Part 3 Menghindar

0 0 0
                                    


Menyusuri jalan Hukumet Konagi terus melalui jalan Ankara hingga sampai di Grand Bazaar Jewelers di jalan Bab-I Ali.

Jika bukan karena perintah kakeknya, Aysel tidak berminat menghadiri acara grand opening perhiasan di tempat ini.

"Argh...". Untuk kesekian kali Aysel menggeram.
Vania yang berada di sampingnya hanya diam, tak berani tersenyum apalagi tertawa. Padahal, sakit perutnya melihat kekonyolan Aysel yang sedari tadi mengeluh.

Entah dari hal pakaian yang membuatnya komplain. Kemudian sepatu high heels-yang jarang sekali dia pakai-karena lebih senang flatshoes. Akhirnya, Aysel lebih memilih memakai ankle boots.

"Ini memudahkan aku jika harus berlari", dalihnya.

Hampir saja meledak tawa Vania. "Emangnya mau lari ke mana di acara tersebut?" Pikir Vania lucu. "Tapi terserah deh, daripada tak mau pergi".

Acaranya hampir dimulai. Banyak undangan yang hadir dari pengusaha terkenal.

Aysel tak suka keramaian. Karena harus meningkatkan kewaspadaan. Musuh bisa menyerang dengan mudah. Entah dengan cara halus seperti mencampur racun dalam minuman atau dengan cara kasar, meletakkan bom di tempat acara.

Karena itu, Aysel menghindari makanan ataupun minuman di tempat itu.

Para undangan diminta berkumpul di tempat yang telah disediakan. Kursi-kursi hampir terisi semua. Aysel mengedarkan pandangannya, mencari kursi kosong yang cukup kondusif.

"Bismillah... Alhamdulillah", Aysel duduk dengan pelan.

"Ehm... Maaf, kalau boleh tahu Nona adalah...". Tiba-tiba pria di sampingnya bertanya padanya.

Aysel paham kalau pria itu ingin berkenalan dengannya.

"Panggil saja Aysel", jawabnya dengan ramah dan tersenyum manis.

Acara sudah dimulai. Aysel duduk dengan anggun. Mencoba mengikuti acara dengan tenang. Namun dia sadar kalau sedari tadi, pria di sampingnya selalu memperhatikan dan mencuri pandang ke arahnya.

"Ah, biarlah... Selama tidak membahayakan ", pikirnya.

Setelah acara selesai, Aysel bergegas meninggalkan kursinya.

"Bisakah kita makan siang bersama? Ehm... Maksud saya, saya ingin mengajak anda makan siang". Kata pria di sampingnya sebelum Aysel melangkah.

Aysel terhenti, sambil mengulas senyum dia menyahut, "Maaf, saya ada janji".

Aysel bergegas meninggalkan tempat acara. Mobilnya sudah siap. Sopir pribadinya, Andrew, membukakan pintu dan segera menutupnya setelah Aysel masuk.

"Erhan Restaurant, Andrew".

Andrew mengangguk dan menjalankan mobil dengan kecepatan sedang.

Sesekali matanya menatap spion.

"Kita diikuti, Nona".

"Biarkan saja. Paling-paling pria yang tadi". Aysel memang tidak menanyakan nama pria tadi karena tidak tertarik sama sekali.

"Pria tadi? Yang bersama Nona di acara tadi?"

"Bukan bersama", Aysel meralat ucapan Andrew, "Lebih tepatnya dia duduk di sampingku".

"Sepertinya dia penasaran dengan Nona".

"Biarkan saja. Nanti juga bosan sendiri". Aysel malas menanggapi.

(###)

Mobil sudah tiba di Erhan Restaurant. Aysel segera turun dan masuk ke dalam. Dia segera menuju ke tempat duduk yang berada di pojok. Tempat seperti itu memudahkannya mengamati keadaan sekitarnya. Dan kemungkinan penyerangan akan kecil.

Dari tempatnya duduk, dia dapat melihat keluar restoran dari kaca di sampingnya.

Dia melihat pria yang tadi mengikutinya, turun dari mobil dan masuk ke restoran tempat dia berada.

Aysel mendesah malas. Dia tidak suka pria agresif.

Aysel memanggil pelayan dan memesan beef stew, soup and spinish rolls, dan segelas cay dan baklava.

"Selamat siang, Nona. Ah, kita bertemu lagi di sini. Sepertinya kita jodoh".

Pria itu memamerkan senyum manisnya. Matanya yang hijau seperti zambrud. Dan rahang yang kokoh khas laki-laki.

Sebenarnya pria ini cukup tampan dan gagah, pikir Aysel. Tapi sayangnya dia tak suka sikapnya yang agresif. Biasanya orang yang agresif juga cenderung protektif.

Dan Aysel sudah cukup dikelilingi pria yang protektif, para pengawalnya tentunya. Dan rasanya tak perlu menambah satu orang lagi.

"Eh, iya. Saya sedang makan siang dan sepertinya rekan saya membatalkan janji temu kami".

"Oh, kalau begitu... Tidak keberatan jika saya menemani?"

"Silahkan". Ditolak juga percuma, batin Aysel.

"Kenalkan saya Alexander Neeson, terserah mau panggil Alex atau Xander".

"Haduh... Ga nanya juga", batin Aysel, tapi demi kesopanan dia mengangguk.

"Oya, Lex... Silakan pesan. Saya sambil makan ya", katanya basa-basi.

Alex memanggil pelayan dan memesan.

"By the way... Apa nama lengkap Nona?"

Sebelum menjawab, Aysel meneguk dulu minumannya.

"AYSEL DILARA DOLUNAY!"

Sebuah suara menyebutkan nama lengkapnya, membuat Aysel dan Alex mengarahkan pandangan ke arah suara.

"Ali Faroughi!" Desis Aysel. Salah satu pria yang tak ingin ditemuinya.

Aysel menyudahi makan siangnya. Seleranya mendadak hilang.

"Maaf, saya duluan". Katanya pada Alex.

"Aysel bisa kita bicara?" Ali mencekal tangan Aysel.

"Lepas...", Aysel mengibaskan tangannya, tapi cekalan Ali lebih kuat.

" Hei... Jangan seperti itu memperlakukan wanita!" Alex mencoba membantu.

"Jangan ikut campur!" Ali membentak.

"Memangnya kamu siapa?" Tanya Alex.

Aura permusuhan menguar di antara dua pria gagah itu. Aysel yang berada di tengah keributan itu merasa muak. Karena Ali terfokus pada Alex, cekalannya melonggar. Hal itu dimanfaatkan Aysel melarikan diri.

"Aysel..." Kedua pria itu memanggilnya, tapi tak dihiraukannya.

Setengah berlari Aysel meninggalkan restoran dan masuk ke mobil yang langsung melaju kencang.

Entah apa yang terjadi dengan kedua pejantan tangguh di restoran tadi. Setidaknya Aysel sudah bisa bernapas lega karena dapat segera keluar dari sana.

Bersambung....

Hayoo... Apa yang akan terjadi antara Alexander Neeson dan Ali Faroughi?
Siapa sebenarnya Ali Faroughi?
Kenapa Aysel seperti enggan bertemu dengannya?





AYSEL & AYSENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang