#1

2.1K 298 105
                                    

Senja baru saja turun, saat Zu menjejakkan kaki di halaman rumahnya, setelah ia memposisikan dengan aman motornya diantara motor para ustad dan ustadzah yang senja itu masih tekun mengajar para santri mengaji. Namun entah mengapa sore itu terlihat tidak begitu ramai mungkin karena kondisi yang seperti ini. Mushola yang cukup luas dan besar di samping rumahnya memang telah lama menjadi tempat belajar membaca dan tulis Al Qur'an sejak jaman kakeknya dulu, ada sepuluh orang ustad dan ustdzah yang mengajar di samping rumahnya itu. Zu terus mengayunkan langkahnya, meski sebenarnya ia enggan pulang tapi karena ini puasa hari pertama dan ibunya, Hasanah, telah berpesan jauh-jauh hari agar ia berkumpul di rumah untuk buka puasa bersama.

"Assalamu'alaikum, Ustadzah," suara seseorang yang mengucap salam, tidak keras namun karena Zu melamun ia jadi kaget, seketika tas yang ia jinjing terlepas jatuh di dekat kakinya.

"Astaghfirullah, Ya Allaaah," ujar Zu, sambil memegang dada, menatap laki-laki bertubuh menjulang, kulitnya yang putih bersih rasanya lebih cocok jika laki-laki di depannya ada di pajangan etalase super market menjadi manekin memamerkan baju daripada nyengir di depannya.

"Loh, bukan gitu kalau menjawab salam," ujar laki-laki bercelana jins, baju lengan panjang berwana dark silver yang dilipat sesiku, bersandal jepit dan menggunakan topi baseball sambil senyum-senyum.

Zulaikha menatap laki-laki di depannya dengan tatapan tajam karena jengkel, ia buka masker dengan cara menarik ke bawah dagunya, masker yang ia pakai sejak berangkat dari pondok pesantren yang berada di Kecamatan Guluk-Guluk, sekitar 45 menit ia tempuh menuju rumahnya di jalan Pendekar, Kelurahan Kepanjin, pondok pesantren tempat dia menuntut ilmu dan sesekali membantu mengajar karena ia baru saja selesai mengerjakan skripsi namun sejak kondisi yang harus memaksa wfh ia lebih banyak melakukan aktivitas ibadah di pondok pesantren itu, seketika laki-laki di depannya melongo melihat wajah Zu yang baru ia tahu saat masker kain itu telah menumpuk di dagunya.

"Wah ustadzah baru ya?" tanyanya dengan wajah ceria.

"Saya tidak tahu siapa Anda, yang jelas saya tahu kalau assalamu'alaikum itu jawabannya ya wa alaikum salam, tapi mengucap salam bukan dengan cara mengagetkan orang kayak tadi, salam itu saling mendoakan, jadi yang sopan bilanganya, saya bisa mati muda karena kaget, ngerti? Eh iya, wa alaikum salaam." Ujar Zu dengan ketus sambil menatap dengan tajam.

"Lah jawabnya kok ketus, katanya doa?" ustad Zayd menahan tawa dan Zu semakin marah.

"Terserah, kenal juga nggak, sok akrab," sahut Zu dan senyum ustad Zayd semakin lebar.

"Kan sesama muslim harus saling mendoakan,"

Zulaikha segera meraih tasnya yang terjatuh dan bergegas menuju rumahnya dengan langkah lebar tak mempedulikan orang yang ia anggap nyeleneh. Dan Zu semakin sebal karena sempat mendengar tawa orang itu.

Laki-laki itu hanya tersenyum, tak mengira jika ada ustadzah baru yang cukup cantik, meski ia sempat berpikir siapa wanita ketus itu kok masuk ke rumah Ustad Khaedar. Sejak beberapa bulan lalu ia mengajar mengaji di rumah Ustad Khaedar Kamarullah, ada sekitar hampir lima puluh anak yang mengaji di sana dengan sepuluh orang ustad/ustadzah sebagai tenaga pengajar, ditambah ustad Khaedar sendiri bahkan kadang istri ustad Khaedar, Hasanah ikut mengajar juga, dan baru kali ini ia melihat ustadazah cantik tapi galak tadi.

"Assalamu'alaikuuuum, Ibu, siapa sih itu tadi, ada laki-laki aneh, sebel aku" ujar Zu sambil meletakkan tas jinjing di kursi. Hasanah tersenyum.

"Wa alaikum salaam, yang mana? Ustad Zayd?" tanya Hasanah sambil tersenyum.

"Kok Ibu tahu kalo yang aku maksud dia? Bukan ustad Bu kayaknya, dia pake baju lengan panjang yang lengannya digulung sesiku, celana jeans dan topi baseball, mana pake sendal jepit lagi," ujar Zu, dengan wajah masih menyimpan kesal. Terdengar tawa ibunya dan Zu semakin penasaran.

Dek Ulay, Wo Ai Ni (End)Where stories live. Discover now