6

15.8K 2K 68
                                    

Pdf bisa order di wa +62 822-1377-8824 ( putri) atau ‪+62 895‑2600‑4971‬

Untuk ebook bisa di beli di playstore buku. Ketik pencarian Aqiladyna atau judulnya

Bisa juga di baca di kbm app atau Karyakarsa ikuti Aqiladyna. Cerita lengkap di sana.



***

Cuaca mendung menyapa di sore hari, langit begitu hitam pekat, mungkin saja hanya hitungan menit akan memuntahkan tangisannya ke bumi. Lelaki muda sedari tadi menunggu di belakang wanita yang bergeming berdiri menatap pada nisan mendiang suaminya. Wanita itu membungkuk meletakan sebuket bunga di atas gundukan tanah.

Desahan lelah lolos dari bibirnya, tak ada kata yang terucap selain hati yang menjerit dan mempertanyakan kenapa mendiang suaminya malah menuliskan wasiat yang sangat mustahil bahkan bila dirinya memenuhi wasiat itu sudah pasti hidupnya akan menderita lahir dan batin.

Pernikahan dan harta warisan selayaknya dua sisi yang saling bergumul menenggelamkan dirinya dalam dilema. Tak ada pilihan ya___dirinya tahu selain mempertahankan peninggalan mendiang suaminya agar tidak jatuh ke pihak ke tiga.

Mungkin orang di luar sana berpikir ia menikah dulu hanya karena harta dan akan semakin tersudut seandainya pernikahan dengan putra sambungnya terjadi.

"Nyonya Cempaka, sebentar lagi akan hujan badai sebaiknya kita pulang." Kata lelaki sopan menatap belakang punggung majikanya.

Cempaka mendelik ke samping lalu kembali menatap nisan suaminya, tidak bisa berlama- lama ia di sini yang sering kali ia lakukan, benar saja rintik hujan sudah turun. Cempaka berbalik melangkah melewati lelaki itu.

"Ayo David." Kata Cempaka menuju mobil yang terpakir. David segera menyusul membukakan pintu untuk Cempaka yang masuk dan duduk di kursi belakang setelahnya David masuk, duduk di kursi kemudi menjalankan mobilnya meninggalkan area makam.

David menatap wajah Cempaka dari kaca spion, terlihat murung dan sangat pucat hanya memandangi ke luar kaca mobil pada hujan yang turun semakin lebat.

Sebenarnya David kasihan dengan Nyonya Cempaka, begitu banyak beban emosional yang di pendam wanita itu. Sejak nyonya Cempaka berstatus istri dari tuan Abian. Dulu David dan Cempaka cukup dekat karena Cempaka sering mengantikan ibunya bekerja sebagai pelayan di rumah besar Tuan Abian. David kenal nyonya Cempaka sosok yang periang namun sekarang keceriaan itu tak nampak. Terlalu banyak yang menyudutkan nyonya Cempaka, bahkan mereka tidak segan mengatakan hal buruk di depan nyonya. Padahal apa yang mereka katakan tidaklah benar, David percaya Nyonya Cempaka wanita yang baik tidak ada niat terselubung tuk menerima menjadi istri tuan Abian.

Mobil akhirnya sampai di depan gerbang rumah besar, klakson di bunyikan tak lama gerbang terbuka, David kembali menjalankan mobilnya dan berhenti saat memasuki garasi mobil.

David keluar membukakan pintu untuk Cempaka yang mengucapkan terima kasih lantas berlalu memasuki rumah.

"Dari mana saja hujan sederas ini malah pergi berduaan dengan si tukang kebun, oh aku baru tahu si tukang kebun ternyata merangkap sebagai supir pribadimu." Suara terkesan mencemooh menghentikan langkah Cempaka yang ingin menuju kamar, ia menoleh mendapat Elang duduk angkuh di sofa.

Sungguh ia lelah hari ini dan tak ingin berdebat, terlebih Cempaka sebaiknya menjaga jarak mengingat Elang pernah menciumnya paksa. Ya___Tuhan bahkan di dalam mimpipun Cempaka enggan mengingatnya.

Langkah Cempaka mengayun kembali membuat Elang mengeraskan rahangnya, dan berdecih sinis.

'Shit, beraninya dia mengabaikanku.'

Elang berdiri mengejar Cempaka dan mencekal pergelangan tangan wanita itu hingga matanya menatap sengit pada Elang, Refleks menarik tangannya sendiri sangat kasar membuat Elang tersenyum mengejek.

"Jangan sentuh aku!" Kata Cempaka dengan penekanan.

Elang menjatuhkan tangannya, mengepalkannya erat, ia lantas memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana.

Sebenarnya ini penghinaan untuknya, apa katanya jangan sentuh aku? Sial, dia tidak berpikirkah siapa di antara mereka manusia tersuci? Dirinya lah, dan lihat si janda ini terlalu munafik bersembunyi di balik keanggunannya bahkan Elang yakin barusan si nyonya besar ini keluar bersama si tukang kebun itu melakukan hal lebih menjijikan di luar sana.

"Asal kamu tahu, aku pun tidak sudi kulitku bersentuhan dengan kulit murahanmu, aku terpaksa karena kamu tidak menghormatiku selaku putra ayah di sini." Geram Elang menyipitkan matanya tajam.

"Apa aku tidak salah dengar? Kamu minta hormati." Cempaka mengambil nafasnya tuk menenangkan amarahnya. Ia sudah muak menghadapi sikap menyebalkan Elang.

"Kalau kamu minta hormati maka perbaiki sikapmu, adakah selama ini kamu menghormatku?  Kamu bahkan..." Ucap Cempaka tersendat saat melintas kejadian di mana Elang mencium bibirnya paksa.

"Bahkan apa...?" Elang mengerutkan kening lebatnya menunggu Cempaka menuntaskan kalimatnya.

Cempaka memejamkan matanya sejenak, tidak ada gunanya ia mengingatkan perbuatan tidak senonoh Elang. Sudah pasti lelaki di hadapannya ini melupakan.

"Aku ingin beristirahat." Lanjut Cempaka.

"Aku ingin bicara tentang surat wasiat." Kata Elang membuat Cempaka menatap lelaki itu kembali.

"Aku tunggu di ruang kerjaku." Elang berbalik melangkah menjauh, sementara Cempaka berdiri bergeming dengan pemikiran kusut yang membuatnya pening.

Bisakah sejenak saja ia ingin melupakan tentang surat wasiat itu, bahkan Cempaka hari ini belum menemui ibunya meski Mutia selalu memberi informasi perkembangan ibunya yang membaik.

Tak ada pilihan Cempaka akhirnya melangkah menyusul Elang yang sudah memasuki ruangan.

Pintu di buka, Cempaka menatap pada Elang yang setengah duduk di meja dengan melipat tangan ke depan dada. Perhatian Elang tertuju padanya.

"Masuklah dan duduk."

Cempaka memutar bola matanya jengah dengan sikap bossy dari Elang. Tapi tidak ada yang bisa menentang sikap Elang, mungkin saja dari lahir lelaki ini sudah memang sangat dominan.

Cempaka duduk di sofa menaruh tasnya di samping, ia melirik pada Elang yang terlihat memikirkan sesuatu.

"Pernikahan ini harus terjadi." Kata Elang memecah kesunyian yang barusan merayapi.

Cempaka sama sekali tidak terkejut, karena ia maupun Elang tahu mereka tidak bisa mundur. Kalau pun mereka menolak maka bersiaplah tuk melihat kehancuran dari rumah dan perusahaan yang susah payah di bangun mas Abian, dan mas Abian pun akan menangis di dalam kuburnya karena istri dan putra angkatnya tak menjalankan amanah yang di tuliskan.

"Aku tahu kamu keberatan karena sudah pasti hubunganmu dengan lelaki di luar sana tidak bebas lagi, begitupun aku sangat keberatan karena aku lelaki suci yang tidak menyangka nasibku malah harus menikahi perempuan seperti kamu."

Sabar...Cempaka sabar, tarik nafas hembuskan, tak perlu di ambil hati dengan ucapan laknat dari mulut Elang. Ingat dia putra sambungmu.

"Lantas?" Tanya Cempaka singkat ia ingin mendengar permainan apa yang akan di susun Elang.

"Kita tetap akan menikah, tapi setelahnya tidak ada ikatan apapun di antara kita. Hanya menjalankan peran agar semua percaya kita pasangan harmonis. Ini kulakukan demi ayah." Kata Elang di akhir kalimat terdengar sedih.

Cempaka mengangguk dengan senyum getirnya, meski hatinya menangis ia menyetujui usul Elang. Setidaknya dari kesepakatan itu Cempaka lega pernikahannya dan Elang hanya sebuah status tanpa harus menjeratnya.

"Aku setuju." Kata Cempaka berdiri mengulurkan tangannya pada Elang, sesaat ragu Elang akhirnya mendekat menyambut jabatan tangan Cempaka.

Tbc

Pewaris TahtaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang