Linglung untuk Merindu

66 6 0
                                    

Linglung untuk Merindu

Senja mulai datang dan menyelimuti, begitu juga dengan aku yang kembali membuka catatan dan coba menguatkan hati agar tidak ada lagi air mata yang terbuang.

"Sedang apa dia sekarang?" Kulihat jam dindingku.

Lagi-lagi aku memulai semua ini dengan hal yang tak baik, sehingga hatinya pun tak sampai aku gapai. Tersirat dalam pikirku rindu apa yang ku rindukan, sehingga rinduku selalu menjadi suatu hal yang harus dirindukan? Perjalanan kita tidak seindah yang kubayangkan, memulai dengan harapan tapi pulang dengan malang. Aku masih dengan catatanku. Saat menatap senja-Nya terulas kembali bahwa senjaku tak seindah senjamu. Tergetir hati ini, benarkah ini rindu?

"Tak perlu merindu agar dirindukan, sebab rindumu akan menjadi luka yang abadi saat kau tahu ia tak merindu." Tiba-tiba angin meniup seakan mendengar tanyaku dan arahnya berbisik dengan tegas.

"Hei...!" Ucapku dalam hati sambil mengernyitkan dahi seakan mendengar bisiknya.

"Merindukan bukan untuk dirindukan kembali, sebab rinduku tak butuh balasan. Biarlah rinduku tetap jadi rinduku, tak apa kalau tak jadi rindumu." Lanjutku untuk memelas.

Sekarang aku gaduh dengan tiupan angin yang ingin melawan arah hati ini, sebab sulit untuk menerima bahwa kau pergi bukan untuk kembali. Terlihat senjaku perlahan kembali ke pusarannya. Bagaimana dengan senjamu? Benakku sedikit bertanya.

"Bila rindumu tak berharap balas, setidaknya kau harus simpan dalam lipatan tangan dan bisikan doa." Angin meniup lagi dengan bisikan nasihatnya.

"Haruskah?" Kumerunduk sambil merenung.

"Tak perlu mengumbar rindu, sebab akan ada hati lain yang merindukanmu dan tak berbalas darimu." Dan angin pun melanjutkan bisikannya.

"Tapi... apa daya? Jemari tak kuat menahan hasrat hati dan ingin sekali mendapatkan ijin untuk mampu sampaikan bahwa rinduku sampai ke hati insan yang dirindu." Gumamku untuk melanjutkan negoisasi.

Dalam suasana renung sedikit tersadar, ternyata gaduhku dengan angin berubah arah menjadi sebuah negoisasi tentang rindu di hati. Arah angin melembut dan sedikit berbalik untuk ingatkan hati.

"Tak perlu bercengkrama dengan jemari perihal rindu, sebab linangan air mata pada bait doa sudah menjadi jembatan bagi rindu yang tak kunjung berbalas." Begitulah bisiknya.

Tertegun hatiku, nyata yang terjadi miris sampai hati teriris. Lukamu akibat dari salahku dan kini maafmu tak kunjung datang. Apa dayaku yang tak bisa paksa kehendakmu untuk tetap disisiku. Hembusan angin menguat sembari menanti balas, dengan penuh harap.

"Tak apalah menjadi perindu yang tak terbalas, sebab perindu tak ingin pendam rindu yang semakin memanas. Perindu hanya ingin sampaikan bahwa ialah insan yang selalu dirindu." Hanya itu yang dapat menjadi jawabku.

"Apa yang salah?" Arah angin berbalik lagi, melawan hati dan menolak pernyataanku sendiri. Aku kembali mengernyitkan dahi, menunggu balas arah angin yang memuncak.

"Bukankah rindu yang terindah adalah saat kau dapat bercengkrama dalam doa. Lantas rindu apa yang membuat hati memanas? Bukankah panas adalah asumsi si setan? Jangan katakan rindu adalah nafsu, pada kerinduan yang tak lekang oleh waktu." Hatiku tertampar, nyatanya derai air mata tak dapat dibendung untuk menebus salahku.

Mulai dari pola pikir, gaya dan kelakuan kita berbeda. Tak tahu pribadi siapa yang paksa untuk bersama. Sejak saat itu yang aku tahu senja kita berbeda walau dari mentari yang sama. Berbeda, karena kita memandangnya dari sudut yang tak sama. Perbedaan membuatmu tak betah, dan kau putuskan untuk pergi.

"Aku hanya ingin dia tahu, bahwa aku selalu merindu dan cukup, tak lebih dari itu." Kembali kubalaskan kepada arah angin yang perlahan pergi.

Lama aku menunggu balas angin, apakah angin pun bosan mendengar alasanku merindu? Atau lelah untuk menyadarkanku? Arah angin yang pergi tanpa kejelasan mengingatkanku terhadap dirimu yang sama halnya dengan dia, datang membawa cerita tapi kembali untuk meninggalkan luka. Lalu, kuputuskan untuk menutup catatanku sebagai tanda aku menutup cerita hidupku denganmu.

Titik SenduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang