part 2

17 0 0
                                    

Pov Savira

Aku melotot kaget karena empat orang terlihat panik datang ke kamarku. Semua gara-gara Bang Adi. Masa iya pagi-pagi bangunin pake narik selimut seenaknya. Udah tahu udaranya dingin banget, karena kesal aku teriak aja.

Gara-gara teriakanku, Namberru beserta anak-anaknya datang ke kamar. Mereka kelihatan panik, mungkin mereka takut terjadi apa-apa padaku.

"Kenapa teriak-teriak?" tanya Namberruku.

"Nggak kok, Namberru. Tadi ada cicak makanya Savira teriak manggil aku," jawab abang berbohong.

"Oh, ya sudah kalau masih capek tidur lagi aja," ucap Namberru. Aku tersenyum mendengar itu.

"Iya, Namberru," jawabku cepat.

Mereka berempat keluar kamar, tinggal kami berdua.

"Nggak ada tidur lagi. Bagun, anak gadis harus cepat bangun," ucap bang Adi menatapku tajam.

"Ihh, abang. Kan biasanya nggak gitu," kataku manja.

"Vira, sekarang kamu bukan di Medan. Bukan di rumahmu. Ini Salak, Pakpak Bharat, rumah Namberru, jadi jangan disamakan. Mulai dari sekarang belajar mandiri," ujar Bang Adi menceramahiku.
Aku cemberut kesal.

"Ya udah, keluar sana, aku mau mandi," usirku mendorong bang Adi.

"Jangan lupa beresin kamarnya, tempat tidur, semuanya." ucapnya sebelum keluar kamar.

"Iya." jawabku datar.

Dengan ogah-ogahan aku mulai membereskan tempat tidurku. Meski bingung awal mulainya dari mana. Karena dari dulu tak pernah mengerjakan seperti ini, karena ada pembantu di rumah yang membereskan.

Setelah membereskan tempat tidur, Aku kemudian ke kamar mandi. Ah, baru tahu kamar di sini tidak ada kamar mandinya.

keluar kamar lalu mencari letak kamar mandinya.

Melihatku kebingungan berjalan, seorang gadis lebih muda dariku mungkin anaknya Namberru, menjumpaiku.

"Nyari apa Eda?" tanyannya. Aku mengerutkan alis bingung.

"Namaku bukan Eda, tapi Savira," ujarku memberi tahu.

"Hahaha," ia tergelak membuat lipatan di kepalaku bertambah.

"Eda itu panggilan untuk istri abang kita." jelasnya tambah membuatku bingung.

"Aku kan bukan istri abangmu," kataku datar.

"Iya, tapi abang ataupun adekku impal kakak," katanya lagi, menambah otakku pusing.

"Nggak ngerti aku, ntah apa pun impal."

"Udahlah kalau nggak ngerti Eda. Tapi Eda wajib memanggilku Eda juga," ujarnya memberi tahu.

"Wajib ya?" tanyaku lagi.

"Wajiblah, itu kan adat dari suku kita. Namaku Anita Eda," ujarnya memberi tahu.

"Owh iya, kamar mandi sebelah mana?" tanyaku, hampir lupa tujuan utamaku.

"Yang itu Eda," tunjuk Anita.

"Terima kasih," ujarku meninggalkannya dan pergi ke kamar mandi.

Menyentuh sedikit air yang ada di ember, dinginnya minta ampun. Air kayak air es, jadi malas untuk mandi.
'Mandi, nggak, mandi, nggak, mandi.' aku bermonolog dalam hati.

Kalau mandi dingin, nggak mandi badan lengket.

Berfikir sebentar, lalu menatap shower di kamar mandi tersebut lalu memutuskan untuk mandi.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 22, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Jodoh di Kampung HalamanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang