Akrabnya, Aku Shenna. Shenna Asharumi. Aku adalah seorang bungsu dari keluarga yang sangat-sangat berkecukupan. Nasibku tak sebaik yg ada di pikiran kalian. Tapi aku tak akan membandingkan hidupku dengan siapa pun. Setiap orang punya masalahnya masing-masing bukan? Bukan perihal siapa yg paling berat, melainkan siapa yg paling kuat menghadapinya. Begitulah, kata sahabat kecilku yg saat ini sangat besar itu, Alam. Ya, sebesar namanya, hehe.
"Shenna!"
"Iya sebentar,Ayah,"Aku langsung bergegas menuju ruang makan, hendak menyantap sarapanku, kemudian bergegas ke sekolah.
"Kak Aloraaaa!" sapaku dengan gerakan tangan dan senyuman yg terlampau ceria.
Alora Kennyarumi. Kakak sulungku yg sangat spesial. Sejak lahir ia tak dapat mendengar, itu juga mempengaruhi kemampuannya dalam berbicara. Itulah sebabnya, aku menggunakan gerakan-gerakan isyarat ketika berkomunikasi dengannya.
"Ayo,Nak, segera habiskan sarapannya,"
Aku tersenyum kecut. "Pura-pura baik lagi," batinku.
"Shenna.." tegur Kak Alora seolah tau apa yg telah kuucapkan dalam hati.
Aku kehilangan Bunda sekitar tiga tahun yang lalu. Tepatnya ketika usiaku lima belas tahun. Dan kalian tau? Hanya dan hanya Kak Alora saja yg menerima wanita itu di rumah ini. Ah, tepatnya wanita dan anak-anaknya itu. Padahal, aku tahu. Kak Alora tidak diperlakukan baik, bahkan sangat buruk. Aku kesal sekali jika itu terjadi di depan mataku. Mereka memanfaatkan kelembutan kakakku, menjilat ayahku, menipu semua orang di rumah ini. Oh ayolah, aku rindu kakak laki-lakiku. Yang selalu berani, bahkan menentang Ayah ketika terlalu membela istrinya itu. Dengan kata-kata yg sopan, tapi mampu membuat lawan bicaranya tak sanggup berkelit.
"Awas saja Kak Alfa tidak ingat ulang tahunku," gerutuku dalam hati.
Menjadi bungsu dan memiliki kakak laki-laki apalagi seperti Kak Alfa membuatku selalu menjadi anak kecil di depannya, padahal di depan teman-temanku, aku adalah seorang kawan yang jauh dari kata manja.
Setelah beberapa menit menghabiskan sarapanku, aku mengambil kunci mobil di atas meja.
"Ayah, Shenna berangkat dulu,"
"Iya, Sayang, hati-hati yaa!"Karena aku bungsu, mungkin menjadi penyebab Ayah lebih memanjakanku dibandingkan kedua kakakku. Namun, beruntungnya tak sedikit pun mereka cemburu atas perlakuan Ayah itu. Semasa Bunda masih hidup, katanya aku adalah kesayangan Ayah yg selalu diceritakannya setiap malam, Kak Alora adalah penyejuk hatinya, dan Kak Alfa adalah kebanggaannya. Kami sedekat itu, dulu. Entah sejak kapan aku kehilangan semuanya.
Saat hendak membuka pintu mobil, sebuah tangan menghentikanku.
"Mana kuncinya!"
Aku menoleh, menatap sepasang mata itu dengan tatapan tak suka.
"Mana!" bentaknya.
Aku hanya diam, melihat manusia tidak tahu malu ini. Aku tersenyum miring, kemudian memajukan langkahku yang membuatnya terpaksa harus mundur.
"Kenapa, Dena? Ibumu tak sanggup membelikanmu mobil? Belum berhasil menggoda ayahku? Oh, baiklah, ini," ucapku seraya menyodorkan kunci mobil itu kepadanya.
Dan benar saja. Ia tak menyentuh sedikit pun kunci mobilku. Wajahnya memerah, matanya sesak oleh airmata. Aku segera masuk ke mobil, menancap gas, meninggalkannya dengan wajah seperti itu.
"Maaf Dena, kelakuanmu membuatku muak, dari hari ke hari," batinku merasa bersalah.
Meskipun aku tak menyukainya, aku bukanlah tipe yang seperti itu. Rasa bersalah itu masih ada, menandakan aku masih punya perasaan. Membenci bukan solusi atas segala bentuk masalah yang terjadi. Bukan pula hal yg dapat menenangkan hati. Aku tak membencinya, namun tak dapat dipungkiri perasaanku tak nyaman saja. Sangat tidak nyaman. Aku menarik napas dalam, menghembuskannya perlahan, mengucap ampun yg sedalam-dalamnya atas keberanianku tadi yang mungkin menyakiti perasaannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Home Lost in This House
Teen FictionMalam membawa bulan melayang diambang langit Menebar bintang yang berbaris rapi Sakit yg menggerogoti aku Semakin tak berperasaan Menusuk ulu hati, menyisakan luka yang tak kunjung mengering Menambah lara hatiku yg terkhianati Aku tak diberi kesempa...