"Dor..."
Tembakan kedua. "Brengsek" Aysel mengumpat lambatnya orang-orangnya mengatasi pembuat onar itu.
Satu menit, dua... Lima... Sepuluh menit menunggu. Tak ada tembakan susulan. Aysel perlahan keluar dari persembunyiannya. Dengan kewaspadaan penuh terhadap adanya serangan tiba-tiba.
Aysel kembali duduk di kursinya. Dan menyibak alas meja. Sesuai tebakannya, Mr.Alvin bersembunyi dengan damai di situ.
"Sudah aman", katanya.
Mr.Alvin keluar dari kolong meja sambil memperbaiki dasinya.
"Emm... Nona tidak apa-apa?"
"Alhamdulillah... Bagaimana, kita teruskan pembicaraan tadi?" Aysel mengubah topik pembicaraan sambil memperhatikan gerak-gerik dan mimik muka Mr.Alvin.
"Hmm... Sepertinya dia tidak berpura-pura", pikir Aysel.
Untuk orang seperti Aysel, memang harus memiliki kewaspadaan penuh terhadap orang-orang di sekitarnya. Banyak yang mengincar nyawanya. Dengan berbagai motif dan kepentingan.
" Oh... Iya... Ehm". Mr.Alvin gelagapan. Masih terlihat ketakutan dan tubuhnya gemetar.
Reaksi yang wajar untuk orang yang tidak terbiasa berhadapan dengan peluru ataupun situasi yang melibatkan nyawa.
"Kalau anda merasa kurang nyaman, bisa kita lanjutkan lain waktu", kata Aysel lagi. Rupanya dia tidak tega melihat Mr.Alvin yang masih belum tenang.
" Tidak apa, kita lanjutkan saja", sahut Mr.Alvin sambil mengusap keringat di dahinya.
Aysel meneruskan pembicaraan mereka dengan tenang setelah mendapat laporan dari pengawalnya-melalui alat komunikasi yang tertanam di telinganya- yang telah mengamankan wilayah tersebut.
Meski begitu, dia cukup penasaran bagaimana mereka kecolongan seperti itu. Apakah ada pengkhianat di antara bawahannya?
Dan dia paling benci dengan pengkhianatan.######
"Siapa dia?" Tanya Aysel setelah tiba di markas. Dia memang menginstruksikan untuk menangkap pelaku dalam keadaan hidup.
"Dia belum buka mulut", sahut Vania.
Vania bukanlah sekretaris biasa. Gadis itu direkrut setelah melewati pelatihan 3 tahun di base camp mereka di Florida.
Aysel memerlukan tangan kanan seorang wanita yang tangguh. Tak hanya menguasai kemampuan seorang sekretaris, juga sekaligus seorang pengawal. Vania menguasai bela diri dan bisa menggunakan berbagai senjata, baik senjata tajam maupun senjata api.
Selain Vania, masih ada beberapa orang lagi yang menjadi kepercayaan Aysel, tentunya dengan kemampuan yang berbeda.
"Di mana dia sekarang?"
"Sayap bagian barat".
Aysel menuju ke arah yang ditunjukkan Vania. Dia harus melihat sendiri orang yang mencoba menyerangnya.
Tiba di depan sebuah pintu berlapis baja, Aysel berhenti. Pintu terbuka setelah Aysel menekan sebuah tombol yang memverifikasi sidik jarinya dan memindai kornea matanya.
Siapa menyangka kalau di dalam ruangan tersebut hanya ada sebuah meja dan kursi. Tidak tersedia alat penyiksaan seperti lazimnya ruang interogasi. Aysel memang tidak menyukai kekerasan. Dia punya metode lain untuk mencapai tujuannya.
Di sebuah kursi, telah duduk seorang pria berusia sekitar awal 40-an.
Aysel duduk di kursi tepat di depan pria itu. Matanya menatap tajam. Aura dingin menguar mengintimidasi lawan.

KAMU SEDANG MEMBACA
AYSEL & AYSEN
AksiyonDua gadis kembar yang harus menghadapi dunia kejahatan. Beruntung mereka didukung oleh orang-orang yang mencintai mereka. Ali Faroughi takkan tinggal diam jika ada yang berusaha menyakiti Aysel. Sedangkan Alexander Neeson berusaha untuk menumbuhk...