Kota

29 0 0
                                    

Sesampainya di kota Deno melihat suasana yang jauh berbeda dari kampungnya, gedung tinggi berdiri tegak menutupi birunya sang langit, kendaraan yang berlalu lalang membuatnya tidak berani untuk menyeberangi jalan. Yang ia rasakan saat pertama kali menginjakkan kaki ke kota tersebut ialah rasa ketakutan. Untuk pertama kalinya ia pergi tanpa dampingan orang tua dan tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya di kehidupannya kelak.
Dari kejauhan nampak sebuah bajaj yang sedang lewat dengan segera Deno melambai menghentikan bajaj tersebut untuk diantarkan ke kontrakan terdekat dengan kampus A. Selama perjalanan si sopir bajaj dan Deno hanya membisu, hingga si sopir pun duluan yang memecahkan keheningan.
“ Adik baru ya di sini?” Tanya sopir tersebut dengan ramah.
“ iya bang… saya dari kampung jadi belum mengenal lingkungan di sini”
“oh begitu… berarti adik mahasiswa baru ya di kampus A itu?”
“ benar bang… lusa saya akan ospek di kampus itu”
Percakapan mereka hanya sampai disitu setelah mereka tiba di sebuah kontrakan yang hanya sepetak tetapi cukup untuk Deno tinggal sendiri. Segera Deno merogoh kantong celananya mengambil uang dan memberikannya kepada sopir tersebut.
Masa ospek pun telah ia lewati, selama Deno di kota tidak lupa untuk mengabari kedua orang tuanya. Hari ini adalah hari pertama ia memulai pelajaran pertamanya, dengan penampilan sederhana ia bergegas menuju ruang A3, namun betapa sialnya Deno malah bertemu dengan senior yang konon dikenal dengan reputasinya yang sangat buruk di kampus, meskipun hanya berjumlah 4 orang tetapi bisa dibilang mereka sangat di segani.
BRAKK
“ ada masalah apa kamu dengan saya?!” Deno tidak sengaja menabrak salah satu anggota yang ternyata adalah ketua geng dalam kubu tersebut.
Ketua geng tersebut menatapnya sinis seolah siap menerkam mangsanya yang dungu nan tidak berdaya dan itulah yang ada di pikiran sang ketua. “ maafkan saya, karena saya sedang terburu-buru untuk ke kelas,” kemudian ingin beranjak pergi namun sayang Deno masih dihadang oleh kawanan geng tersebut.
“ ORANG KAMPUNG SEPERTIMU TIDAK SEHARUSNYA ADA DI SINI, KAU LEBIH COCOK MENANAM PADI DI SAWAH!” perkataan itu seperti panah sangat menusuk hati Deno, perasaannya sedih tak karuan. Ia sangat ingin membalas namun nyalinya hanya sebesar biji jagung. Para senior pun pergi dengan tertawa puas setelah merendahkannya.
Deno pun lanjut menuju kelas dengan hati biru, selama kelas pun orang-orang di kelas memperhatikannya, hampir seluruh kelas melihatnya dengan tatapan rendah, sisanya lebih memilih untuk tidak peduli, bahkan ada yang menyindir secara terang-terangan bahwa ia bau seperti kandang sapi. “ apa yang salah dengan diriku? Mengapa orang-orang merendahkanku?” pikirannya bingung mengapa semua hanya menilai penampilan saja. Tidak ada satupun yang mau berteman dengan Deno bahkan untuk sekedar menyapa pun enggan.
Hari-harinya dihabiskan seperti itu saja, teman? Bahkan kucing kampus saja menolaknya. “ hey kamu yang gayanya seperti orang udik!” sontak Deno menoleh, ternyata yang memanggilnya adalah salah satu geng terkenal buruk itu, si Kevin yang selalu di kelilingi para gadis di kampus bahkan “ayam kampus”-pun tidak segan mendekatinya. “ aku ingin mengatakan sesuatu, penampilan di sini sangatlah penting, aku ajari kamu cara agar di senangi penghuni kampus ini” sambil menaruh tangannya di pundak Deno. Tawaran Kevin menggoda dirinya karena jauh di lubuk hatinya ingin sekali dianggap, selama ini dia hanya dikucilkan. Dan orang tuanya hanya tahu bahwa Deno baik-baik saja di kampus tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Deno mengangguk pelan pertanda setuju “ saya ingin sekali bang” hanya itu yang bisa ia katakan. Suara tawa dari Kevin pun menggelegar di sepanjang koridor kampus mengundang rasa penasaran bagi orang-orang yang berada di sana.

Hedonisme berakhir kehancuranTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang