"Hoshh ... hoshhh ...." Helaan nafas Paul dan Ari bersaut-sautan malam itu.
"Dia mati? Dude, you dont have to kill him," ucap Paul yang sedang terduduk lemas.
"He's trying to kill us dude, kau mau mati? Dia hanya sedang sial menyerang orang yang salah," jawab Ari, sembari mengambil karung dan membungkus mayat itu.
"i told you, kau tidak akan suka menginap dirumahku, kau takkan bertahan lama." Ari menambahkan.
Disinilah Paul sekarang, di sebuah kota yang bernama Hellin. Tak banyak yang tahu kalau kota ini adalah kotanya para psikopat. Mereka hidup dengan cara mereka sendiri. Seluruh penduduknya pun adalah psikopat, namun mereka pandai menutupi itu dari penduduk kota lain.
"Jadi, kau mau apa sekarang?" tanya Ari, mengejutkan Paul yang sedang melamun di kursi tamu.
"Apakah kau benar-benar menganggapku teman?" jawab Paul
"Ya, selagi kau berguna." Ari tersenyum khas nya yang menakutkan.
"Kebetulan aku sedang butuh bantuan untuk membunuh seseorang, bantu aku dan kau bisa dapatkan apapun yang kau mau," bisik Ari.
"Apapun? Oke. Jelaskan tentang si target, dan kita akan membuat rencana pembunuhan terbaik di seluruh jagat raya."
Mereka pun berjabat tangan, dan mulai membahas tentang perencanaan pembunuhan.
Tibalah hari dimana rencana pembunuhan akan segera dilaksanakan. Segala hal yang diperlukan sudah disiapkan sedemikian rupa.
"Kring ... kring ...." Telepon sudah berulang kali berbunyi, akhirnya wanita berumur 40 tahun itu memutuskan untuk mengangkat telponnya.
"Halo, ini siapa?" tanyanya.
"Anakmu sudah kami culik, segera datang ke kota Hellin nomor 43 kalau mau dia selamat," jawab Paul diseberang telpon, dengan suara yang telah disamarkan.
"Jangan bercanda! kau takkan bisa menipuku, anakku tidak akan bisa diculik."
Paul hanya tertawa, ia pun mematikan sambungan teleponnya. Kemudian mengirimkan sms berupa foto anak dari wanita itu yang sedang tertidur dirumahnya. Wanita itu langsung menangis, ia pun segera mengambil tas gandengnya dan langsung pergi menuju bandara.
Setelah turun dari pesawat, wanita itu kembali mendapat panggilan telepon dari nomor yang sama.
"Langsung naik ke mobil yang sekarang berada tepat didepan gerbang bandara, jangan menoleh ataupun berbicara kepadanya. Cukup diam saja dan dia akan membawamu kepada anakmu."
Panggilan itu pun langsung dimatikan, wanita itu menuruti perkataan Paul persis seperti yang diperintahkannya.
Sesampai dilokasi, mobil berhenti. Wanita itu langsung turun dan masuk kedalam rumah—yang cukup besar—didepannya itu. Semuanya gelap, ia tak bisa melihat apa-apa ia pun hanya bisa meraba-raba masuk ke dalam rumah. Ia merasakan cairan-cairan di kakinya, serta bau busuk sangat menyengat didalam sana. Telepon kembali berdering, ia pun mengangkatnya.
"Berjalanlah terus kedepan, kau akan menemukan obor beserta koreknya disana."
Ia pun berjalan dengan hati-hati. Setelah agak lama ia berjalan, tiba-tiba ada seseorang–yang entah siapa–memberi ia sebuah obor dan korek, setelah itu orang itu menghilang. Ia pun segera menghidupkan obornya, betapa terkejutnya ia. Ada puluhan mayat bergantung tepat diatas kepalanya, Darahnya menetes hingga membanjiri lantai yang daritadi diinjaknya. Ia pun menjerit frustasi. Tapi tekadnya untuk menyelematkan anaknya membuatnya bangkit dan terus berjalan menyusuri rumah itu. Ia pun mendapat panggilan telepon lagi.
"Jangan matikan telponnya sampai aku perintahkan. Ambil pisau dilantai sebelah kananmu."
Ia pun segera menunduk dan mengambil pisau itu.
"majulah beberapa langkah, kau akan menemukan santapan disana."
