Entah bagaimana Gysella bisa mendapatkan tanda berbentuk kupu-kupu di lehernya—bentuknya hampir serupa. Ibunya juga tidak tahu karena sejak itu Gysella diantar oleh Agasa dalam kondisi tidak sadarkan diri. Yang ibunya tahu bahwa Gysella itu pingsan gara-gara tidak makan. Gysella merasa tidak yakin, tapi hal itu mendekati kata mungkin. Saat ini gadis itu sedang menulis materi di papan. Dia bisa saja mendikte, hanya saja kata sang guru rangkumannya harus dibuat peta minda atau konsep—digambar.
Bel berkumandang di jam istirahat. Semua murid berhamburan keluar kelas untuk memenuhi hajat mereka. Saat ini Gysella masih sibuk mengurusi buku-buku yang harus dikumpulkan kepada Pak Saripudin. Dia harus memenuhi tanggung jawabnya. Kalau tidak, bisa-bisa dia kehilangan kepercayaan sang Guru. Dia juga yang harus mengamankan kelas. Ruang kelas bisa menjadi tempat konser kalau semisal dia lengah. Dan Gysella juga tidak mau kegiatan belajar mengajar di kelas sebelah terganggu. Beruntunglah semua temannya mendukung. Tidak ada pelawak dan penyanyi di kelas—semuanya sibuk menulis. Senang rasanya, dia tidak perlu melaporkan masalah apa pun kepada Pak Saripudin.
"Ini bawalah." Gysella memberikan sebagian bukunya pada Agasa. Dia sebenarnya bisa membawa semua itu. Tapi mengingat Agasa adalah ketua murid di kelas mereka, dia juga harus ikut membantu meski sang guru tidak memerintah. Seorang pemimpin harus memiliki kepekaan yang tinggi.
“Yakin tidak keberatan?” tanya Agasa. Khawatir Gysella tidak larat. Gadis itu terkekeh kecil. Lucu melihat Agasa yang begitu mengkhawatirkan dirinya.
“Aku sudah besar Agasa! Jangan terlalu mengawatirkan aku. Lagian buku ini tidak seberat beton—malah lebih ringan,” peringat gadis itu sambil berlalu mendahului sahabatnya. Agasa tersenyum lega. Lepas itu dia mengikuti sahabatnya di belakang.
Tidak ada obrolan, hanya ada rasa perih yang dirasakan Gysella. Bekas gigitan itu mengeluarkan efek gatal pada pengidapnya. Agasa sadar Gysella tidak nyaman, tapi dia berusaha untuk tidak terlalu khawatir karena takut jika Gysella sampai menginterogasinya. Bukan tidak peduli, hanya saja untuk menghindari kecemasan agar Gysella tidak kembali drop.
Beberapa orang mulai bertanya mengenai tanda itu. Semuanya dijawab dengan senyuman dan kata “baik”, mengisyaratkan bahwa tanda itu bukan apa-apa dan hal biasa, sama seperti bentol. Gejalanya juga sama, mungkin memang bentol—pikir Gysella. Agasa mengajaknya ke kantin. Di sana cukup hiruk-pikuk, dipadati para siswa yang kelaparan.
Gysella menelan ludah kala melihat jus lemon yang digenggam seorang siswi. Dia segera menarik tangan Agasa ke lapak pedagang minuman untuk menghilangkan dahaga. “Sebaiknya jangan, deh. Minuman dingin gak baik buat kesehatan,” ucap Agasa, menarik Gysella kembali.
“Aku haus Agasa! Memang kenapa, sih? Padahal aku udah sehat TOTAL!” jelas Gysella, melepaskan tangannya dari genggaman Agasa. Menatap heran sahabatnya yang terlalu protektif. Sikapnya berbeda dari biasanya. Terlihat seperti menyembunyikan sesuatu darinya. Gysella mendelik—menatap mata sahabatnya. Reaksi Agasa justru menatap Gysella balik sambil berkacak pinggang.
“Hem, ekhem—keselek cinta. Cie yang lagi kasmaran ... Sengaja tatap-tatapan di depan para mblo-mblo, hem? Biar mereka kepanasan kayak cacing—haha!” seseorang berhasil memutuskan kontak mata di antara mereka. Kini Gysella beralih menatap tajam Guntur—si Pria Usil.
“Oke gue minta maaf udah ganggu kalian berdua. Seharusnya lu kompres cupang di leher loe tuh biar orang-orang gak mandang lu jelek..” Guntur menunjuk luka di leher Gysella dengan dagunya. Seketika bola mata Gysella membulat. Pria di depannya ini telah menuduh seolah dirinya telah dilecehkan.
Gysella mendaratkan cubitan di tangan Guntur, “Seenaknya kalo ngomong! Ini bentol, bukan cupang bekas ciuman!,” peringatnya sambil berkacak pinggang. Seenaknya Guntur berasumsi negatif padanya. Meski sebenarnya ada rasa curiga dalam hati, mengingat malam itu dia diantar Agasa—seorang diri.
