnya begitu tersengal. Nafasnya terasa putus-putus. Dan dadanya mulai merasakan sesak karena terus berlari dari gedung tempat dirinya menimba ilmu hingga sekarang berlari di sepanjang trotoar. Meskipun ia tidak mau berhenti, tapi dirinya juga tetap membutuhkan oksigen untuk aliran darah ke otaknya. Agar ia masih mampu berfikir jernih untuk tidak loncat ke dalam sungai dari ketinggian jembatan kebanggan rakyat negara ini- yang ia yakini beberapa meter lagi terlihat oleh mata.

Rembesan dari langit menetes bersamaan dengan jatuhnya sang air mata. Mereka berlomba memberikan hiburan kepada hati yang telanjur berantakan. Menjadi pelipur bagi jiwa yang begitu lara. Meneriakkan kepada dirinya bahwa semua akan baik-baik saja.

Tapi...
Tidak! Ia tidak sudi untuk diberi belas kasihan, meski oleh para penduduk langit.
Maka ia terus berlari dan terus berlari menerjang hujan yang bahkan dirinya juga tidak tahu kapan sang hujan mulai menderas. Karena ia hanya mampu menerka, bahwa langkahnya sudah terlampau jauh dari peradaban para kawan sejawat. Sekolah elit tempat ia menimba ilmu sudah tidak terlihat dari arah ia menghadapkan sekilas wajahnya ke belakang. Menitik sebentar seberapa jauh emosi mampu menggiringnya.

Hingga saja tatapan sekilas itu sedikit mengalihkan langkah kakinya, hingga tubuh kuyupnya tanpa sengaja menabrak seseorang dengan cukup keras. Pandangannya begitu buram karena aliran hujan yang terus mengaliri wajahnya hingga butuh usaha keras untuk bisa melihat seorang yang ditabraknya, sekaligus berniat meminta maaf karena kecorobohannya tadi.

Namun, dirinya tersentak oleh kejadian yang begitu cepat setelahnya. Tubuhnya yang sudah begitu lemah dan menggigil harus dikagetkan oleh seseorang yang tiba-tiba mendorong tubuhnya dengan kuat. Orang tersebut menekan dadanya dengan kedua tangannya, mendorongnya ke belakang hingga punggung ringkihnya menubruk rail besi jembatan yang terlihat sangat kokoh tersebut.

Dirinya belum sempat untuk memprotes ketika tubuhnya
Dalam sekejap terpelanting ke bawah. Usahanya berpegang pada si pelaku-pun sia-sia ketiaka tubuhnya jatuh bebas ke aliran sungai yang terdengar mencekam deras alirannya.

Ia hanya bisa pasrah ditengah-tengah kesadarannya yang masih utuh. Memejamkan mata menunggu takdir selanjutnya, dimana ia meragukan eksistensi dirinya tetap ada di dunia ini.

Apakah ini akhirnya? Pelipur lara paling cepat dan mudah. Rasa sakitnya tertumpuk menjadi satu hingga ia hanya merasakan sakit yang tidak pernah dibayangkannya. Inilah takdirnya yang ternyata terikat dengan jembatan yang tadi sempat ia fikirkan untuk dihindari.

.
.
Nam-ahjumma begitu tekun mengusap peluh yang membasahi sekitar lipatan dahi seorang gadis yang terbaring tak berdaya diatas sebuah brankar rumah sakit. Ia begitu khawatir sejak beberapa waktu lalu mendapati wajah gadis tersebut menjadi pucat kembali dengan bintik-bintik peluh yang menghias wajahnya. Ia rasa gadis tersebut sedang bermimpi buruk. Tidurnya pasti tidak nyaman. Karena beberapa kali juga didapatinya kerutan kecemasan disana.

"Hai agashi , tenang lah... ada ahjumma disini. Kau tidaklah sendirian." Bisik Nam- ahjumma tepat di telinga Yoon Ah.
Ya. Gadis tersebut adalah Yoon Ah. Gadis yang Nam-ahjumma temukan dijalan dalam keadaan lemah tak berdaya.

Nam-ahjumma kemudian juga mengusap-usap puncak kepala serta lengan Yoon Ah. Berharap bisa membantu menenangkan alam bawah sadar gadis yang kemarin sore ia temukan dalam kondisi yang masih mengenakan gaun - yang siapapun tahu- jika gaun tersebut digunakan untuk pernikahan.

Ia masih teringat beberapa perkataan Dokter Jung tadi malam mengenai kondisi Yoon Ah. Meski Dokter tersebut hanya berbicara dengan Donghae, tapi Ia masih mampu menangkap dengan jelas beberapa point penting yang disampaikan. Salah satunya dengan memuji kecekatan Donghae yang telah menyelamatkan gadis tersebut. Karena hampir saja gadis yang masih terbaring lemah di brankar itu mengalami hipotermia jika dibiarkan lebih lama kedinginan di luar, mengingat hujan salju yang lumayan lebat, dengan kondisi gaun yang terbuka. Meskipun saat itu Yoon Ah membawa mantel musim dingin, tp nyatanya mantel tersebut tidak dikenakannya untuk menghalau hawa dingin disekitarnya.
.
.
Yoon Ah masih terbaring lemah diatas brankar rumah sakit, ketika memimpikan gadis berambut sebahu dalam mimpinya itu jatuh ke sungai. Kengerian yang terjadi dalam Mimpi buruk tersebut kembali menjadi hantu musim dinginnya setelah bertahun-tahun mimpi itu tidak datang menjadi bunga tidurnya. Kengerian yang juga akan dirasakan ditubuhnya, bahkan tercermin lewat kondisi tubuhnya yang tiba-tiba menggigil.

Gadis yang masih samar-sama menampakkan wajahnya mulai muncul dalam mimpinya pada awal-awal perkuliahannya. Namun ketika ia mulai bercerita kepada ibunya, tidak ada jawaban yang memuaskan yang bisa didapatnya. Ibunya hanya berpesan bahwa itu adalah bunga tidur yang datang ketika dirinya sedang was-was. Ibunya juga menambahkan jika kejadian yang sama sudah mulai ada semenjak kecil. Jadi Yoon Ah percaya saja, karena perkataan ibunya sangat meyakinkan saat itu.

Namun seiring perkembangan pola pikir dan kepribadian yang semakin matang, dirinya mulai mencerna baik-baik tentang mimpinya.
Bahwa ada yang tidak baik-baik saja dalam kehidupannya.
.
.
.
TBC.

It's been a long. I am sorry ;(

Winter WhiteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang