Nama lengkapnya Junanda Adhiyaksa Yustisio. Seorang anak tunggal dari sebuah keluarga terhormat di hadapan hukum dan pemerintahan. Ayahnya adalah seorang Jaksa dan Kakeknya adalah seorang Hakim Agung. Dia lahir di bawah gelar dan nama baik dengan status terhormat. Namun, siapa sangka hidupnya yang dianggap luarbiasa itu tinggal cerita. Mungkin sebagian akan berpikir, ini sekedar masalah manusia yang tak pandai menempatkan rasa syukur. Namun, jika posisi kita persis sepertinya, aku yakin ini tak menjadi sesuatu yang mudah.
Kejadiannya belum terlalu lama, ketika tuduhan itu jatuh di atas nama baik keluarga mereka. Yang pada akhirnya memaksa Aksa kehilangan ayahnya di usia enam belas tahun. Tuduhan keji atas nama Tuan Gading Wijayanto yang tak lain ayahnya itu, berakibat pada suatu akhir yang sangat parah. Apalagi yang lebih parah, dari sebuah akhir yang bernama kematian? Begitu pun, Tuan Bramantyo Santoso yang tak lain adalah kakeknya, pergi menyusul putra kesayangannya setelah beberapa bulan kepergian putranya. Kini, remaja tangguh bernama Adhiyaksa itu adalah tulang punggung keluarganya. Ada nyawa yang menjadi tanggung jawabnya, ada wanita yang menjadi prioritasnya, ada tanggung jawab yang menjadi tanggungannya. Semua itu terjadi, hanya dalam satu waktu yang singkat.
Waktu itu, tepat pukul 10 malam, ketika ayahnya di tangkap oleh pihak kepolisian atas dugaan penyuapan. Aksa yang sedang sibuk dengan bukunya, sontak keluar menyaksikan kejadian itu. Mengamati dan memahami apa yang sedang terjadi.
"Pah," ucapnya lirih.
"Nak, jaga Mama,"
Hanya kalimat itu. Hanya itu yang dikatakan ayahnya.
Tubuhnya dipeluk erat oleh wanita paruh baya yang tak lain adalah Ibunya, menangis, dan menangis di pundak putra kesayangannya itu. Ia masih terdiam di tempatnya. Ini begitu mengejutkan dan menakutkan, membuat Aksa tak tahu harus seperti apa. Ia segera menghubungi kakeknya, untuk bertanya tentang kejadian ini. Namun, tak didapatkan jawaban yang sesuai dengan harapannya. Ia hanya disuruh tegar dan sabar, sebuah kalimat yang ketika itu terdengar menyedihkan. Sangat menyedihkan.
"Apa Papa benar-benar melakukan perbuatan jahat itu? Kenapa rasanya semua orang menyuruhku menerima keadaan, pasrah, tanpa usaha apa-apa,"
batinnya kacau.Ia berlari menaiki anak tangga yang melingkar megah di rumah itu, dengan wajah memerah, dan tangan mengepal kuat.
Kecewa.
Aksa bersandar di pintu kamarnya, menangis sebab tak mampu lagi mengendalikan perasaannya. Tak ada seorang pun yang bisa dihubunginya untuk berbagi masalah ini, bahkan Shenna .
"Ini tidak adil,"ucapnya di sela-sela tangisan itu.
Setelah kira-kira dua minggu, mendadak datang kabar duka yang lagi-lagi tak pernah diduganya. Ayahnya yang baru berusia 47 tahun itu, meninggal akibat serangan jantung. Padahal, dirinya belum dijatuhkan hukuman, tinggal satu sidang lagi. Dan akhirnya? Sidang terakhir itu, membersihkan namanya yang kini sudah bergelar almarhum. Aksa benar-benar tak tahu harus bagaimana menata hatinya. Hancur,lebur, tak bersisa. Semua terlalu tiba-tiba. Belum lagi kakeknya yang mulai sakit-sakitan sebab faktor usia dan pikirannya yang kacau setelah kepergian putra sematawayangnya itu.
"Aksa, kamu harus jadi orang hebat! Harus belajar dan sekolah yang tinggi! Pakai tabungan Eyang untuk sekolahmu, Nak. Tabungan Papah jadikan untuk penyambung hidup,"
Itulah pesan terakhir seorang kakek kepada cucu kesayangannya. Kepergian Tuan Bramantyo itu adalah awal nyatanya sebuah perjuangan yang keras.
Aksa dan Ibunya menjual rumah mereka untuk tinggal di rumah yang lebih sederhana. Uangnya digunakan untuk membayar utang dan menyambung hidup, termasuk untuk pengobatan Ibunya. Ibu Aksa kehilangan kesehatan mentalnya sebab setres berkepanjangan yang menimpanya. Membuat penderitaan Aksa lengkap sudah. Namun, anak laki-laki yang tangguh itu tak mengenal kata putus asa. Siap tidak siap, ia harus. Bukannya memang seperti itu? Kita tidak akan pernah siap, hingga semua berubah menjadi suatu keharusan.
***
Aku bangun lebih pagi dari biasanya untuk berangkat ke sekolah. Sebab, jadwalku terlalu padat dan luarbiasa hari ini. Sekolah dan mempersiapkan lomba, belajar dan tugas, bekerja, dan mengurus rumah. Namun, tak ada alasan untuk mengeluh bukan?
Aku segera menaiki sepedaku dan tak lupa berpamitan dengan Mama.
"Mah, Aksa berangkat sekolah dulu. Kalau ada apa-apa Mamah jangan lupa telepon Aksa ya?"
Sunyi. Tak ada jawaban. Aku menghela napas, kemudian turun dari sepedaku, menghampiri Mama yang sedang duduk di sofa menatap kosong jalanan. Aku berlutut di hadapannya, meraih tangannya yang hangat.
"Mah, Aksa pamit," ucapku seraya tersenyum.
"Nak, hati-hati," ucapnya seraya menyentuh wajahku.
Bagaimana aku bisa tenang meninggalkannya di rumah dengan kondisi seperti ini? Namun, aku tak punya pilihan. Ini adalah rutinitasku setiap hari.
Aku mengayuh sepedaku, bergegas ke sekolah. Aku langsung mengarahkan langkah menuju perpustakaan. Mengeluarkan bukuku kemudian membacanya. Menunggu yang lain berkumpul, tak ada salahnya belajar, pikirku saat itu.
Setelah tiga puluh menit menunggu, akhirnya pengumuman yang di tunggu pun tiba. Ah ternyata aku satu tim dengan Shenna. Ini cukup berat. Tapi sudahlah, toh bukan apa-apa. Semua hal yang sebatas pernah, artinya bukan apa-apa lagi.
Aku bangkit dari tempatku, menghampiri Shenna dan Alam. Semuanya sedikit canggung, akhirnya aku membuka suara untuk menetralkan keadaan.
"Ayo mulai belajar, kita tidak punya banyak waktu. Dan karena kita ini adalah tim, mohon kerjasamanya," ucapku.
"Oh iya. Gue mau bilang ke kalian, gue kurang paham di pembahasan ke-8 buku ini. Jadi, gue mohon bantuannya," ucap Shenna, seraya menunjuk halaman buku yang dimaksudkan.
"Oh ini, InsyaAllah gue bisa bantu," ucapku.
"Sekarang, dalami materi yang kalian kuasai, di waktu luang nanti, kita kupas yang tidak dimengerti,"
Mereka menanggapi positif saranku. Syukurlah, ini tak sesulit yang kubayangkan.
"IYA! YUK YUK SEMANGAT!" ucap Shenna tiba-tiba.
"Hehe, semangat, semangat," sambungnya pelan seraya menahan malu yang luarbiasa, terlihat dari pipinya yang merona itu.
Aku menahan ekpresiku, anak ini, benar-benar tak berubah sedikit pun. Bahkan cerobohnya pun tak berkurang sedikit pun.
Setelah mempersiapkan lomba sebaik mungkin, akhirnya waktu kegiatan di sekolah pun usai. Aku segera membawa sepedaku kembali ke rumah. Hari ini, sangat terik, membuatku hampir-hampir tak kuat mengayuh sepeda ini. Mengingat tingkah laku Shenna tadi, syukurlah dia sudah bisa mengatasi perasaannya. Dan kurasa kehidupannya lebih baik setelah hari itu. Baguslah, semoga keadaannya membaik dari hari ke hari. Kalau di tanya tentang perasaanku, tak ada yang berubah. Rasanya masih sama, seperti satu tahun yang lalu. Akan tetapi, aku hanya berusaha mengemasnya dengan cara yang lebih baik.
Tak terasa, ujung bibirku terangkat, membentuk lengkung tipis dan membuat mataku mirip seperti bulan sabit. Aku, masih dengan rasa yang sama. Maaf Shenna, jika cara ini menyakitimu, sungguh aku tak bermaksud begitu. Ini adalah bentuk tertinggi dari rasaku. Tak mengikatmu dengan egoku, membebaskanmu membuka hati dengan siapa pun, tak harus diriku. Aku percaya, cara yang baik akan berujung baik. Sekali pun, orang itu bukan aku, tak apa. Puncak tertinggi dari cinta itu adalah mengikhlaskanmu dengan yang terbaik, Shenna.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Home Lost in This House
Fiksi RemajaMalam membawa bulan melayang diambang langit Menebar bintang yang berbaris rapi Sakit yg menggerogoti aku Semakin tak berperasaan Menusuk ulu hati, menyisakan luka yang tak kunjung mengering Menambah lara hatiku yg terkhianati Aku tak diberi kesempa...