"Vira, keputusan Mamak sama Bapak nggak bisa lagi diganggu gugat. Kau harus tinggal di kampung tempat kelahiran kami dulu," putus Joy, bapak Savira.
"Tap...."
"Nggak ada tapi-tapian. Mau sampai kapan kau bergantung sama kami, kakak dan abang kau semua udah bisa menghasilkan sendiri," ujar Ninta, Mamak Savira.
"Tapi nggak harus di kampung Mak." Savira berujar kesal.
"Savira bru Berutu, kau harus nurut sama kami!" jika sudah menyebut nama lengkap, itu pertanda ucapan bapaknya tidak bisa dibantah lagi.
"Kemasi barang-barangmu pagi ini, siang ini kalian akan ke kampung!" titah bapaknya.
Savira mendengkus kesal, ia tidak bisa membantah lagi. Dengan langkah gontai, gadis berambut sepinggang itu pergi ke kamarnya untuk mengemasi barang-barangnya.
Sifat buruk manjanya membuat ia harus meninggalkan Kota Medan tempat tinggalnya saat ini dan pergi ke kampung kelahiran orangtuanya, yaitu pakpak Bharat.
....
"Adi, kau antar adikmu yang manja ini ke Pakpak Bharat, antar dia ke rumah namberrumu," titah bapaknya.
"Iya Pak," sahut Adi, abang kedua Savira.
"Baik- baik kau nanti disana, jangan melawan namberrumu. Di kampung adat istiadatnya sangat kental, belajar kau disana," pesan Mamak Savira.
"Iya Mak," jawab Savira.
"Ya udah pamit aku Mak, Pak." Savira berkaca-kaca menyalami kedua orangtuanya.
"Nggak usah nangis kau, udah besar," Mamak Savira menghapus air mata putri bungsunya tersebut.
"Berangkat kami Pak," pamit Adi.
Savira beserta abangnya pergi menggunakan mobil mereka.
Keheningan di dalam mobil tercipta, karena abang adik itu terdiam.Savira diam karena sedih meninggalkan kedua orangtuanya, sedangkan Adi diam karena berusaha mengerti adik bungsunya masih sedih. Untuk itu, ia memilih diam.
Adi memacu mobilnya berkecepatan sedang. Ia ingin menikmati perjalanannya ke Pakpak Bharat.
"Bang, kita sekarang dimana?" tanya Savira, karena ia memperhatikan jalan sudah dipenuhi pepohonan.
"Sibolangit dek," jawab Adi yang sudah lumayan hapal dengan jalan menuju Pakpak Bharat.
"Owh, masih jauh ya?" tanya Savira.
"Jauh lah, baru juga sejam perjalanan."
"Emangnya biasa berapa jam bang, biar nyampek?" Savira kembali bertanya.
"Enam jam, kalo kamu capek tidur aja. Tapi kalau saran abang jangan tidur, rugi kalau melewati jalanan ke Pakpak Bharat tanpa melihatnya," jelas Adi.
"Rugi kenapa bang?" tanya Savira bingung. Maklum ia sudah tidak pernah pergi ke pakpak Bharat semenjak SMP hingga saat ini usianya dua puluh lima tahun.
"Pemandangan setiap jalan ke sana itu bagus. Jadi rugilah kalau dilewatkan," ucap Adi.
"Ya udah, aku nggak mau tidur di mobil." Savira kini melihat keluar jendela mobil.
Benar saja, jalanan yang ia lewati membuatnya berdecak kagum. Apalagi ketika melewati Berastagi, di sepanjang jalannya banyak pemandangan indah. Jalan menanjak dari bawah menikung, beberapa kali. Setibanya di atas, kedai tempat memandang sangat menakjubkan. Apalagi suhu di Berastagi sangat dingin, sejuk pula.
"Bang Lapar," Savira merengek seperti anak kecil.
"Sabar Vir, bentar lagi kita sampai di Merek, disitu ada khusus tempat makan," ujar Adi memberi tahu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh di Kampung Halaman
Narrativa generaleSavira gadis manja tinggal di kota, namun dipaksa kedua orangtuanya agar tinggal di kampung agar bisa mandiri, tanpa kedua orangtuanya. Adat istiadat yang kental di tempat tersebut, membuat Savira menjadi bahan olok-olokan karena tingkahnya yang ti...