“tidak! Itu hanya alergi,” sangkal Agasa. Kedua sejoli di depannya saling pandang. Gysella tahu mengapa Agasa berbohong—pria itu berusaha menutupi sesuatu—terlihat jelas dari matanya yang bergerak ke sembarang arah.
“alergi? Kok sampai merah gitu?” tanya Guntur, tidak percaya.
“Gysella alergi terhadap debu. Bentol itu akan muncul saat udara tercemar.” Entah harus bagaimana menanggapinya. Gysella biarkan Agasa bersandiwara. Sementara Guntur gelagapan, tidak tahu harus jawab apa, dan reaksinya hanya menarik satu alisnya ke atas—kurang paham.
“Ya, udah, kita pergi aja. Makannya di kafe. Aku yang traktir,” ajak Agasa sambil merangkul Gysella pergi keluar gedung sekolah. Sengaja menghindar agar tidak mengundang kesalahpahaman. Gysella tidak menolak karena ada kata gratis di sana.
•••
Kafe Mawar berada di distrik yang sama dengan Sekolah, tempatnya tidak terlalu jauh. Kafe ini cukup kecil dan jarang didatangi pengunjung, netral. Penampakannya biasa, tidak terlalu “wah”. Agasa suka dekorasi lampu berbentuk bunga mawar yang bertengger di dinding. Pria itu mengajak Gysella duduk di dekat lampu berwarna merah muda itu.
Seorang pelayan datang membawa buku menu di tangannya. Dia memberikannya pada Agasa. Pria itu memesan makanan untuk mereka, sementara Gysella masih berkutat dengan pikirannya terkait luka di lehernya. Awalnya dia kira itu bentol, tapi saat mendengar perkataan Guntur sebelumnya, dia jadi berasumsi bahwa tanda itu dibuat oleh sahabatnya—mengingat pada hari itu mereka pulang cuman berdua di larut malam. Tapi jika dipikirkan kenapa bekas itu terasa gatal dan sedikit panas? Ya, itulah yang Gysella rasakan.
"Sebenarnya apa yang kau rahasiakan Agasa? Kenapa aku bisa berakhir pingsan?" tanya Gysella pada akhirnya. Di sana hanya ada mereka berdua. Agasa perlu berpikir untuk beberapa saat. Dia tidak mau kalau sampai Gysella memutuskan untuk pergi meninggalkan kota karena ketakutan. Belum lagi beberapa penduduk kota Lentera ada yang minggat karena tidak tahan.
“Sudah aku duga kau menyimpan rahasia dariku,” tukas Gysella.
"Itu...." Berusaha mencari alasan yang masuk akal, seperti sedikit kebohongan.
“Pingsan ... Ka-kau pingsan semalam. Itulah penyebabnya,” lanjut pria itu sambil tersenyum menyeringai. Gysella membuang wajah sambil menggeleng pelan. Melihat cara berbohong Agasa yang terkesan kekanakan—seperti anak kecil. Dia memang tidak ahli berbohong, itulah yang Gysella suka dari Agasa.
“Sejak kapan kau mulai berbohong padaku? Beberapa menit yang lalu? Kenapa kau jadi seperti ini? Kau ingin aku pergi?” pertanyaan beruntun itu nyaris membuat Agasa jantungan, apalagi ketika Gysella berkata akan pergi. Pada akhirnya Agasa menyerah, mengambil napas dalam sebelum akhirnya membeberkan fakta.
"Baiklah, begini ceritanya. Kau ingat saat kita mengerjakan tugas bersama sampai larut malam? Jika tidak, tak apa. Singkatnya kau tidak mau aku mengantarmu, alasannya karena kau tidak ingin aku kerepotan. Meskipun begitu aku tetap akan mengantarkanmu karena khawatir. Singkat cerita saat aku berbelok, aku melihatmu bersama seorang wanita. Aku pikir itu temanmu, jadi aku tak menghiraukannya. Saat aku hendak kembali pulang, tiba-tiba angin berembus kencang. Aku takut itu badai, lalu aku berbalik dan di sana aku melihat tubuhmu terbaring lemah. Aku tidak tahu apa penyebabnya, tapi firasatku wanita yang bersamamu waktu itu adalah sosok yang dibicarakan orang-orang. Dia hantu Gysella!" papar Agasa, meyakinkan Gysella. Reaksinya malah bikin Agasa heran, Gysella justru tertawa puas seakan itu lelucon.
Baginya itu adalah dongeng-dongeng terdahulu dan orang tua menggunakan kata "Hantu" untuk menakut-nakuti anaknya agar menurut. Gysella sering mendengarkannya saat sang ibunda mengomel, tapi dia tidak terlalu menanggapi ceritanya karena semua itu hanya khayalan dan tidak nyata.
Seorang pelayan pun datang sambil membawa nampan berisikan pesanan mereka.
