#4

1.2K 256 49
                                    

"Kenapa? Memang kenapa dengan ustad Zayd? Ada yang salah dengan pemuda itu? In shaa Allah dia sholeh, kau tahu sendiri selama dia di sini bagaimana?" tanya Ustad Khaedar pada Zu.

Zu menunduk, menatap jari-jarinya yang ia tautkan sejak tadi, dadanya masih terasa sakit, ingatannya kembali pada peristiwa saat ia dijodohkan dengan Fuadi, ia begitu terpesona pada wajah sabar serta ramah laki-laki tegap berkulit kecoklatan itu, menerima perjodohan setelah sekali ta'aruf dan menyiapkan segala sesuatunya untuk lima bulan kemudian akan menikah, ia jarang bertemu Fuadi kalaupun bertemu selalu ada bapak atau ibunya yang menemani, hingga bulan keempat, laki-laki itu datang pada bapaknya dan meminta maaf jika ia tidak bisa melanjutkan kejenjang pernikahan dengan alasan tak jelas.

Jika keluarganya tidak sabar mungkin akan terjadi keributan dengan pihak keluarga Fuadi, bapak Zu meminta penjelasan keluarga Fuadi. Mereka memang datang dengan permitaan maaf berulang, namun apa alasannya tetap tidak mereka buka. Mereka akan mengganti semua kerugian biaya keluarga Zu namun ditolak oleh keluarga Zu. Karena jumlah undangan juga tidak banyak, meski biaya yang terlanjur dikeluarkan juga tidak bisa dikatakan sedikit. Biaya cetak undangan, uang muka catering, sewa tenda dan uang muka rias pengantin.

Hingga akhirnya keluarga Zu menerima bahwa ini semua jalan Allah, bahwa mereka memang belum digariskan untuk berjodoh, berbeda dengan Zu yang telah terlanjur jatuh hati pada Fuadi. Ia benar-benar meratapi kesedihannya. Ia merasa telah bodoh meletakkan hatinya pada laki-laki berwajah bak malaikat itu, hingga ia terpuruk dalam kesedihan. Dan semakin hancur hatinya saat mendengar kisah dari sahabatnya bahwa Fuadi lebih memilih cinta pertamanya. Seorang dokter, seprofesi dengan Fuadi. Zu benar-benar merasa dijatuhkan ke jurang terdalam. Yang ia sesalkan mengapa Fuadi menerima perjodohan itu jika akhirnya akan kembali pada cinta pertamanya.

Selesai sudah, sejak itu Zu jarang pulang, ia memutuskan berlama-lama di pondok pesantren tempat dirinya menuntut ilmu. Meski sudah selesai semua perkuliahannya, ia lebih memilih membantu mengajar di tsanawiyah yang masih satu yayasan dengan tempatnya menuntut ilmu.

Lalu sekarang, dirinya dihadapkan lagi pada perjodohan di saat hatinya masih luka dalam, bahkan darah itu belum kering. Dirinya bukan su'udzon, Fuadi saja yang terlihat kalem dan berpembawaan tenang mampu mengempaskannya ke jurang kesakitan apalagi ustad Zayd yang baru ia kenal dengan cara aneh.

"Bapak tahu apa yang kau pikirkan Zu, bapak tahu kegundahanmu, justru karena bapak tahu kesakitanmu maka bapak tawarkan jalan surga yang lain, jangan kau tenggelam dalam sedih, dengan menikah kau akan lupa apa artinya sakit, bapak tak memaksa kau menjawab sekarang, sholat istiharah, minta petunjuk Allah," ujar ustad Khaedar.

"Yah, luka yang Zu rasanya belum kering Bapak, Zu kan patuh pada Bapak saat dijodohkan tapi apa yang Zu dapat, sakit yang belum juga hilang, jika sekarang harus mengalaminya lagi, Zu nggak kuat, Mas Fuadi yang seperti itu saja meningglkan Zu, apalagi seperti ...,"

"Zu, jangan su'udzon Nak," Hasanah memotong kalimat anaknya saat Zu belum selesai bicara," Kita tak tahu rencana Allah, kadang apa yang terlihat baik di mata manusia belum tentu itu baik Zu, atau yang kelihatannya jelek ternyata Allah punya rencana lain yang lebih indah, Ibu juga merasakan kesedihanmu, kesakitanmu, tapi yakinlah Allah akan memberi hadiah yang manis dalam hidupmu jika kau ikhlas Nak," ujar Hasanah.

"Seandainya Ustad Zayd tak menyebut namamu, maka Bapak bisa menjodohkannya dengan May, tapi dia memintamu menjadi istrinya anakku, dia menyebut namamu," ujar Ustad Khaedar. Zu hanya menunduk, sementara Maryam hanya menatap wajah kakaknya yang terlihat sedih sambil terus menunduk, akhirnya May melihat kakaknya mengangkat wajahnya, menatap wajah bapak dan ibunya bergantian.

