Zefa memeluk Bianca erat. Ia tahu bagaimana perasaan kakaknya. Campur aduk. Senang, bahagia, bangga sekaligus sedih dan kecewa. Perasaan baik itu ditujukan untuknya, sedang perasaan buruk itu ditujukan pada diri Bianca sendiri. Betapa tidak, setelah menyelesaikan internshipnya, Zefa akan melanjutkan pendidikannya. Bukan spesialis kedokteran melainkan militer. Ya, Zefa akan menempa diri di Akademi Militer. Berbanding terbalik dengan Bianca yang harus mengubur dalam-dalam semua mimpinya.
Saat SMA, motor yang ditumpanginya bersama sang Papa sepulang dari rumah Eyang buyut yang sekarang ditinggali oleh Eyang Damai dan Eyang Khayrah ditabrak oleh pengendara bermotor yang ugal-ugalan sok manuver ala Rossi dan masih SMP pula. Luka Bianca paling parah dan kakinya cidera hingga tak bisa digunakan untuk lari lagi. Bahkan ia sempat tak sadarkan diri selama dua hari.
"Mbak ikhlas?" tanya Zefa sambil mengusap air mata yang mengalir di kedua pipi Bianca dengan jarinya.
Bianca mengangguk.
"Seperti mengikhlaskan Mas Ayip?" Zefa menyebut nama saudara asuh mereka yang kini berdinas di Sintang, Kalimantan Barat, berpangkat Sersan Dua.
Bianca mengangguk lagi. Ia ikhlas sekaligus sedih karena merasa gagal.
Zefa membiarkan kakaknya menangis dalam pelukannya hingga lelah sendiri dan tertidur. Keduanya tengah duduk di sofa depan TV.
"Mbak tidur?" tanya Mia, sang Mama dengan sedih. Ia ingat betapa downnya Bianca saat tahu cita-citanya terhempas tak bersisa pasca kecelakaan hingga butuh ke psikiater.
Dan demi menenangkan Bianca, sampai diungsikan tinggal di Inggris, di mana sepupu dari pihak Papanya menjadi dosen di sana. Bianca sendiri baru pulang ke Indonesia dua bulan lalu. Awalnya akan diajak tinggal di Jakarta saja, bersama Opa Razzaq tapi karena Sahil, adik kembar Papanya dinas di Mabes TNI AD, hal itu diurungkan.
Bianca sendiri bukan Bianca yang dulu. Yang ceria dan menggemaskan. Melainkan Bianca yang penuh topeng dan cenderung diam.
"Angkat ke kamarnya," suruh Mia.
Zefa menggeleng. "Biar aku pelukin sampai puas. Habis ini pisah lagi sama Mbak. Dulu Mbak yang pergi, besok aku yang pergi."
Awalnya Bianca memang hanya dalam posisi duduk lalu Zefa mengangkat kakinya hingga lurus di sofa tapi badannya tetap dalam pelukan sang Adik.
Zefa sangat merindukan kakaknya, bukan saja karena jarak yang memisahkan melainkan juga karena ia kehilangan sosok si sulung, berantem konyol mereka, berisiknya, semuanya. Apalagi di tahun-tahun pertama pasca kecelakaan dan pergi ke Inggris, Bianca juga sangat terbatas saat berkomunikasi karena yang ada selalu menangis.
"Assalamu'alaikum..."
Zefa dan Mia serentak menoleh. "Wa'alaikumussalam."
"Mbak tidur?" tanya Rahil sambil mencium kening istrinya setelah tangannya disalim.
"Iya." Zefa mengangguk.
"Padahal Papa bawa cwimie. Tadi katanya pingin. Ya sudah, simpan dulu deh," kata Rahil sambil beranjak.
"Nanti malam jadi?" tanya Mia.
"Jadi dong." Rahil mengangguk, mengusap kepala Bianca lalu ke dapur.
"Mbak, Adek sebentar lagi pergi. Biar Adek yang nerusin cita-cita Mbak. Adek akan melakukan yang terbaik buat semua. Jaga diri ya? Adek nggak bisa jagain Mbak lagi. Mbak harus kuat. Adek harap, nanti ada laki-laki terbaik yang sayang sama Mbak seperti kami sayang Mbak. Nggak akan bikin sedih Mbak. Selalu buat tersenyum. Ya?" Zefa sedikit mengeratkan pelukannya dan mencium puncak kepala Bianca. Ada kesedihan, keharuan dan sayang saat melihat wajah damai tapi menyimpan duka milik kakaknya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
You're Still Lovely
ChickLitAkibat cidera yang dialami memupus semua cita-cita Bianca menjadi seorang tentara seperti keluarga besarnya. Akhirnya ia mengambil alih estafet pimpinan Rainbow, lembaga kursus bahasa asing yang sudah mengembangkan diri dengan membuka kelas pelajara...