Ia pun menurutinya, dan menemukan seseorang yang terikat kuat di tiang penopang bangunan, mulut dan matanya tertutup, berontak tak berdaya.
"Bunuh dia."
"Tidak, tidak akan!"
"Bunuh dia atau anakmu akan kubunuh."
Wanita itupun menangis, ia terkulai lemas memohon ampun.
"Bunuh dia sekarang!" Paul membentak.
Tak ada jalan lain, sembari menutup mata, wanita itu menusuknya tepat di dada. Ia pun menangis, terduduk lemas, kemudian pingsan.
Pelan-pelan ia membuka matanya, kini ia berada di ruangan lain, lilin mengelilingi dinding ruangan itu,mulutnya dilakban. Ia terikat di atas kursi, disudut ruangan. Dan ada seseorang laki-laki memegang pisau didepannya.
"Tunggulah disini, kau akan melihat anakmu."
Ia pun hanya bisa diam tak berdaya, entah apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Hei, santapan sudah datang. Kemarilah! Sekarang waktumu bersenang-senang," teriak Paul memanggil Ari.
Beberapa saat kemudian, datanglah laki-laki berbaju serba hitam, memakai sarung tangan, dan pisau di tangan kanannya.
"Lama sekali kau datang, aku sudah menahan diri sejak tadi," ucap Ari.
Ari pun bergegas masuk ke ruangan, namun ia terkejut sekali melihat penampakan didepannya.
"Apa maksudmu, Paul?" Ari mengalihkan pandangannya kepada Paul, dengan tatapan membunuh.
"Tenang, tenang. Jangan marah-marah dulu, bukankah ini menyenangkan untukmu?" jawab Paul
"Akan kuberi contoh kepadamu." Paul pun langsung melemparkan pisau nya kepada wanita itu, tepat mengenai perutnya, wanita itupun langsung berteriak kesakitan.
"Bukankah kau harusnya tertawa, Ari? Ini menyenangkan bukan, untuk psikopat seperti dirimu," ungkap Paul.
Ari pun marah, ia langsung mendekati Paul, berniat untuk membunuhnya. Namun Paul langsung mengeluarkan pistol dari celananya, menembak kaki Ari.
"Calm dude, aku hanya mau memberimu hiburan," kata paul.
Paul pun langsung mengambil korek, dan membakar dinding rumah itu yang sudah dilumuri minyak sejak awal, api langsung menyambar.
"Manusia sepertimulah yang sebenarnya penyakit, kalian mempunyai emosi, tapi kalian tetap bodoh dan membunuh, tapi kalian mengatakan seolah kami lah yang paling kejam, dasar bodoh." Ari geram, ia menarik kaki Paul keras-keras. Paul pun terjatuh, pistol di tangannya terpental jauh.
"Mari mati bersama, bodoh." Ari langsung mencabik, meninju Paul.
"Kami terlahir tanpa empati, itulah yang membuat kami lebih kuat darimu. Tapi bukan berarti kau seenaknya bisa membunuh ibuku, dasar bodoh!"
Ari pun mengambil pisau yang tertancap di perut ibunya, dan menusuk ibunya tepat di dada, kemudian ia mengambil kembali pisau itu, ibunya mati seketika.
Ia pun kembali kepada Paul yang kini tergeletak tak berdaya.
"Kau tidak akan mati dengan nyaman, bodoh! Kau harus merasakan neraka terlebih dahulu."
Ari memanaskan pisau menggunakan api yang kini telah menyambar kemana-mana, kemudian menusukkannya perlahan-lahan ke tangan Paul. Paul menjerit tak tahan.
Ari pun mengulanginya, tapi kali ini di kaki, kemudian telinga, dimanapun tempat yang bisa ia tusukkan. Ia juga memastikan kalau Paul tidak mati tertusuk.
"Memohonlah ampun!" bentak Ari.
Paul pun menangis, berharap ia akan dikasihani. Namun, Ari justru semakin puas dan melanjutkan perlakuannya. Kali ini tidak menusukkannya, ia hanya memanaskan kemudian menempelkannya ke kulit Paul hingga bonyok. Paul kembali menjerit.
Api semakin mendekat ketempat mereka, reruntuhan bangunan menimpa Ari dan Paul. Mereka pun mati saat kebakaran.
Written by: Orekasa