"Beri Zu waktu, Zu akan segera menjawab, Zu tahu Bapak dan Ibu sangat ingin Zu segera menerima perjodohan ini, tapi yang menjalani hidup berumah tangga nanti adalah Zu, dan Zu tak ingin ada luka lagi," sahut Zu.

***

Zu masuk ke kamarnya, ia segera berganti baju untuk segera tidur, khawatir terlambat qiyamul lail dan membantu ibunya menyiapkan sahur bersama adiknya juga tentunya. Lalu segera melangkah ke kamar mandi untuk membersihkan diri, sikat gigi dan berwudu.

Zu berusaha memejamkan matanya, mengingat kembali permintaan bapak dan ibunya. Lalu sekilas wajah Zayd berkelebat, Zu istighfar berulang dan memejamkan matanya. Yang ia ingat hanya laki-laki usil yang tak pernah serius. Akankah rumah tangganya akan berjalan normal dengan laki-laki seperti itu? Ia tak mau su'udzon, bolak-balik ia tanamkan itu dalam pikirannya. Sampai akhirnya ia kelelahan lalu membaca doa sebelum tidur, matanya masih saja menatap langit-langit kamar dan akhirnya karena lelah Zu tertidur.

***

Zu terbangun saat ia mendengar ada yang membangunkan sahur dari mushola bapaknya. Zu bergegas menuju kamar mandi, ia sempat melirik jam masih pukul 02.00 dini hari. Segera Zu berwuju hendak melaksanakan sholat istikharah seperti saran bapak dan ibunya.

Tanpa terasa air mata Zu mengalir setelah selesai melaksanakan sholat istikharah, ia tak tahu mengapa luka cinta sangat menyakitkan, ia istighfar berkali-kali, memohon ampun pada Allah karena lebih mengedepankan perasaannya. Hingga beberapa waktu berlalu, ia masih saja belum meredakan sakit hatinya. Zu berdoa pada Allah memohon diberi kekuatan dan petunjuk bahwa apa yang ia pilih nanti adalah jalan kebaikan baginya dan keluarganya. Lalu Zu melanjutkan dengan membaca kalam Allah, sekali lagi air matanya mengalir tanpa ia bendung.

Isaknya ia tahan agar jangan sampai terdengar anggota keluarga yang lain. Kalam Allah memang menyejukkan tapi entah mengapa kali ini Zu merasa sangat sedih. Ia hanya merasa tak pernah melanggar semua perntah orang tua, dan penciptanya tapi mengapa cobaan berat dan memalukan harus ia alami.

***

"Kau menangis Zu? Matamu sampai bengkak begitu, ingat kami tak memaksamu, jika kau tak mau ya sudah keinginan ustad Zayd akan kami tolak," ujar Hasanah saat melihat mata Zu yang masih memerah dan sesekali terdengar Zu seperti sedang pilek.

Zu diam saja tak menjawab pertanyaan ibunya, ia terus saja membantu menyiapkan sahur. Adiknya sejak tadi hanya menatap iba padanya. Ia tak tahu apa yang harus ia lakukan agar beban kakaknya berkurang.

***

"Kau seperti kelehan seperti itu Zu? Tidak tidur?" tanya Ustad Khaedar setelah mereka bersahur dan masih duduk di meja makan berempat. Sekali lagi May menatap wajah kakaknya dengan iba.

"Tidur, Bapak," sahut Zu.

"Ingat sekali lagi, maksud Bapak, dengan menerima perjodohan ini, Bapak berharap agar kau melupakan sakit hatimu, dengan menikah, kau akan fokus berbakti pada suamimu dan melupakan hal yang tidak perlu kau pikir," ujar ustad Khaedar lagi.

"Iya benar Zu, ibu dan bapakmu ini ingin kau segera bahagia, kau pikir dengan menyibukkan diri di pondok pesantren dan tak pernah pulang akan membuatmu sembuh dari luka? Tidak kan ternyata? Ibu masih melihat luka di matamu meski kau telah berusaha melarikan diri dari kenyataan, jadi selanjutnya terserah kamu, kami hanya ingin kau benar-benar menghilangkan pikiran itu," ujar Hasanah dan Ustad Khaedar mengangguk.

Mereka melihat Zu menghela napas, menegakkan duduknya, lalu memandang wajah bapak dan ibunya bergantian.

"Zu menerima lamaran itu, Bapak, Ibu,"

"Alhamdulillah.....,"

***

28 April 2020 (22.14)

Dek Ulay, Wo Ai Ni (End)Where stories live. Discover now