Kala itu aku dan Hema berbincang di kelas saat jam kosong. Kami memang berteman dekat sejak SMP hingga SMA saat ini. Hema anak yang berbeda dari sekian banyak anak-anak yang berteman denganku selama ini. Entah dikatakan kekurangan atau kelebihan, Hema bisa melihat yang tak terlihat. Aku pikir anak-anak indigo seperti Hema tidak akan kesepian jika tidak punya teman karena yang 'tak terlihat' bisa kapan saja menemaninya. Namun, setelah mendengar cerita Hema ternyata tidak seperti yang kubayangkan.
“Anak indigo juga manusia, El. Kalau kamu mikir aku nggak akan kesepian itu salah. Aku butuh teman manusia juga kayak kamu, kayak mereka. Karena sejatinya manusia tetaplah makhluk sosial,” ujar Hema yang fokus pada buku sketch miliknya. Aku mengintip apa yang digambar Hema. Ternyata seorang anak laki-laki yang sedang memainkan jendela.
Hema memang jarang berteman dengan siapa pun selain aku. Katanya, Hema terlalu takut untuk dekat dengan orang lain. Pasalnya, ia sering dijauhi dan dihina teman-temannya saat SD hingga SMP karena kemampuannya yang entah dikatakan kekurangan atau kelebihan.
“Elsa,” panggil Hema.
Aku menatapnya, “hm?”
“Kamu bisa gambar kan?” Aku mengangguk. “Aku pengen kamu gambar Citra yang pernah aku ceritain ke kamu kemaren.”
“Hahh? Citra?” Hema mengangguk dan tersenyum.
Citra adalah salah satu teman 'tak terlihat' Hema yang katanya mirip denganku dari segi rambut dan mata. Hal itu membuatku sempat membuatku ketakutan.
Setelah berdebat dengan Hema, akhirnya aku menggambar sesuai yang diceritakan Hema tempo hari. Perempuan berambut gelombang sebahu, tatapan mata yang sayu, mulut tanpa bibir hingga hanya terlihat gigi dan gusi yang penuh darah.
Tiba-tiba saat gambarnya baru saja selesai, Hema merobeknya begitu saja. Matanya tertuju pada kursi belakangku. Aku mengernyit kebingungan melihat sikap Hema.
“Apaan sih Hem? Katanya nyuruh gambar kok tiba-tiba disobek,” ucapku kesal.
Sedangkan Hema hanya diam dan berlalu pergi.
Sejak kejadian Hema merobek hasil gambaranku, Hema mulai jarang berbicara denganku dan aku pun mulai merasa aneh dengan diriku sendiri. Sudah dua hari ini, aku merasa sering diikuti ke mana pun aku pergi. Sudah beberapa kali juga saat aku begadang mengerjakan tugas, namaku sering dipanggil namun tak seorang pun kutemukan asal suaranya. Hal ini membuatku gusar sendiri.
Seperti saat ini, jam menunjukkan pukul 01.00. Aku masih terjaga karena sedang menonton drama Korea yang membuatku tertarik. Beberapa menit lalu, terdengar suara memanggil namaku. Hal itu pun kuabaikan lantaran aku yang lebih memilih fokus pada laptopku.
Dengan suara lirih, “El ... Sa.” Aku menghela napas kasar lalu beranjak dari dudukku. Aku berkeliling rumah, barang kali Mama atau Kakak yang memanggilku. Tapi, ternyata tidak. Semuanya sudah lelap dalam tidurnya masing-masing. Aku memutuskan untuk kembali ke kamarku dan melanjutkan kegiatanku sejak tadi.
Tak lama setelah aku duduk, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu yang amat sangat keras dan kasar. Aku beranjak membuka pintu, tidak ada siapa pun. Lama-lama aku gusar sendiri.Setelah pintu kamar terketuk yang kulihat tidak ada siapa pun, kini suara dari jendela yang terketuk. Aku ragu untuk membuka korden karena takut jika terjadi kejadian mengerikan seperti yang ada di film-film horror. Kuabaikan begitu saja, lama-lama membuatku semakin jengkel akan suara-suara itu. Tak berselang lama setelah aku memutuskan tuk acuh tak acuh, suara dari pintu kamar kembali terdengar. Aku beranjak dari dudukku lalu membuka pintu dengan sangat malas.
Aku sempat tercengang setelah membuka pintu. Terlihat seorang wanita seumuranku berdiri di depan pintu kamar, ia tersenyum menatapku. Aku mengernyit, siapa malam-malam begini datang ke rumah? Rasanya agak aneh, namun tidak ada yang aneh dengan wanita satu ini. Ia seperti anak seumuranku pada umumnya.
“Siapa?” tanyaku.
“Maaf aku datang malam-malam begini. Kamu nggak mengenaliku ya? Aku anak kelas X N IPA 1. Mau tanya soal PR Matematika.”
“Hah?” ucapku yang masih bingung. “Kok kamu bisa langsung ke kamarku? Siapa yang bukain pintu depan?”
“Kakak kamu tadi, katanya langsung disuruh ke kamar kamu aja,” katanya. Aku hanya mengangguk dengan wajah yang terheran-heran.
Aku melihat jam menunjukkan pukul setengah dua malam. Kulihat perempuan itu yang memegang buku matematika milikku. Lama kelamaan ia menangis kecil, lalu menangis sesegukan. Hal itu pun membuatku begidik ngeri.
“Eh, kamu kenapa?” tanyaku sembari menjauh darinya.
Gadis itu mengambil pisau dari dalam tasnya yang membuatku terkejut. Ia berjalan mendekatiku dengan wajahnya yang penuh airmata. Aku benar-benar berpikir jika wanita ini adalah penjahat atau psikopat yang ingin membunuhku, aku sudah kebingungan dan berpikir jika ini adalah akhir hidupku. Namun, dia berhenti ketika berdiri tepat di depanku. Ia tusukkan pisau yang ia pegang itu di dadanya sendiri. Aku meringis melihatnya. Kemudian ia memutar pisau yang masih menancap didadanya, ia gerakkan ke bawah hingga dadanya terbelah dan menyisakan luka mengaga penuh darah. Darah segar itu mengalir deras mewarnai gaun berwarna putihnya yang terlihat anggun melekat ditubuhnya.
Setelah pisau itu dicabut dari dadanya, ia memotong perlahan bibirnya sendiri hingga terlihat gigi dan gusinya yang penuh akan darah. Aku membelalakkan mataku dengan airmata yang mengalir. Aku yang gemetar melihat keadaannya. Ia melempar pisau itu ke lain arah. Gadis itu terdiam menangis dengan pandangan mata yang tak lepas menatapku.
Tiba-tiba aku ingat apa yang diceritakan oleh Hema. “Ka—kamu? Ci ... Citra?” ucapku sambil gemetar. Ia mengangguk lalu tangannya yang penuh darah itu menyentuh pipiku hingga aku tak sadarkan diri.
Setelah aku sadar dari pingsanku, aku sudah terbaring di ranjang kamar tidur dengan selimut yang membalut tubuhku. Kurasakan badanku yang tidak enak juga tangan dan kakiku yang kedinginan. Di sampingku sudah ada Mama dan Hema yang berbincang kecil. Tak lama, mereka menyadari jika aku sudah siuman. Mama mengelus rambutku pelan dan tersenyum kecil.
“Kamu istirahat ya. Maaf Mama nggak bisa nemenin kamu, Mama ada janji hari ini. Nanti sore Mama pulang, El. Mama udah minta Hema nemenin kamu hari ini,” ucap Mama. Aku hanya mengangguk mendengarnya lalu Mama melangkahkan kaki meninggalkan kamarku.
“Hema,” panggilku.
Hema tersenyum, “Kamu pasti bingung sama semua ini.” Hema terdiam sejenak, “Aku ngerobek gambaranmu karena ada yang nggak sesuai sama aslinya, El. Maaf aku nggak bilang ke kamu. Mungkin itu alasan kenapa Citra dateng ke kamu terus nunjukin dirinya sendiri.”
Aku meneteskan airmataku mengingat kejadian di mana Citra membunuh dirinya sendiri. “Kenapa kamu nggak bilang sama aku, Hem?”
“Maaf, El. Aku pikir Citra ga akan marah karena aku udah minta maaf sama dia,” kata Hema.
“Tapi kamu tenang aja, aku janji dia nggak akan ganggu kamu lagi,” lanjut Hema. Lalu kemudian ia tersenyum memelukku.
Written by: MeDandelion