Hello Rava | 1

47 3 0
                                    

==========♡==========

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

==========♡==========

Pagi baru menyapa. Dalam kehangatan bulan April, seorang
gadis berpoleskan blush on peach dan bergincu merah menyambangi sebuah bangunan penuh sejarah bagi ribuan bahkan jutaan mahasiswa-mahasiswi lulusannya.

Hari ini, hari yang Syafa Ardiningrum Apsari deklarasikan sebagai hari kebebasannya, di mana untuk sembilan tahun yang dia lewati selama menempuh pendidikan-akhirnya dia bisa memutuskan untuk memakai pakaian pilihannya sendiri, pakaian yang menunjukkan dirinya, pakaian yang mencerminkan kepribadiannya.

Setelan bergaya simpel menjadi gaya andalannya sebagai mahasiswi angkatan terbaru sebuah universitas di Jawa Tengah, yaitu Universitas Persada Cendekia.

Bukan karena kebetulan Syafa bisa menjadi bagian dari universitas terbaik di Semarang ini, semua itu tidak lepas dari campur tangan seseorang yang berperan penting dalam hidup keluarganya, lebih tepatnya sahabat dari orok kakak laki-laki Syafa-Ardian Darmawangsa-yang bernama Ravadian Jovanich Feroz.

Laju mobil Mercedes milik Ardian melambat, mereka berhenti di depan tugu masuk universitas. Hari ini menjadi hari pertama sekaligus hari terakhir kakaknya mengantarnya ke kampus, karena dia akan ke luar kota dan menikmati perannya sebagai mahasiswa beasiswa di fakultas kedokteran.

Tempatnya tidak bersamanya, tidak di sisi Syafa, dia memilih universitas terbaik menurut versinya dan melimpahkan peran seorang kakak ke sahabatnya.

"Semoga beruntung," kata Ardian, mengepalkan kedua tangan sebagai ekspresi dukungan. Syafa tersenyum.

"Kau juga," jawabnya, kemudian melompat dari jok penumpang.

Syafa melambaikan tangan melepas kepergian kakaknya. Sejujurnya dia agak sedih, namun dia sudah membuat pilihan untuk hidupnya--bidang kedokteran tidak pernah cocok untuk Syafa. Meski profesi itu sudah menjadi tradisi yang wajar di keluarganya.

Syafa pun berjalan memasuki jalan masuk universitas. Di tengah perjalanan sekonyong-konyong seorang berbadan tinggi merangkulnya.

Syafa tidak perlu melirik untuk memastikan, karena dia sudah hapal aroma familiar orang yang sok akrab dengannya itu, bahkan dari radius lima meter sekalipun.

Dia memiliki aroma yang khas bahkan meski orang lain memakai jenis parfum yang sama. Di tubuhnya aroma itu tercium berbeda. Dia adalah Ravadian Jovanich Feroz, laki-laki yang biasa dia panggil dengan sebutan ka Rava.

"Hei anak baru, bagaimana perasaanmu setelah masuk universitas terbaik ini, hah?" tanyanya.

Syafa berkeras melepaskan rangkulan Rava, dan bersikap acuh dengan terus melenggang pergi. Rava yang merasa kesal karena diacuhkan berteriak sembari mengejarnya.

"Jangan lupakan kebaikan seniormu ini. Kau harus menlaktirku sebagai balas budi!"

Syafa mendecih, "Tukang pamrih," ejeknya. Namun, kemudian dia tersenyum.

Hello RavaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang