Bagian dua

11 2 0
                                    










"Ya tugas seorang 'calon kakak' emang harus begini kan?" ucap San dengan ekspresi yang tidak dipahami oleh Rara. San pun langsung pergi setelah mengatakan itu. Pahit rasanya mengatakan hal seperti itu didepan orang yang sudah lama dia cintai itu.

Sudah bertahun-tahun San menyimpan rasa kepada Rara. Dan dia harus mengubur perasaannya dalam-dalam karena pernikahan kedua orang tua mereka. Itulah alasan San sangat ingin menentang pernikahan orang tua mereka.

Tetapi, setelah dia pikir-pikir, dia tidak bisa melarang orang yang sudah merawatnya sejak ia pertama kali melihat dunia ini untuk bahagia. Terlepas dari alasan mereka akan menjadi saudara pun, San tetap tidak akan berani mengungkapkan perasaannya kepada Rara.

Ketika San sedang berjalan menuju kelasnya, tiba-tiba penglihatannya berubah menjadi kabur.

"Ah, kenapa harus sekarang sih," ucap San sembari memegang kepalanya. Ia merasakan sakit kepala yang luarbiasa yang membuat San serasa ingin mati.

Dengan cepat San pergi menenangkan dirinya. Dia menuju ke belakang sekolah agar tidak ada murid lain yang melihatnya.

"Kemarin-kemarin aku baik-baik aja. Kenapa sekarang sakit sekali.." San bergumam.











Setelah San tenang, dia meminta izin pulang kepada guru piket. Tanpa basa-basi pun, guru piketnya langsung mengizinkan San untuk pulang karena melihat wajah San yang luarbiasa pucat. Tetapi San bukan pulang ke rumah. Dia menuju ke rumah sakit.

"Nak San, sepertinya kamu benar-benar harus bilang ke orang tua kamu. Gejalanya sudah parah dan akan makin parah lagi jika tidak diobati. Dan jika tidak di obati, hidup kamu tidak akan lama lagi," ucap dokter Kim.

"Kira-kira berapa lama lagi sisa hidupku dok?" tanya San dengan tatapan sendu.

"Kamu bisa sembuh jika menjalani pengobatan. Kamu masih bisa hidup lebih lama lagi," balas dokter Kim. "Untuk apa? Puluhan juta ibuku habiskan untuk bertahan hidup. Tapi apa hasilnya?" sambung San.

"Oke kalau begitu terserah kamu nak San. Menurut diagnosa kami, sisa waktu hidupmu kurang lebih 7 bulan. Tapi itu bisa berubah. Bisa lebih lama dari itu, dan bisa juga lebih cepat. Tergantung tubuh kamu," jelas dokter Kim.

San tersenyum miris dan berkata, "Ternyata begini ya perasaan ibuku saat mendengar sisa hidupnya tinggal beberapa bulan saja. Terimakasih dokter Kim," kata San dan langsung beranjak pergi.

Selama di perjalanan pulang, ada beribu-ribu hal yang San pikirkan. Bagaimana dia harus mengatakan hal ini kepada ayahnya? Melihat ayahnya yang sudah berhasil keluar dari kesedihannya setelah kehilangan ibu San sungguh membuat San berpikir ribuan kali untuk mengatakan bahwa ia juga akan segera kehilangan anaknya.

Penyebab kematian ibunya sama persis dengan apa yang dialami oleh San saat ini. Kanker otak. Penyakit ini diturunkan oleh ayah dari ibu San. Dan tidak heran jika San juga didiagnosis penyakit yang sama.

Hal ini juga yang menjadi alasan mengapa San tidak ingin mengungkapkan perasaannya kepada Rara. Karena sisa hidupnya tidak lama lagi. Percuma jika ia berpacaran dengan Rara ketika hidup San tidak lama lagi. Itu hanya akan menambah kesedihan Rara ketika San sudah tiada nanti.
















"Wooyoung, San kemana? Kok nggak kelihatan daritadi ya?" tanya Rara.

"Loh bukannya tadi kalian berdua bareng?" balas Wooyoung. "Jihoon, si San kemana?" tanya Wooyoung kepada ketua kelasnya. Karena pasti Jihoon akan diberi tahu jika ada yang izin atau bolos.

"Dia izin pulang katanya sakit," jawab Jihoon dan kembali melanjutkan kegiatan membacanya.

"Loh pas ngomong ama aku dia keliatan baik-baik aja. --oh iya, kalo San udah pulang terus aku pulang sama siapa dong?" oceh Rara. Wooyoung tahu jika ia adalah ojek ke dua Rara. Jadi Wooyoung juga tahu apa yang Rara maksud. "Yaudah ia Rara, ntar tunggu di parkiran."

"Hehehe okedeh Wooyoung ganteng," ucap Rara. "Baru tahu? Udah ganteng dari lahir padahal," balas Wooyoung sambil tertawa.










Akhirnya setelah menunggu lama, bel pulang pun berbunyi. Seperti apa yang tadi Wooyoung katakan, Rara menunggu Wooyoung di tempat parkir sekolahnya. Tidak lama ia menunggu, Wooyoung pun datang.

"Wooyoung kapan-kapan ganti scoopy aja ya. Jangan pake ninja lagi. Aku jadi tekanan batin soalnya, karena kalo naik motor kamu aku sadar ternyata aku bantet," ucap Rara sembari memakai helmnya. Wooyoung yang mendengarnya hanya tertawa.

Rumah Rara tidak jauh dari sekolah mereka. Sekitar 15 menitperjalanannya jika memakai motor dan tidak macet.

"Makasih ya Wooyoung. Nggak masuk dulu ketemu bunda?"

"Nggak usah Ra, aku juga ada urusan sih jadi harus cepet-cepet balik. Salam ya sama bunda kamu. Kapan-kapan aku kesini bareng San," balas Wooyoung.

"Iya. Hati-hati Wooyoung," ucap Rara. Setelah Wooyoung pergi, Rara langsung masuk ke dalam rumahnya.

"Tumben nggak bareng San?" tanya Tiffany yang sedang duduk di depan tv.

"San tadi udah pulang. Jadi bareng Wooyoung deh."

"Rara, mau temenin bunda ke rumah om Siwon nggak?" tanya Tiffany kepada Rara.

"Iya bunda. Skalian mau liat San yang katanya sakit. Tapi Rara mandi dulu ya."

Jangan lupa votenya^^

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jangan lupa votenya^^

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 20, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

CONSEQUENCES 《 Choi San 》  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang