Kambuh

7 0 0
                                    

   Pagi-pagi sekali Nizam sudah sibuk mondar-mandir dari ujung kamar ke ujung lainnya. Matanya bergerak memindai segala yang ia temui, siapa tahu buku paketnya ketemu. Mika yang masih berselimut sebenarnya sudah bangun daritadi tetapi hanya memerhatikan Mika dan Kamal tanpa niatan membantu. 

 "Nyari apaan, sih?!" tanya Mika pada akhirnya. 

 "Buku paket Bahasa Sundaku, lihat enggak?".

 "Ya ngomong dong daritadi" Nizam menghentikan pergerakannya lalu menatap Mika yang bergerak meregangkan tubuhnya. 

 "Kamu lihat?". 

 "Semalem kan gue pinjem" Nizam menggaruk rambutnya yang tidak gatal itu, ia sudah mondar-mandir setengah lamanya dan ternyata pelaku sedang tidur-tiduran dengan nyaman. 

 "Kamu pakai itu, enggak izin dulu namanya ghosob".

 "Ghosob itu pakai barang orang lain tanpa izin dulu kayak kamu" jelasnya lagi pada Mika yang pasti belum paham.

 "Ya kan elo tau gue belum punya buku paket".

 Mika terduduk dengan wajah yang masih mengantuk menanggapi omelan Nizam pagi-pagi. Wajar saja, hari Minggu adalah hari kemerdekaan baginya karena bisa tidur sepuasnya selepas salat Shubuh meski teman sekamarnya sejak selesai berjamaah mengingatkan sampai bosan kalau tidur selepas Shubuh katanya pamali

 Satu minggu di pesantren berjalan lancar kecuali hari pertamanya yang diganggu oleh para senior. Entah diganggu atau mengganggu konteksnya. Ternyata hidup di pesantren tidak seburuk itu kecuali asupan makanannya yang berkurang dibanding ketika ia di rumah. Di rumah ia bisa sepuasnya mengambil lauk yang lebih banyak dari nasi tetapi di sini Mika harus hidup mengikuti aturan dengan nasi yang lebih banyak dari lauk.

 "Cepetan ganti pakai baju olahraga". 

 "Untuk apa?". 

 "Ada olahraga rutin setiap jam 8 untuk santri yang mondok" Mika menurunkan bahunya lesu, malas sekali, apa hari Minggu pun harus ada aturannya? bagaimana ia bisa bahagia kalau begitu. Mika menjatuhkan tubuhnya kembali ke kasur, ia semakin malas berkegiatan.

 "Mika cepat, percuma sembunyi kalau nanti ada komisi disiplin yang keliling" Nizam menarik sebelah kaki Mika yang langsung berganti posisi. 

 Mika bangkit dengan mata berbinar "Beneran komisi disiplin?". 

 Nizam memutar bola matanya malas, "Bukan Dinar, komisi disiplin yang laki-laki lah, ngawur!". 

 Mika nyengir memamerkan giginya. Karena ia harus mengejar pelajaran yang tertinggal selama skors dan menyesuaikan dengan pelajaran di sini, ia tidak sempat usil pada Dinar. Dan perempuan itu pun sibuk dengan urusan pelajaran juga urusan organisasi. Ia bahkan sampai hapal mendengar Dinar mondar-mandir izin pada setiap guru pelajaran. Ia yang seminggu ini lengkap absennya saja terkadang tidak mengerti pelajaran bagaimana dengan Dinar dan Nizam yang langganan dispen. Tapi ia salut dengan mereka, hal yang baru disadari setelah sebelumnya ia selalu menghujat OSIS di sekolahnya. 

 Mengingat absennya, rasanya ia mau berbangga hati memamerkan pada teman-temannya di Jakarta karena mengawali minggu pertama di pesantren dengan baik. Belum tahu kalau ia menemukan sudut yang tepat untuk membolos. 

 "Tapi gue masih penasaran, kenapa elo diem aja waktu liat Dinar di ruang musik? gue baru tau loh kalau cewek enggak boleh main musik". 

 "Emang Dinar main musik?".

 Mika berdecak kesal "Berlagak bodoh atau pura-pura lupa? jelas-jelas elo liat Dinar pegang-pegang gitar". 

 Nizam menghela napas mengambil tempat di kasur milik Kamal yang berseberangan dengan kasur Mika. "Saya udah tau dari lama kalau Dinar suka ke ruang musik, cuman saya yang tau jadi kamu enggak usah kepikiran untuk ngasih tau orang lain, jangan jahil".

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 27, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Lost In PesantrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang