3. Tanggung Jawab

25.7K 318 22
                                    

Keesokan harinya

Mentari pagi sudah terbit di ufuk timur, cahayanya menelisik malu-malu dibalik tirai jendela membuat sepasang netra berwarna coklat terbangun oleh sinarnya. Erika membuka kelopak matanya secara perlahan.

"Udah pagi aja sih," ucapnya sambil merenggangkan tubuhnya.

Terdengar suara tawa dua orang pria yang membuat Erika mengerutkan dahinya. "Siapa sih pagi-pagi udah berisik aja," keluhnya kesal.

Ia pun berjalan perlahan menuju jendela kamarnya. Mengintip dibalik jendela melihat dua orang pria yang dikenalnya. Matanya tertuju pada pria yang tadi malam berhasil menarik perhatiannya.

"Akh, pagi-pagi udah dapat vitamin A aja sih. Si Alden cakep banget deh ini, sayangnya masih bocah," ucapnya sambil tersenyum kecil.

Dengan semangat Erika keluar kamarnya menuju dapur mencari keberadaan kedua orang tuanya. Ia tersenyum melihat papa dan mama nya yang sedang sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing.

"Pagi Ma, Pa," sapa Erika dengan bersemangat.

"Udah bangun kamu," ucap Evan sambil membawa koran.

"Udah dong, Pa. Wah, Pa jadul banget sih baca berita di koran, jaman sudah modern pakai ponsel dong buat lihat berita."

Evan menghela napasnya. "Ini nih bikin jengkel. Bukan masalah jadul atau modern, tapi lebih enak pakai koran baca berita. Males Papa kalau dikit-dikit lihat ponsel."

"Iya... iya... by the way itu tadi malam beneran temannya si Erik, Pa? Teman apaan kuliah atau main terus ngapain dia di sini?" tanya Erika penasaran tentang Alden.

"Ooh, itu si Alden, dia teman kuliah Erik. Sering kok si Al menginap disini, kamu nya aja yang jarang pulang jadinya ga pernah liat."

"Aiiih, bikin malu tau ga sih ma tadi malam." Erika menutup wajahnya dengan kedua tangannya.

Ella dan Evan tertawa mengingat kejadian tadi malam. Mereka tau pasti Erika malu berat.

"Pagi semuanya." Erik menyapa papa, mama, dan kakaknya. "Ooh iya, tadi malam ada apa sih kok ribut-ribut. Lo buat masalah ya kak? Trus ngapain lo tadi malam teriak-teriak ga jelas gitu. Lagi kesurupan lo, Kak."

Mata Erika membulat. Ia kesal mendengar perkataan adiknya. "Apaan sih lo, Rik. Udah deh ga usah bahas-bahas masa lalu yang sudah berlalu."

"Nah... nah dia kumat deh. Mata melotot begitu." Erik sengaja mengganggu Erika.

"Masa lalu apaan, baru juga tadi tengah malam. Bukan masa lalu kali."

"Bisa diam ga lo! Apa mau di sini terjadi pertumpahan darah," hardik Erika kesal.

"Eh, emangnya gue takut. Hayo, aja kalau lo mau ada pertempuran perang," sahut Erik.

"Lo berani sama gue, Rik." Erika mengepalkan tangannya bersiap-siap memukul adik laki-lakinya.

Erik bergidik ngeri. Ia terkejut dengan reaksi Erika dan sama sekali tidak menyangka kalau kakak perempuannya akan serius menanggapi gurauannya.

"Ga gitu juga kali, Kak. Gue cuman bercanda aja," ucap Erik menelan salivanya.

"Erik, Rika sudah jangan bertengkar pagi-pagi. Kalian ini apa ga bisa akur gitu kayak kakak-adik normal." Evan menegur kedua anaknya membuat Erika melirik kesal ke arah Erik.

"Sudah Pa ga usah ngurusin musuh bebuyutan ga jelas itu. Mau mereka berdua pertumpahan darah, pertumpahan sirup, perang di bumi atau di bulan biarin aja."
Ella kesal pada Erik dan Erika lalu berkata, "Rik, kamu kan sudah Mama larang kalau di rumah jangan pakai gue-lo. Erika itu kakakmu bukan temanmu. Jadi yang sopan kamu sama kakak sendiri."

My Sexy Lady Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang