59 8 0
                                    

"TIDAK BISA!!!"

Kali ini bukan ustad Imran yang berbicara, melainkan ustad Abdul. Matanya memerah menahan amarah. Firkha dan Rahma yang melihat itu pun menunduk takut. Baru kali ini Abi mereka tampak sangat marah. Abi mereka adalah orang yang lemah lembut, sama sekali tidak pernah meninggikan suara.

Menyadari ia telah berlebihan ustad Abdul pun beristigfar beberapa kali, lalu berusaha menormalkan ekspresinya.

"Tidak bisa!" Tutur ustad Abdul kembali.

Ustad Imran menghela nafas "menikahlah dengan Ning firkha." Putus ustad Abdul menengahi.

Sementara faran hendak protes tapi melihat bagaimana raut wajah uminya, ia pun berhenti dan kembali mengatupkan mulutnya.

Pembicaraan sore itu berakhir dengan keputusan faran tetap menikahi firkha.

Selepas solat isya berjamaah, firkha belum kembali ke rumah ustad Imran. Dibukanya Al-Qur'an yang sering di bawanya. Masjid sudah tampak sepi, di area solat perempuan tinggal dirinyalah yang belum kembali.

Ayat-ayat dilantunkannya dengan sangat indah. Bulir-bulir air mata tak mampu lagi di bendungnya. Hatinya sakit, pria yang dijodohkan dengannya tidak ingin menikahinya. Walaupun ia tak mencintai laki-laki tersebut, tapi sebagai wanita tentulah harga dirinya terluka.

Tidak ada tempat ia mengadu, abinya tidak ingin membatalkan perjodohan ini, uminya tidak bisa melakukan apa-apa. Hanya Tuhan-nyalan yang bisa membolak-balikkan keadaan.

Satu jam berada di sana. Firkha pun keluar dari masjid hendak kembali ke rumah ustad imran, hingga sebuah suara menginstruksinya.

"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh."

Firkha pun menoleh menatap seseorang yang baru saja mengucapkan salam padanya. "Wa'alaikumusalam warahmatullahi wabarakatuh" jawabnya menundukkan pandangan.

"Lantunan ayatmu sangat indah." Puji pria tersebut.

Firkha tersenyum tipis, ada sedikit kebahagiaan menelisik masuk ke hatinya. "Terima kasih. "

"Bagian terakhir sangat menyayat hati." Ucap lelaki tersebut lirih.

Firkha tidak menjawab. Ia diam memperhatikan bintang yang sedang kelap-kelip di atas sana. Menikmati detak jantungnya yang tak biasa. Ingin ia mengungkapkan semuanya, tapi harkat dan martabat nya sebagai wanita masih ada.

Lama keduanya saling diam, firkha pun bersuara. "Ingat tidak saat pertama kali kita bertemu, Yusuf?"

"Tentu,Saat kau masih seorang gadis nakal." Jawabnya tersenyum.

Firkha pun tersenyum di balik cadarnya. Mengenang bagaimana pertemuan pertama mereka.

Tampak seseorang sedang mengendap-endap di belakang asrama. Pakaian serba hitam. Yusuf yang semula memperhatikan kebun yang tampak sunyi terahlikan fokusnya.

Orang itu masih terus mengendap-endap di belakang setiap bangunan. Pandangannya kesana-kemari seperti seseorang yang takut ketahuan.

Karena merasa penasaran dan takut jika itu adalah orang jahat. Yusuf pun memberanikan diri memanggil salah satu santri senior dan segera pergi ke belakang asrama.

Sudah lima menit mereka mencari tapi belum menemukan tanda-tanda jika ada orang di sekitar sana. Hingga Yusuf pun memberanikan diri mencari hingga ke pagar paling sudut kebun pesantren. Asik mengarahkan senternya kesana-kemari. Tiba-tiba senter nya menyorot pada seseorang. Yah orag yang tadi dilihatnya sedang berusaha menaiki pagar tinggi tersebut.

"Hey, siapa kamu?" Tanya Yusuf dengan tetap menyorotkan senternya. Wajah orang itu tak terlihat karena membelakangi Yusuf.

"Ka nasdii!" Teriak Yusuf memanggil Kaka senior yang tadi mengikutinya.
Merasa dirinya terancam orang itu pun segera berbalik dan berlari.

Yusuf pun mengejarnya, tapi belum sempat ia berlari jauh, tangannya sudah ditarik seseorang. Begitu ia berbalik pandangannya seketika membulat.

"Oh jadi kamu, firkha?!" Tanya senior itu mengintimidasi.

Firkha yang sudah ketahuan pun mengeluarkan senyum manisnya, seraya berusaha melepaskan tangannya dari cengkraman ka nasdi. Tapi apalah daya tenaga perempuan sangat berbeda dari tenaga laki-laki.

Yusuf yang melihat itu tertegun, ia pikir orang tersebut adalah seorang laki-laki. Santriwati itu mungkin seumuran dengannya.

"Ayok saya bawa kamu ke ustad Abdul." Tutur ka nasdi seraya menarik paksa firkha. Firkha pun hanya pasra tohh dia sudah siap mendapatkan hukuman lagi.

Keesokan harinya setelah solat subuh, Yusuf belum kembali ke asrama niatannya ingin berlama-lama sedikit di masjid pondok, ia telah selesai mandi dan bersih-bersih tadi sebelum solat subuh tinggal menunggu jam 8 dan masuk ke kelas. Belum lama ia berada disana tiba-tiba ia mendengar gerutuan seseorang dari arah taman masjid.

Merasa penasaran ia pun mendekati sumber suara tersebut. Dilihatnya seorang santriwati sedang berusaha memanjat pohon mangga, tampaknya ia sedikit kesusahan.

Merasa ada yang memperhatikan santriwati itu pun berbalik dan langsung bertatapan dengan Yusuf. Yusuf yang melihat itu pun langsung tertegun dan menundukkan pandangan.

"Kamu kan yang semalam gagalin rencana aku?"

Yusuf yang mendengar pertanyaan itupun mengangkat wajahnya. "Itu kan melanggar peraturan pondok." Ucap Yusuf membela.

Firkha yang mendengar jawaban Yusuf pun mendengus sebal dan kembali berusaha memanjat pohon tersebut.

"Nama aku Yusuf."

Firkah menoleh menatap Yusuf yang menundukkan pandangannya. "Firkha."

💕💕💕

Rahma sedang berada di perpustakaan pondok sekarang. Pondok memang terbagi menjadi dua kawasan, kawasan putri dan kawasan putra. Rumah ustad Imran berada di kawasan putra, masjid pondok berada di kawasan putri sedangkan perpustakaan yang sedang dikunjungi nya berada di tengah-tengah dua kawasan tersebut.

Niatan Rahma kesini sebenarnya hanya untuk menghilangkan kebosanannya, UKS putra sekarang sudah ada para santriwati yang menjaga sementara, di rumah ustad Imran pun ia tak tahu melakukan apa.

Rak-rak demi rak telah dilewatinya. Hingga pandangannya menyorot pada sebuah buku tua. Buku itu bersampul biru, ia mengenali buku itu, karena ia pun mempunyainya di rumah. Buku hadiah dari seseorang.

Lembar perlembar dibukanya hingga matanya tertuju pada satu halaman. Ada sebuah kalimat disana, ditulis menggunakan pulpen biru. Rahma tertegun begitu melihat tulisan itu. Ia mengenalinya, tulisan dan kata-kata itu. Pandangannya berkaca-kaca, ternyata laki-laki itu masih mengingatnya. Walaupun ia tak tahu kalau aku sedang berada disini juga. Bulir-bulir air mata turun di pipinya. Rasa bahagia menelusuk ke dalam hatinya.

Naila, jika perasaanku berubah. Percayalah, bukan kepada yang lain. Melainkan perasaanku berubah karena semakin mencintaimu.

Itu adalah kata-kata yang ditulis nya di surat saat terakhir sebelum ia pergi jauh. Rahma sangat hafal. Beribu kali telah dibaca surat itu berulang. Titik komanya pun telah dihafalnya.

Ia masih mengingatku.

💕💕💕

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh teman-teman semua. Gimana ceritanya?
Tolong komen yah + vote juga. .
Terimakasih banyak.

Salam manis teruwuwww

IMAN, ISLAM DAN CINTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang