Kembang Pesantren

500 9 0
                                    

Part 2

Pov
Asraf Zahirul Ubaid

Aku adalah anak bungsu dari lima bersaudara. Kawan-kawanku memanggilku, dengan sebutan asraf, ditambah embel-embul gus. Entah apalah itu aku tidak perduli. Bagiku menyematkan embel embel Gus, itu merupakan beban tersendiri. Karena aku bukanlah seperti Gus-Gus kebanyakan. Jujur saja aku tak suka dengan keadaanku, menjadi putra seorang Kyai dan Bu Nyai, menjadi orang yang dihormati dan disegani, hidup yang harus tertata, dengan aturan-aturan yang sangat membelengguku.

Aku suka hidup bebas, tanpa dibebani anggapan orang, tentang bagaimana seharusnya putra kyai berprilaku yang benar. Aku tidak seperti saudara-saudaraku yang lain, aku berbanding terbalik dengan mereka. kalau bisa memilih, aku ingin dilahirkan oleh keluarga, yang bukan bertrah pesantren.

Aku suka hidup bebas, tak ingin terbelenggu aturan-aturan pesantren yang diasuh abahku. Aku tidak suka berkutat dengan kitab-kitab kuning, menghafal nadzom-nadzom, musyawarah bahas kitab ini kitab itu. Semua itu bikin pusing dan membosankan. Tetapi aku tetap menjalankan hidupku, dengan keadaan yang tidak aku inginkan, semampunya.

"Wes koe kudune mondok, tapi orak usah adoh-adoh, ngone Budhemu kono, Demak" Kata Abah dengan tegas kala itu.

"Bah aku disini mawon, mondok di rumah piyambak" Elakanku sambil menunduk.

"Kuwe neng omah bati jar-jaran, orak matuhi aturan wes pokok e mengko sore tak terno neng pondok" Sambil abah berlalu meninggalkan aku.

Aku tak bisa berkata apa-apa, kelemahanku itu takut pada Abahku. Abahku mendidikku dengan keras, salah sedikit pukul, apalagi salah besar, pukul terus sampai aku kapok dan tidak mengulangi kesalahan lagi, karena didikan keras yang suka pukul.

Setiap apapun yang dikatakan Abah, aku selalu nurut, walaupun  hatiku sebenarnya menolak, karena ketakutan dipukul waktu kecil, itu membekas sampai sekarang, padahal Abah tidak pernah lagi memukulku, saat sudah akil baligh. Tasa takut pada Abah,  sudah mengakar mendarah daging, sejak kecil sampai sekarang.

"Gus, dicariin ternyata disini rupanya" Ucapan rois membangunkanku dari lamunan.

"Sampean, iku teko-teko ojo ngagetin, jantungen ki loh" Brontakku dengan kesal.

"Ngalamunin sinten gus, mbak Alya ngeh? Main-main jadi cinta nih" Ledeknya

"Jangan ngawur, sopo seng mikirno cah kui" Elakkanku sambil menjitak kepalanya.

"Aduh gus, ojo dijitak tah sirahku,,, eh tapi sekarang ngak mau sebut nama ya, nyebutnya cah kwi" Ucapnya sambil menyeruput kopiku

"Ehhh ehhh...kopiku"

"Barokah gus, njeh pun gus. kulo ke kamar lagi, cuman mau nyanjangi, nek mbak alya mau diajukan jadi pengurus staf kantor" Ucapnya Sambil berlalu

Pikirku kalau alya, jadi bagian pengurus kantor, bearti aku akan sering bertemu dia, jantungku tiba-tiba deg-degan.

Kupandangi hamparan sawah, yang sangat luas didepanku, sambil menyeruput kopik, dengan semilir anggin yang sepoi-sepoi. Tiba-tiba bayangan alya muncul dikepalaku.

Mengingat tentang Alya, dia tergolong santri baru, karena belum genap 1 tahun disini, wanita cantik dan bertubuh mungil, yang kecantikankannya, mengungguli mbak-mbak santri yang ada disini.

Dengan lesung pipit sebelah kanan, dan hidung sedikit mancung. Serta mata sipit yang indah, membuat kang-kang santri barusaha mendekatinya.

Dia adalah kembang pesantren. Dia seperti bunga matahari, yang banyak disukai lebah. Dan aku, akulah bagian dari lebah-lebah itu.

Bagi laki-laki fitrahnya, adalah mencintai wanita dan bagi wanita fitrahnya, adalah di cintai laki-laki.

Tugas laki-laki, adalah menyampaikan cinta pada wanita dan tugas wanita, adalah menerima cinta laki-laki.
Tantangan paling besar bagi laki-laki adalah saya sudah menaklukkan wanita itu dan tantangan paling besar bagi wanita, saya sudah menerima atau menolak, cinta laki-lali itu.

Bagaimana kalau di tolak? Itu adalah hal yang biasa. Tugas laki-laki adalah bagaimana kita menembak peluru, mungkin lima yang terkena satu, itu hal yang wajar, di tolak tiga, di tolak empat, itu hal yang wajar.

Oleh Sebab itu kalau dalam islam, ada adapnya. Ketika kita ingin menyampaikan sesuatu, dan itu sangat terhormat sekali, yaitu cinta. Kita sampaikan, kita titipkan pada orang-orang terhormat, pada orang terbaik diantara kita.

Contoh kita memiliki ustadz titipkan pada dia, untuk disampaikan pada wanita itu. Kalau lah kita ditolak kita tidak malu, wanita itupun tidak malu. Kalaupun diterima, Alhamdulillah.

Bahkan kalau kita titip cinta pada orang tua, itu bukan suatu yang aib. Kalaupun kemudian di tolak, itu hal yang wajar, kita hanya bisa tawakkal dan ikhtiar. Insyaallah dari satu penolakan dan penolakan yang lain, akan mengantarkan kita, kepada seseorang yang pas pada kita. Yang di rasa cocok untuk kita, Yang Allah berikan, sesuai yang kita butuhkan. Oleh sebab itu, fikirkan baik-baik, rasanya wanita itu cocok untuk kita, maka sampai segera dengan Adab-adab yang sempurna.

Begitulah Kata Mbak Khilma sepupuku, yang satu pondok juga dengan Alya. Tanggapannya saat aku curhati tentang persoalan cintaku dengan Alya. Mbak khilma menasehatiku, dengan mengutip Kalimat indah nanti bijak dari Ma'mun Affany, Seorang penulis Novel terkenal, begitu katanya. Bukan hanya bijak dan indah, kalimat Kang Ma'mun Affany sekaligus sebagai tamparan untuk ku, karena aku sering sekali mempermainkan hati wanita.

Aku memang tidak menggunakan Adab yang benar, saat mendekati Alya, apalagi aku mendekatinya dengan maksud, sekedar rasa penasaran, dan sekarang aku mendapatkan rasa malu yang teramat dalam, karena ini adalah pertama kalinya aku ditolak wanita, ini adalah aibku, aib yang aku ciptakan sendiri.

Dua GusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang