SAAT kilas hidupnya terputar kembali, Silas Nugrev ingat bagaimana ia mendambakan mati. Semuanya karena keingintahuan, dan seorang gadis.
Waktu itu, petang paceklik keempat September; ia masih sejangkung guling kamar, segesit maling yang merampok anggur milik Maryane walau agak pincang, gondrong, kelimis, kadang penuh jelaga, dan wangi hujan. Silas dijuluki Kesantunan Berjalan tetapi pernah jatuh dari beringin. Ia bungsu janda yang bercerai kemarin. Umurnya genap empat belas, tanpa gegap-gempita perayaan ataupun lilin, namun memergoki asosiasi janggal yang langka dijumpa menjadi hadiah berkesan dalam hidupnya.
Bukan sekali Gylnnーibundanya, ratu dalam rumah tingkat di sudut timur Rosenbergーmendengungkan pematang sawah itu sebagai kutukan, tetapi seratus, seribu, barangkali sebanyak jaring yang menyesaki gudang penyimpanan kayu mereka. Seolah rutinitas, meski mulutnya tidak kunjung berbusa. Oh, sungguh jahat mengharapkan itu, namun sesuatu mulai tak terkendali. Keterperangahannya bermula dalam satu ceramah malam. Silas yang penurut, tanpa interogasi duduk bersimpuh di lantai dapur semelankolis mungkin sementara Glynn menjulang, sibuk memotong asparagus pada talenan. Anak itu cukup sulit ditebak, namun ia mantap berserah diri, tunduk, mengaku diajak Nadeem mengejar layang-layang sampai ke Perbatasan. Satu hingga empat, detik dihitung. Menunggu pelipisnya ditampar ketel dingin, sebab tiada yang lebih memurkakan Glynn dari gadis penyihir itu.
"Silas," katanya.
Pisau ditaruh. Kursi ditarik.
Dengan kaki terongkang congkak menghadap putranya, wanita itu tersenyum. "Kautahu alasanku membatasimu?"
Silas mengernyit, kejengkelan berkontraksi dalam dirinya.
Aku alergi semesta. Katamu, seolah ada pemanah gelap yang teramat mewantikan jantungku, pikirnya ironis. Nadeem bilang itu konyol.
Sang Ibu meraih secangkir kamomil yang telanjur dingin pada meja makan. "Pergilah sekali lagi," tambahnya. "dan bayangkan seisi desa menolak jasadmu."
Silas mendongak, menemukan sepasang mata cokelat-ambar itu hingga pemiliknya kembali bersungut.
"Dengar, ini perintah." Ia sadar apa yang sungguh diminta Glynn. "Jangan melanggar."
Bukan seribu kali pematang itu digosipkan penduduk; didongengkan dari mulut ke mulut; dari pedagang belungkur ke kisah pengantar tidur; dicampurbaur mitos-mitos Rosenberg yang berujung rumor payah tentang jin botol dan tujuh wanita nelangsaーtetapi jarang. Kerap sembunyi-sembunyi kalaupun sempat, tak pernah secara gamblang.
Kendati begitu, ia mengingatnya sejernih air Sungai Barn: betapa kesetanan gadis-gadis Rosenberg setelah diolesi garam; bagaimana pintu-pintu digembok lebih cepat setibanya petang; jendela yang dipasak dan disembur air mantra; kaum yang kelewat khawatir hingga terpaksa merobohkan lumbung rungkuh dekat pematang itu, seolah jika tak melakukannya, mereka akan mati konyol. Getir; hanya senyum cemas yang terpatri nyaris sepenjuru kampung. Hanya itu, bahkan saat aroma angit kayu menyelusup sampai gereja, tempat Silas lalai, lantas berderap hati-hati ketika jemari langsat Nadeem terulur, menggandengnya ke ladang gandum kering oleh kemarau.
Jangan melanggar, bisik kentara Glynn terdengar di suatu tempat dalam benak putranya, lengkap dengan cambuk dan murka yang membayangi. Jangan melanggar, Nug.
Silas terlampau tidak peduli.
Keduanya berlari sungkan-sungkan menyusuri pelbagai lorong temaram, pasar tengik yang gelap, ladang-ladang, mercusuar. Perbatasan hampir dekat, malam terus beringsut; harusnya mereka senang karena bebas, tetapi anak lelaki itu dirundung sangsi.
Hatinya bergolak.
Silas ulang tahun hari ini. Ia tidak pernah sungguh berulang tahun: sekalipun pernah, beranda pun ruang tamunya---ruang bergorden kotor bau cecunguk paling sering ia gengsikan itu---tidak semeriah pesta taman Maryane, putri sulung tetua desa, yang padahal sudah tenggat remaja, masih mengundang badut serta nyaris semua kerabat glamornya.
Pandir, pikir Silas. Tidak bersyukur, imbuhnya, tidak mau menunduk.
Bukan, ia memang tak pernah sungguh berulang tahun. Membayangkan ibundanya memberi sesuatu hari itu seperti mustahil. Glynn cukup peduli Silas patuh dan tetap berilmu. Ada rak mungil yang terpancang di samping almari dalam kamarnya, terisi empat-lima buku kuno mengenai obat hingga Penyeberangan, namun belajar bagi Glynn adalah studi lewat lisan, perangai, lalu, eksperimen; Silas dilarang menyentuh mereka barang sejengkal. Ia hanya akan duduk di lantai dapur atau sembunyi di balik selimut tipisnya, menyimak apa pun perkataan sang nyonya. Sesekali Silas diajari memasak sampai mencuci gelas, walau acap berujung gosong dan pecah berantakan. Silas tahu anak-anak lain ikut seminari---karena siapa pula yang tidak? Kadang, saat melirik ke luar jendela suatu siang, ia mendapati Maryane berkuda menuju lapangan. Kudanya hitam tangguh, jenis lusitano.
Takdir itu lucu.
Berlawanan dengan mereka, mungkin selamanya, Silas terpasung cangkang sendiri.
Begitu, hingga ia bertemu Nadeem dalam satu upacara pemakaman. Pastor, tangis, rekuiem sang Ayah. Betapa jahat jumpa cinta pertamanya saat itu, anak gadis petani yang dibungkus satin jelaga, menggamit pria bercambang dan tersenyum getir dari baris pelayat.
Empat tahun silam, namun tidak lagi.
Satu pinta Silas selain ceria yang terpancar di wajah cemerlang Nadeem: kemustahilan. Apa saja. Yang hampir tak terjangkau akal bocahnya, yang mustahil dimiliki Maryane. Hal yang melambungkan penasaran hingga puncak kepala.
Ia mengingat detik-detik permintaan itu ketika jemarinya merasakan genggam hangat Nadeem.
Bagaimana kalau Asosiasi Meier, Silas?
Kebebasan untuk ulang tahunmu?
Kautahu, takkan ada yang menghalangi kita. Rasa sakit sekalipun.
Hindari pagar, menyibak ilalang, senter di tangan kanan. Langkah mereka lebih dipacu setelah yakin masih terkoneksi.
Erat, namun merdeka. []
2019