"Kau percaya pada hantu? Haha, jangan bilang kau sedang mengarang cerita tadi.” Intonasi ketawa Gysella semakin membesar, bahkan para pelayan di meja kasir bisa mendengar tawanya. Tetiba dia tersedak, lalu tangan Agasa bergerak cepat memberinya minum.
"Ini kisah nyata Gysella. Aku tidak mungkin mengkhayal!" tukas Agasa.
"Bagaimana aku mempercayainya? Sedangkan tadi kau menyebar kebohongan. Haha sudahlah. Cepat ceritakan mengapa aku berakhir pingsan?" entah siapa yang salah, Agasa atau Gysella. Agasa memang berbohong pada semua orang tapi tidak pada Gysella. Dia tidak pernah berkata atau bercerita omong kosong pada gadis itu. Sedangkan Gysella, dia adalah orang yang tidak dapat mempercayai orang lain sebelum dia benar-benar melihat langsung oleh matanya. Dia memang tipe perempuan yang teliti.
"Kau sudah mendengarnya tadi. Itulah ceritanya. Percayalah padaku, aku tidak mungkin berbohong padamu, kau tahu semua yang pernah aku katakan padamu itu selalu benar?" Gysella mangut-mangut seraya menyeruput minuman dinginnya.
"Baiklah aku percaya. Tapi bukan berarti aku mempercayai dongengmu tadi. Aku percaya karena kau sahabatku."
"Kau juga harus yakin bahwa makhluk halus itu ada!" Agasa tetap bersikeras membuat Gysella percaya. Katanya kalau ada seseorang yang tidak mempercayai keberadaan hal gaib, berarti dia tidak percaya pada Tuhan karena orang yang beriman adalah orang yang percaya pada hal-hal gaib juga.
"Sudahlah Agasa. Itu hanya cerita terdahulu. Kau tahu nenek moyang itu sukanya berbohong dan mengkhayal? Sudahlah lebih baik kita makan. Bentar lagi bel masuk." Terkadang watak keras kepala Gysella, suka buat Agasa jengkel. Segera melenyapkan semua perkara buruk, lebih baik makan untuk memperbaiki mood.
°°°
"Diharapkan kepada semua anggota OSIS kelas sebelas mohon untuk datang ke ruangan OSIS, terima kasih." Suara Agasa terdengar jelas dari Speaker. Rencananya hari ini akan diadakan rapat. Mereka menjabat sebagai ketua (Agasa) dan wakil ketua (Gysella).
Sementara itu Gysella terlihat sedang membereskan buku-buku di kelas. Hanya ada dia dan kesenyapan. Ralat, sosok misterius pun berada di luar kelas. Menatap gadis itu dari balik jendela. Gysella begitu anteng sampai tidak merasakan hawa keberadaannya.
"Selesai." semua buku sudah dimasukkan ke dalam tas. Gysella memakaikan tas Agasa di punggungnya dan tas selempangnya dikaitkan ke leher. Tetiba sosok misterius itu hilang bagaikan debu.
Setibanya di luar kelas, Gysella merasakan lehernya seperti terbakar. Dia meringis, tidak tahan dengan rasa sakitnya. Tiba-tiba angin ribut datang menerjang—padahal ventilasi di sana cukup minim, adanya Air conditioner pun tidak mampu menerbangkan gorden-gorden bagai tertiup badai. Gysella berusaha melawan arus angin.
"T-tolong!" pekik Gysella. Tangannya melambai meminta bantuan. Tampak dari jauh, Gysella melihat seorang wanita. Usahanya sia-sia. Tidak ada yang membantu. Sampai pada akhirnya penyiksaan itu usai kala wanita misterius di sana mengarahkan telunjuknya tepat ke arah Gysella.
Sepertinya Gysella mendadak tidak waras. Bagaimana bisa angin seperti badai itu tiba-tiba berhenti saat wanita misterius itu berulah? Seakan dia yang mengendalikannya. Tetiba seekor ngengat terbang secepat kilat, menusuk ke mata kiri Gysella, membuatnya terperangah. Dia terkejut bukan main.
Tidak ada rasa sakit, melainkan keterkejutan yang tidak terobati. Dia butuh penjelasan dari seseorang. Penjelasan yang dapat membuat kesadarannya kembali. Wanita misterius itu langsung hilang. Tidak mungkin, itu pasti khayalanku Gysella menampar kedua pipinya cukup keras. Otaknya kini terpusat pada cerita Agasa mengenai tragedi yang dialaminya. "Tidak mungkin." Setelahnya Gysella berlari menjauhi lorong dengan sangat cepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
GONE
FantasyAwalnya Gysella tidak percaya dengan adanya makhluk halus. Baginya itu hanya dongeng orangtua terdahulu yang bertujuan untuk menakut-nakuti anak mereka agar menurut. "Menyebalkan!" geram gadis berambut pendek itu. Namun kini ia percaya. Makhluk itu...