Pengantar dari Mika

16 1 0
                                    

 Mika merebahkan tubuhnya menghadap langit-langit kamar dengan wajah kusut. Pikirannya berkecamuk dan berkali-kali menghela napas berat, ia tidak siap menghadapi segala hal setelah hari ini. Ayahnya sudah memberi ultimatum bahwa ia akan melanjutkan masa putih abu-abunya di pesantren milik pamannya. Ia paham sudah seharusnya ia bertanggung jawab atas apapun yang ia lakukan tetapi untuk kali ini konsekuensi yang ia terima berat baginya. Ada banyak hal yang membuatnya tidak bisa berangkat ke pesantren di Bandung. Ia tidak bisa meninggalkan Jakarta, ia memiliki band musik yang sedang naik daun dan ia tidak bisa meninggalkan masa putih abu-abu yang seru begitu saja.

 Menjadi bagian dari keluarga yang agamais lumayan berat baginya, di tambah ayahnya yang sekarang menjabat sebagai dewan. Ekspektasi orang-orang tinggi terhadapnya dan Mika tidak bisa menyenangkan semua orang, ia memilih untuk menyenangkan dirinya sendiri saja. Ia merasa tidak bebas setiap mengambil langkah apapun dan baru berani unjuk gigi ketika menduduki bangku SMA. Di SMA dia bertemu teman-teman yang gokil dan menurutnya mampu mewujudkan mimpi yang selama ini ia pendam.

 "Mikail" panggil Yunita;ibunya setelah mengetuk pintu beberapa kali namun tidak kunjung dibuka. 

  Ketika pintu dibuka, Mika bergegas membalikkan tubuhnya memunggungi pintu. Biasanya ibunya akan mendukung keinginan Mika tetapi kali ini malah mendukung ayahnya untuk 'membuang' Mika ke pesantren. Mika awqlnya ingin beralasan nanti ibunya rindu tapi sepertinya tidak ada bedanya jika ia ke pesantren pun karena akhir-akhir ini ia jarang berada di rumah sampai kakaknya rutin mencari ke  basecamp;rumah milik Aldi yang dijadikan tempat berkumpul Mika dan teman-temannya. 

"Lagi ngapain?" Mika bergeming membuat Yunita menghela napas dan mengambil tempat duduk di ujung kasur. Ia masih marah, mereka tidak mengerti mimpi Mika. 

 "Mikail, duduk dulu sini" Yunita mengarahkan tubuh anaknya untuk duduk, mau tak mau Mika bangun dengan malas. Pikirnya, meskipun statusnya sebagai anak bungsu, ia sudah dewasa untuk diatur-atur dan diperlakukan seperti anak kecil. Membayangkan untuk benar-benar pergi ke Bandung sebagai santri membuatnya merinding seketika. Bukan Mika sekali.

 "Mika aja, mi".

 "Yaudah, Mika, kamu ngerti kan kenapa kamu harus ke sana?".

 "Itu berlebihan, mi" rengeknya.

 "Kamu juga berlebihan".

 "Tawuran sampai kaki temanmu diamputasi" Mika bungkam. Ultimatum ayahnya bukan dibuat karena cuma-cuma. 

 Tawuran merupakan hal yang biasa bagi Mika, sebanyak apapun orang yang mencelanya karena berbeda dengan kakak-kakaknya tidak membuat Mika berhenti melakukan hal yang ia dan teman-temannya senangi. Awalnya tidak ada masalah, ia melakukan karena gengsi sebagai anak SMA tapi akhirnya sesuatu yang disebut karma tiba. Temannya kecelakaan, ia dan yang lain gagal melindungi teman mereka dari lawan. Imbasnya bukan hanya Gadha yang kehilangan sebelah kakinya tapi juga seluruh siswa yang ikut turun dalam tawuran Selasa itu. Skors adalah hal wajib yang mereka terima tapi Mika mendapat 'hadiah' tambahan yaitu sekolah baru. Hadiah yang tidak membuatnya senang. 

 "Jadi enggak usah protes lagi kenapa harus ke pesantren".

 Mika mendesis, ia memang bersalah sampai kecolongan tidak menjaga temannya tetapi baginya tidak setimpal harus menerima hukuman lebih daripada skors sendirian "Mika udah jelasin kalau Mika enggak terlibat, kita aja belum tau siapa yang nyabet kakinya Gadha"

 "Lalu gimana sama band Mika yang lagi naik-naiknya? Mika vokalis loh". 

 Yunita menghela napas "Itu urusan kamu".

 Yunita bangkit "Cepet turun ke bawah, ada pamanmu sama sepupumu, Nizami".

 "Umi, kenapa Mika ngerasa Mika yang paling dipojokkan kalau ada masalah sedangkan kakak-kakak Mika yang lain juga pernah punya masalah tapi enggak dipojokkan kayak gini, mas Azel bahkan pernah punya narkoba tapi enggak sampai dipindahkan ke pesantren" ucapnya, hal yang selama ini ia pendam akhirnya keluar juga.

Lost In PesantrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang